Kekerasan terhadap perempuan merupakan isu kompleks dan multidimensional yang terus menjadi perhatian nasional bahkan global.
Sastra, khususnya novel, sering kali menjadi media yang kuat untuk menggambarkan realitas pahit ini, memberikan suara kepada para korban, dan memicu refleksi kritis di masyarakat.
Dengan menyelami kisah-kisah fiksi yang berakar pada pengalaman kekerasan, pembaca dapat mengembangkan empati, meningkatkan kesadaran, dan memahami berbagai bentuk kekerasan yang dialami perempuan.
Berikut adalah lima rekomendasi novel yang menggambarkan bagaimana perempuan seringkali dijadikan objek kekerasan dalam berbagai bentuk.
1. Re: dan Perempuan oleh Maman Suherman
Novel Re dan Perempuan merupakan sebuah kisah gabungan dari dua novel, Re: dan peRempuan, yang ditulis oleh Maman Suherman.
Novel ini menceritakan pengalaman Herman selama beberapa puluh tahun mendalami kehidupan pekerja seks di Jakarta karena tuntutan untuk menyelesaikan tugas akhirnya sebagai mahasiswa Kriminologi.
Karya ini menyingkap dunia pekerja seks, mengajak pembaca untuk melihat sisi manusiawi di balik stigma sosial dan berbagai bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikologis, yang dialami oleh perempuan dalam profesi tersebut.
Novel ini secara tidak langsung menggambarkan kerentanan perempuan terhadap eksploitasi dan kekerasan dalam masyarakat.
2. Rasina oleh Iksaka Banu
Novel Rasina karya Iksaka Banu mengangkat kisah seorang perempuan dari masa kolonial Belanda, menyoroti praktik perbudakan dan nasib perempuan di pusaran politik opium dan rempah pada abad ke-18.
Novel ini mengisahkan Rasina, seorang wanita pribumi yang menjadi saksi dan korban dari kekejaman sistem kolonial, eksploitasi perdagangan budak, dan kekerasan yang melekat pada kondisi tersebut.
Novel ini menggambarkan bagaimana perempuan menjadi komoditas dan objek kekerasan dalam sejarah kelam tersebut, menunjukkan kekejaman dan penderitaan yang dialami oleh perempuan pada masa itu akibat sistem yang menindas dan kekuasaan yang korup.
3. Perempuan di Titik Nol oleh Nawal El Saadawi
Novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi menceritakan kisah Firdaus, seorang wanita yang hidupnya dipenuhi kekerasan sejak kecil.
Ia mengalami kekerasan dalam rumah tangga, pemaksaan pernikahan, dan kekerasan seksual, yang membawanya menjadi seorang pelacur.
Novel ini menggambarkan kekerasan sistemik dan penindasan yang dialami perempuan dalam masyarakat patriarkal, hingga Firdaus dijatuhi hukuman mati setelah membunuh seorang mucikari.
Novel ini secara gamblang menunjukkan berbagai bentuk kekerasan yang dialami perempuan dan perjuangan mereka untuk melawan sistem yang menindas.
4. Anak Semua Bangsa oleh Pramoedya Ananta Toer
Sebagai bagian kedua dari tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa mengandung kritik terhadap kolonialisme dan rasisme.
Meskipun fokusnya bukan secara langsung pada kekerasan terhadap perempuan, novel ini menunjukkan bagaimana perempuan, seperti Annelies dan Nyai Ontosoroh, menjadi korban kekerasan struktural dan diskriminasi di bawah sistem kolonial.
Annelies menjadi korban perampasan hak dan perpisahan paksa akibat hukum kolonial yang bias gender dan ras, sementara Nyai Ontosoroh harus berjuang melawan diskriminasi ras dan gender untuk mempertahankan hak-haknya.
Novel ini memperlihatkan bagaimana kekerasan tidak hanya bersifat fisik tetapi juga institusional, yang berdampak pada kehidupan perempuan.
5. Cantik Itu Luka Oleh Eka Kurniawan
Novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan adalah karya yang menggabungkan realisme magis dengan sejarah Indonesia, dan di dalamnya terdapat gambaran kekerasan terhadap perempuan yang sangat kompleks dan seringkali mengerikan.
Tokoh utama, Dewi Ayu, adalah seorang pelacur legendaris yang hidup melalui berbagai era sejarah Indonesia, dari masa pendudukan Jepang hingga setelah kemerdekaan.
Melalui kehidupannya dan anak-anak perempuannya, novel ini menunjukkan kekerasan seksual, kekerasan fisik, eksploitasi yang dialami perempuan dalam berbagai bentuknya, baik oleh individu maupun oleh sistem sosial dan politik.
Eka Kurniawan menyajikan kekerasan ini dengan cara yang mentah namun artistik, menghubungkannya dengan trauma sejarah dan kutukan keluarga, menggambarkan bagaimana perempuan seringkali menjadi objek penderitaan dan simbol keindahan yang justru membawa malapetaka dalam masyarakat patriarki.
Itulah lima rekomendasi novel yang membahas isu-isu kekerasan terhadap perempuan. Dengan membaca kisah-kisah ini, kita diajak untuk lebih peka terhadap realitas perempuan, memahami kompleksitas pengalaman mereka, dan terinspirasi untuk berkontribusi pada upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Baca Juga
-
5 Rekomendasi Novel Berlatar Masa Kolonial Hindia Belanda di Indonesia
-
5 Rekomendasi Novel Slice of Life yang Penuh dengan Nilai-Nilai Kehidupan
-
Minat Baca Tinggi, Akses Belum Merata: Akar Masalah Literasi di Indonesia
-
5 Rekomendasi Novel untuk Membaca Ulang Peristiwa Sejarah Tahun 1998
-
Solo Activity Bukan Tanda Kesepian, tetapi Bentuk Kemandirian Emosional
Artikel Terkait
-
Beban Ganda dan Resiliensi: Kisah Perempuan Pesisir di Tengah Krisis Iklim
-
Ulasan Novel The Game of Love: Hidup Bersama Tanpa Menaruh Rasa
-
5 Rekomendasi Novel Berlatar Masa Kolonial Hindia Belanda di Indonesia
-
Ulasan Novel Back to You: Kisah CLBK yang Mengaduk Emosi
-
5 Rekomendasi Novel Slice of Life yang Penuh dengan Nilai-Nilai Kehidupan
Ulasan
-
Review Film Zootopia 2: Petualangan Baru di Kota Hewan yang Penuh Makna
-
Ulasan Film Pipeline: Seo In Guk Jadi Tukang Bor Nyentrik yang Bikin Ngakak
-
Ulasan Novel The Game of Love: Hidup Bersama Tanpa Menaruh Rasa
-
Review Film Agak Laen: Menyala Pantiku! Lebih Ngakak, Hangat, dan Menyala
-
Ulasan Film Pawn, Perjalanan Haru Jaminan dan Rentenir yang Jadi Keluarga
Terkini
-
Efek Domino Bullying di Sekolah: Prestasi Turun hingga Trauma Jangka Panjang
-
Baru 3 Hari Tayang, Agak Laen 2 Raup 1.205.917 Juta Penonton di Bioskop
-
Saat Generasi Z Lebih Kenal Algoritma daripada Sila-sila Pancasila
-
Diduga Punya Pacar Baru, Teuku Ryan Kepergok Jalan Bareng Cewek di Mal
-
Nggak Cuma soal Ngekos Bareng! 5 Alasan Kenapa Co-living Jadi Pilihan Anak Muda di Kota Besar