Adaptasi Novel Menjadi Film: Versi Baru atau Justru Kehilangan Makna?

Hayuning Ratri Hapsari | Ruslan Abdul Munir
Adaptasi Novel Menjadi Film: Versi Baru atau Justru Kehilangan Makna?
Ilustrasi sebuah novel yang di adaptasi jadi film (Unsplash/Yosuke Ota)

Adaptasi novel ke film selalu menjadi perbincangan hangat di kalangan pembaca dan penonton. Tak sedikit yang menaruh ekspektasi tinggi pada film yang diangkat dari buku favorit mereka.

Sayangnya, harapan itu sering kali berubah jadi kekecewaan. Cerita yang diimajinasikan dengan bebas lewat kata-kata, tiba-tiba dibatasi oleh durasi dan visual yang tak selalu sesuai harapan.

Namun, apakah adaptasi dari novel ke film selalu menjadi versi yang “lebih rendah”? Tidak juga. Buku dan film adalah dua medium yang berbeda. Keduanya memiliki kekuatan masing-masing dalam menyampaikan cerita.

Novel memberi ruang imajinasi yang luas, membiarkan kita membayangkan wajah tokoh, membangun suasana, hingga merasakan konflik secara perlahan.

Sedangkan film lebih instan, langsung menyajikan visual, ekspresi, dan emosi dalam waktu singkat. Di sinilah kadang konflik muncul, pembaca merasa film “tidak sedalam novelnya”, sementara penonton merasa filmnya sudah cukup menyentuh.

Ambil contoh novel populer yang diadaptasi menjadi film adalah Home Sweet Loan karya Almira Bastari. Novel ini menarik karena memotret realitas anak muda urban yang dihimpit oleh tuntutan finansial dan mimpi.

Isu yang diangkat tentang generasi sandwich, cicilan rumah, dan harga hubungan yang harus dibayar dengan kompromi hidup begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari pembacanya.

Ketika diadaptasi ke layar lebar, Home Sweet Loan pasti mendapatkan sambutan yang beragam. Ada yang menyambut positif karena berhasil mempertahankan nuansa ringan namun mengena sesuai yang ada di dalam novelnya.

Pemilihan aktor, setting, dan dialog juga terasa familiar dan tidak dibuat-buat. Adaptasi ini menjadi bukti bahwa novel bergenre populer pun bisa menghasilkan film yang bukan hanya menghibur, tetapi juga menyentil persoalan yang relevan di masyarakat.

Di sisi lain, banyak pula yang merasa biasa saja dengan alur cerita yang ada dalam film tersebut, karena kehilangan konteks, pemangkasan alur yang drastis, atau bahkan pemilihan aktor yang tak sesuai bayangan pembaca. 

Saat sebuah novel difilmkan, tak sedikit orang merasa ceritanya kehilangan kedalaman tak seperti pada novel aslinya, terutama pada dialog-dialog filosofis yang di novel dianggap terasa sangat hidup.

Yang perlu diingat adalah bahwa adaptasi adalah bentuk pembacaan ulang. Sutradara dan penulis naskah juga pastinya akan menjadi pembaca terlebih dahulu, hanya saja mereka menafsirkan cerita dengan cara mereka sendiri.

Karena penafsiran tidak akan selalu sama, maka dari itu akan selalu ada ruang bagi perbedaan pandangan antara pembaca novel dan penonton film. Hal itu adalah sebuah fenomena yang wajar dan perlu kita sikapi dengan bijaksana.

Tentu sah saja bila seseorang lebih menyukai versi novel daripada filmnya karena lebih lengkap, lebih emosional, atau lebih “berasa”. Tapi bukan berarti versi film tidak layak dinikmati.

Film justru bisa menjadi jembatan bagi orang-orang yang belum membaca bukunya secara langsung. Bahkan tak jarang, seseorang baru membaca novelnya karena menonton versi filmnya terlebih dahulu.

Adaptasi juga punya peran penting dalam memperluas jangkauan cerita. Tidak semua orang punya waktu atau minat membaca novel setebal 500 halaman.

Tapi lewat sebuah film, cerita yang panjang itu bisa dikenalkan dalam waktu dua jam. Dan siapa tahu, dari situ minat membacanya seseorang akan tumbuh.

Jadi, daripada membandingkan secara kaku, mungkin lebih bijak jika kita melihat adaptasi sebagai usaha memperpanjang usia sebuah cerita. Cerita yang bagus pantas hidup di berbagai medium, termasuk layar lebar.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak