Raja Ampat adalah gugusan surga. Lebih dari sekadar destinasi wisata kelas dunia, kawasan ini terdiri dari ratusan pulau yang sebagian besar dulunya adalah hutan alami yang tak terjamah. Kawasan ini menyimpan keanekaragaman hayati yang luar biasa, baik di daratan maupun lautan. Maka, ketika isu pertambangan mencuat di wilayah ini, banyak pihak merasa resah—dan wajar saja.
Secara hukum, ada dua ketentuan penting yang seharusnya melindungi Raja Ampat dari tambang terbuka. Pertama, Undang-Undang mengatur bahwa hutan lindung tidak boleh dijadikan lokasi pertambangan terbuka, seperti tambang nikel, batubara, atau emas. Kedua, pulau kecil dengan luas kurang dari 2.000 km² dilarang menjadi lokasi pertambangan karena risiko ekologisnya terlalu besar untuk ditanggung.
Namun kini, kawasan ini tengah menghadapi ancaman yang besar: tambang nikel terbuka di Pulau Gag—sebuah pulau kecil yang secara hukum seharusnya tidak layak menjadi lokasi pertambangan.
Perlu diingat, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sudah secara tegas menyatakan bahwa pulau kecil—yakni pulau dengan luas kurang dari 2.000 km²—tidak boleh dijadikan lokasi tambang. Ini bukan pendapat pribadi atau tekanan aktivis. Ini hukum negara.
Lantas, berapa luas Pulau Gag yang kini menjadi lokasi pertambangan nikel itu? Hanya 77 km². Sangat kecil. Bahkan jika dibandingkan dengan luas Kota Yogyakarta (sekitar 46 km²), Pulau Gag hanya sedikit lebih besar.
Secara logika dan moralitas, ketika sebuah pulau sekecil itu dijadikan lokasi tambang terbuka, kerusakan ekologi adalah konsekuensi yang tak terhindarkan. Tutupan hutan terganggu, tanah dikupas habis, sedimen mengalir ke laut, dan keanekaragaman hayati pun terancam punah. Bahkan jika para pejabat publik atau tokoh masyarakat berusaha meyakinkan kita bahwa ini semua “aman”, tetap saja secara akal sehat—itu merusak.
Namun, kenyataannya tak sesederhana itu. Sejak awal 2000-an, sejumlah perusahaan dengan kepentingan bisnis—didukung oleh jaringan kekuasaan tertentu—berhasil memperoleh pengecualian atas dua aturan tersebut. Dengan dalih potensi ekonomi, izin tambang di kawasan Raja Ampat pun resmi dikeluarkan. Padahal, izin semacam ini seharusnya menjadi alarm, bukan justifikasi.
Alih-alih mempertanyakan dasar keluarnya pengecualian, sebagian pejabat pemerintah justru mengalihkan fokus. Argumen yang digunakan pun lazim kita dengar: “Izin sudah ada sejak lama,” “penambangan tidak akan mencemari laut,” atau “tambang berada di daratan yang jauh dari kawasan wisata.” Sementara itu, kekhawatiran masyarakat dan pegiat lingkungan dianggap sebagai suara minor yang terlalu emosional.
Inilah yang menjadi sumber kritik utama: bukan hanya soal tambangnya, tetapi mekanisme pengecualian yang dibiarkan menjadi celah legalisasi kerusakan lingkungan. Jika aturan bisa diubah atau "dikecualikan" atas dasar kepentingan ekonomi atau politik, maka prinsip perlindungan lingkungan kehilangan daya.
Apalagi, izin pengecualian bukan sesuatu yang statis. Izin bisa diperpanjang, diperluas, bahkan ditambah sewaktu-waktu. Artinya, selama tidak ada langkah pembatalan secara tegas, maka tambang bisa terus berkembang dan meluas. Kita pun harus realistis: selama kelompok yang mendapat manfaat dari pengecualian ini masih punya akses pada kekuasaan, sangat kecil kemungkinan status hukum tambang tersebut akan digugat, apalagi dicabut.
Pemerintah memang berjanji akan mengawasi. Namun sejarah telah menunjukkan bahwa pengawasan di sektor ini sering kali lemah dan mudah dikompromikan. Komitmen hijau yang digaungkan seringkali hanya berhenti pada dokumen dan pidato.
Kasus tambang di Raja Ampat bukan sekadar isu lokal atau persoalan satu-dua izin. Ini adalah cermin dari bagaimana hukum bisa lentur di hadapan kepentingan oligarki. Kita patut bertanya: jika Raja Ampat saja bisa diberi pengecualian, kawasan mana lagi yang akan menyusul?
Karena pada akhirnya, kerakusan memang tak mengenal batas. Dan selama itu dibiarkan, hutan, laut, dan kehidupan di dalamnya hanya akan menjadi angka dalam laporan investasi.
Dan ketika pulau-pulau kecil Indonesia mulai hilang dari peta, jangan kaget jika dalih yang digunakan adalah “penduduk setempat setuju”. Seolah persetujuan sebagian kecil bisa menghapus risiko jangka panjang yang menimpa generasi berikutnya.
Raja Ampat adalah peringatan dini. Saat hukum bisa dikecualikan, ketika suara akal sehat dianggap remeh, maka kita sedang menggali lubang untuk masa depan kita sendiri. Dan lubang itu, sayangnya, tidak sekecil Pulau Gag.
Baca Juga
-
Pantai Sendang Biru: Seribu Spot Ikan di Gerbang Menuju Pulau Sempu
-
Ulasan Film Angel Pol: Satir Sosial dan Realita yang Masih Terlalu Halus
-
Bandara Husein Sastranegara Ditutup, Wisata Bandung seperti Dibunuh Pelan-Pelan
-
4 Drama Korea soal Time Travel Era Kerajaan yang Bikin Hati Campur Aduk
-
Mahar, Peran Gender, dan Krisis Kesetaraan dalam Pernikahan
Artikel Terkait
-
Gus Ulil Dikritik YouTuber soal "Wahabi Lingkungan": Benarkah Penolakan Tambang Hanya soal Agama?
-
Pemerintah Sebut UMKM Bisa Dapat Jatah Tambang, Begini Syaratnya!
-
Aktivis Penolak Tambang Raja Ampat Dicap Wahabi, Ferry Irwandi Skakmat Gus Ulil: Sesat Pikir!
-
ESDM Beri Isyarat PT Gag Nikel Bisa Kembali Eskplorasi di Raja Ampat
-
Bisa Picu Konflik di Raja Ampat, Senantor Papua: Jangan Adu Domba Kita Cuma Gara-gara Tambang!
Kolom
-
Sepiring Nasi Tumpang di Hari Raya, Cerita Persaudaraan yang Tak Terlupakan
-
Jangan Malu Jadi Pembaca Buku: Membaca Itu Gak Bikin Kamu Antisosial
-
Mie Ayam, Bukti Cinta Ibu untuk Anak di Perantauan: Jangan Lupa Makan, Nak!
-
Rendang Kiriman Ibu: Sepiring Rindu di Tanah Perantauan
-
Klub Baca: Ruang Aman Gen Z untuk Bersuara Tanpa Takut Dihakimi
Terkini
-
4 Momen yang Ciptakan Ending Sempurna di Drama Korea "Second Shot At Love"
-
Pantai Sawangan, Surga Tersembunyi di Nusa Dua Bali
-
F Girl oleh Baby DONT Cry: Ungkap Jati Diri Tanpa Peduli Omongan Orang Lain
-
ENHYPEN Pamerkan Aura Bad Boy Pemberani dalam MV Outside, Unjuk Sisi Baru?
-
Ulasan Novel Courtroom Drama: Antara Hati, Hukum, dan Masa Lalu yang Belum Usai