Dari sekian banyaknya makanan yang pernah mewarnai hari-hari di masa kecilku, tidak ada yang lebih membekas di hati seperti sepiring ketoprak buatan Ibu.
Bumbu kacang yang diuleg sendiri, lontong yang telah dibuat sejak semalam sebelumnya ditambah dengan sensasi pedas karena beberapa buah cabai yang semakin memeriahkan cita rasa. Apalagi tambahan bihun, tauge dan kerupuknya semakin menggugah selera.
Ketoprak bukan sekadar makanan untuk kami sekeluarga, tapi semacam ritual kecil yang menyatukan kami setiap akhir pekan. Rasanya sederhana, tapi menyimpan penuh makna.
Bahkan di dalam setiap suapannya, tersimpan kehangatan cinta yang tak tergantikan.
Manisnya kecap dan sedapnya bumbu kacang menggambarkan betapa legitnya masa kecilku.
Aku masih ingat betul, setiap Minggu pagi, aroma bawang goreng dan bumbu kacang mulai tercium sedap dari dapur. Ibu sudah sibuk sejak fajar, menyiapkan bahan-bahan dengan telaten.
Aku, yang waktu itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar, sering duduk di kursi kecil sambil memperhatikan tangan Ibu yang lincah memotong tahu, mengiris kol, merebus telur, tauge, mengulek kacang tanah yang sudah disangrai.
Kadang Ibu juga turut menyuruhku dan adikku mengupas bawang atau menyusun lontong di piring. Meski bantuannya kecil, aku merasa bangga bisa ikut ambil bagian dari pembuatan makanan lezat itu.
Ayah biasanya baru bangun ketika semuanya hampir siap. Ia akan duduk di meja makan sambil menyeruput secangkir kopi dan membaca koran atau menonton berita paginya. Tapi matanya selalu melirik ke arah dapur, menunggu momen ketika sepiring ketoprak disajikan di depannya.
Momen itu selalu jadi awal hari yang menyenangkan. Kami makan bersama di depan televisi sembari menikmati tontonan pagi, bercakap-cakap ringan, menyuruput teh manis hangat dan terkadang diselingi dengan candaan kecil Ayah ketika sambal Ibu ternyata terlalu pedas baginya.
Ketoprak ala Ibu bukanlah ketoprak biasa. Ada sesuatu yang khas dalam racikannya mungkin karena Ibu selalu memakai kacang tanah pilihan, atau karena ia mengulek bumbu dengan penuh kesabaran dan cinta, bukan sekadar mencampur.
Tapi aku yakin, rasa khas itu berasal dari cinta yang tak pernah lelah ia tuangkan dalam setiap masakan untuk keluarganya.
Ketoprak juga menjadi makanan yang menyatukan kami di tengah kesibukan hidup. Ketika ibu pergi ke pasar dan menemukan pedagang lontong, Ibuku selalu teringat kalau ketoprak adalah makanan kesukaanku sejak aku duduk di bangku Sekolah Dasar.
Kini, setelah aku dewasa dan tinggal jauh dari rumah, hidup di perantauan yang terkadang juga merindukan masakan enak Ibu.
Bahkan ada beberapa penjual ketorpak di kota ini, sesekali aku pun sering membeli ketoprak dan mengingat masakan Ibu di rumah sembari menunggu waktu liburan akan tiba.
Sepiring ketoprak tetap menjadi pengingat paling kuat akan kehangatan rumah. Di kota rantau ini, aku kadang membeli ketoprak dari pedagang kaki lima.
Tapi, tidak ada yang benar-benar sama dengan bagaimana sedapnya buatan ibu yang selalu pas takarannya, selalu hangat penyajiannya, dan selalu penuh cinta.
Beberapa waktu lalu, saat aku pulang ke rumah, aku meminta Ibu untuk mengajariku membuat ketoprak. Ya, seperti kalian tahu, meski aku perempuan tapi keahlian masakku masih kurang, tak seperti ibu dan adikku yang pandai memasak.
Di dapur, kami mengulek kacang bersama dan memotong lontong di atas piring. Sambil mengiris lontong, ibu sambal bercerita tentang masa lalu tentang bagaimana dulu Ayah rela bangun pagi mengantar ke pasar atau tukang sayur untuk membeli beberapa buah lontong.
Kami tertawa bersama mengingat kejadian kecil masa lalu dan untuk sesaat, aku merasa seperti anak kecil lagi, duduk di kursi dapur, menanti keajaiban dari tangan Ibu.
Sekarang, aku jadi tahu makna sepiring ketoprak bukan hanya tentang rasa, tapi tentang kenangan, tentang kehadiran, dan tentang cinta tanpa syarat yang ditanamkan Ayah dan Ibu sejak aku kecil.
Setiap kali aku membuat ketoprak sendiri walau rasanya belum pernah seistimewa buatan Ibu aku tahu, aku sedang melanjutkan kisah cinta yang tumbuh dari dapur kecil rumah masa kecilku.
Apalagi tinggal di perantauan yang selalu merindukan masakan ibu.
Baca Juga
-
Review Lagu SEVENTEEN 'April Shower': Saat Terluka dan Hati Belajar Ikhlas
-
Bikin Baper, Esensi Lagu SEVENTEEN '247': Bukan Musik Cinta Biasa
-
SEVENTEEN Ungkap Kebebasan Tanpa Tekanan Sosial di Lagu Bad Influence
-
Kengerian Time Loop dalam Film Horor 'Until Dawn', Bikin Jantungan
-
Lagu 'Shake It Off' Dicekal KBS, Tapi Jadi Musik Terjujur Mingyu SEVENTEEN?
Artikel Terkait
-
Sepiring Bau Peapi, Ibu, dan Kenangan Hangat di Benak
-
Sup Kuning Ikan Patin, Hidangan Pendamai Ibu dan Putrinya
-
Daftar Kandungan Skincare yang Harus Dihindari Ibu Hamil, Cek Dulu Sebelum Beli
-
Sepiring Nasi Tumpang di Hari Raya, Cerita Persaudaraan yang Tak Terlupakan
-
Surga di Telapak Kaki Ibu Ternoda: Demi Motor Pinjaman, Anak di Bekasi Tega Aniaya Ibu Kandung
Kolom
-
Sepiring Bau Peapi, Ibu, dan Kenangan Hangat di Benak
-
Di Balik Gemerlap Ekspektasi: Mencari Makna di Tengah Tekanan Hidup Modern
-
Jangan Malu Baca Buku di Tempat Umum: Normalisasi Membaca di Ruang Publik
-
Sup Kuning Ikan Patin, Hidangan Pendamai Ibu dan Putrinya
-
Dua Mata Pelajaran yang Harusnya Masuk Kurikulum Indonesia
Terkini
-
Fiksasi Aroma Manusia dalam Film 'Perfume', Sajikan Thriller yang Unik
-
Imran Nahumarury Terlibat Pelanggaran Berat, Pihak Malut United Buka Suara
-
Emosional, Jihoon TWS Jadi Remaja Baper Saat Cover Lagu Face to Face Karya Ruel
-
Ulasan Novel The Humans, Sebuah Perenungan dari Sudut Pandang Alien
-
Gila! Samsung Galaxy S25 Ultra Punya Layar AMOLED Terbaik dan Kamera Selevel DSLR