Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Pramudita Kurnia
Ilustrasi Sup Kuning Ikan Patih (Pixabay)

Setiap hal punya dua sisi bagai Yin dan Yang. Ada baik, ada juga buruk. Termasuk manusia yang tidak sempurna. Kita punya sifat baik dan sifat buruk. Baiknya kita tidak memandang seseorang dari satu sisi saja. Setiap orang itu abu-abu.

Aku membicarakan mamaku. Orang yang merawatku dengan cinta kasih, dan juga telah memberiku luka begitu dalam sampai aku terkena penyakit mental. Dari kecil mama selalu mendidikku dengan keras. Kekerasan fisik dan verbal sudah jadi makanan sehari-hari. Ia selalu menyanggah kesalahannya dan sifat otoriternya. Bahwa setiap anak harus patuh pada orang tua apapun yang terjadi, karena orang tua adalah perwujudan tangan dari Tuhan. Begitulah keyakinannya.

Mama sering main tangan dan berkata kasar bahkan di depan khalayak umum. Aku pun malu. Ia tidak pernah minta maaf. Hanya mendiamkanku dengan makanan ringan yang disukai anak-anak. Ia juga selalu menuntutku mendapat nilai sempurna. Juga membandingkan dengan orang lain.

Karena semua hal itu, aku mudah gelisah dan cemas. Jika hal itu terjadi dada sakit, mual dan muntah. Ya, aku asam lambungku naik. Makan pun tak bisa karena mual. Dada sakit jadi tak bisa tidur pulas. Muntah-muntah terus tidak bisa melakukan apa-apa.

Mama tidak pernah sabar merawatku ketika aku sakit GERD atau kala asam lambungku naik. Ia kerap kali memukulku dan menjambak rambutku ketika aku tidak berhenti muntah. Marah-marah karena aku tidak bisa makan apapun. Kadang ia memukul dadaku saking kesalnya karena aku tak kunjung sembuh.

Aku mencoba tegar dan berusaha makan serta teratur minum obat supaya aku cepat sembuh. Walaupun membutuhkan waktu. Aku berusaha sabar. Sampai akhirnya aku sembuh dan bisa sedikit makan.

Dalam masa pemulihan, mama memasak sup kuning ikan patin untukku. Sup itu berisi ikan patin potong, labu dan daun kemangi. Aku memakannya sedikit demi sedikit. Sup kuning ikan patin itu hanya boleh dimakan olehku. Papa dan adik perempuanku tidak suka hidangan ini.

Aku suka sup itu. Kulit ikan patin yang kenyal dan gurih sangat enak untuk digigit. Daging empuk dan gurih begitu sedap dan nikmat untuk disantap. Sebelum aku melahap ikannya, aku memakan daun kemangi itu beserta kuahnya. Daun kemangi adalah sayuran favoritku. Aku suka karena selain enak, daun kemangi juga wangi. Tiada yang mengalahkan kelezatan sayuran satu ini, juga labu yang lunak. Rasanya sangat enak di perut setelah dimakan.

Mama selalu memasakan hidangan itu setelah penyakit GERD-ku kambuh. Ia membeli dua ekor ikan yang dipotong-potong untuk dimasak dengan bumbu kuning, labu dan daun kemangi. Bagian ikan favoritku adalah buntut. Karena bagian itu yang paling besar.

Setelah hidangan itu habis, mama mulai tenang. Ia tidak memperlakukanku dengan buruk, karena aku sudah sembuh. Hidangan itu tidak hanya membuatku sehat kembali, tapi juga menjadi pertanda bahwa hubungan kita sudah membaik.

Di balik sifat kerasnya, ada sifat lembut mama. Sifat lembut seorang ibu yang berusaha merawat anaknya yang sakit. Entah darimana mama tahu resep itu, bagiku sup kuning ikan patin itu menjadi penyembuhku. Masakan itu hanya dimasak ketika aku dalam masa pemulihan berbagai penyakit termasuk GERD.

Jika teringat masakan itu, aku teringat dan menyadari bahwa mama adalah manusia biasa. Ia bisa jadi keras dan tidak sabar menangani aku yang manja jika sakit. Akan tetapi, ia bisa jadi seorang ibu dengan naluri keibuan dan welas asihnya bersedia menghibur dan mengobati anaknya pasca sakit.

Masa-masa itu sulit dan indah di akhir. Diawali dengan penyakit yang menyusahkan, diakhiri wujud cinta kasih mama berupa hidangan. Aku bersyukur aku punya mama yang jago memasak. Aku ingin belajar masak hidangan itu. Kelak jika aku hidup mandiri, aku bisa mengobati masa pemulihan pasca sakit dengan hidangan itu. Terima kasih, mama!

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Pramudita Kurnia