Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Riswandi Riswandi
Ilustrasi bingung (freepik/oatawa)

Dari kecil kita terbiasa diuji lewat pilihan ganda. A, B, C, atau D. Pilih salah satu, dan hanya satu yang benar. Kunci jawaban sudah tersedia, tinggal cocokkan.

Nggak boleh ragu, nggak boleh berbeda. Tapi anehnya, setelah lulus dari semua ujian itu, kita malah dilempar ke dunia nyata yang pilihan-pilihannya tak punya kunci jawaban.

Semua serba ambigu, serba penuh risiko, dan sering kali: semua terlihat benar atau salah, tergantung dari mana kita melihatnya.

Kenapa sekolah tidak pernah mengajarkan bagaimana memilih dalam hidup?

Memilih jurusan kuliah, pekerjaan pertama, pasangan, bahkan sekadar memilih untuk bertahan atau menyerah. Semuanya kita hadapi nyaris tanpa bekal.

Kita dibekali hafalan, rumus, teori, tapi tidak diberi ruang untuk belajar mengenali suara hati. Tidak ada kelas tentang bagaimana mendengar diri sendiri.

Tidak ada pelajaran tentang bagaimana membuat keputusan yang sejalan dengan nilai-nilai pribadi, bukan sekadar menuruti ekspektasi orang lain.

Di tahun-tahun krusial itu, remaja akhir menuju dewasa muda. Banyak dari kita mengambil keputusan besar hanya dengan dua modal: tekanan dan ketakutan. Tekanan dari keluarga, dari guru, dari teman sebaya.

Ketakutan akan masa depan, ketakutan dianggap gagal, ketakutan ditinggal oleh “kereta kehidupan” yang terus berjalan.

Tak heran banyak orang masuk jurusan kuliah yang sebenarnya tidak mereka minati, memilih pekerjaan demi gengsi, atau bahkan menikah hanya karena “waktunya sudah tiba.”

Dan ketika realitas tak semanis yang dibayangkan, kita mulai mempertanyakan semuanya. Kenapa aku di sini? Kenapa aku begini? Kenapa aku merasa hidup orang lain jauh lebih terarah?

Padahal jawabannya sederhana: karena mereka mungkin pernah punya ruang untuk berpikir. Untuk salah. Untuk jujur pada diri sendiri. Sementara kita, dari bangku sekolah dasar sampai bangku kuliah, jarang sekali diajak berpikir seperti itu. Kita dilatih untuk jadi benar, bukan jadi sadar.

Kurikulum pendidikan kita terlalu fokus pada kognisi, tapi lupa pada eksistensi. Kita diajarkan bagaimana berpikir logis, tapi tidak diajarkan bagaimana merasa tenang dalam menghadapi keraguan.

Kita tahu cara menyelesaikan soal integral, tapi tidak tahu bagaimana mengambil keputusan ketika harus memilih antara pekerjaan yang aman dan passion yang menggoda.

Seandainya sejak remaja kita diajak merenung soal arah hidup, soal apa arti “sukses” bagi diri kita masing-masing, soal bagaimana menyusun prioritas, mungkin banyak dari kita tidak akan tersesat sejauh ini.

Bukan karena semua keputusan akan benar, tapi karena kita sadar kenapa kita memilihnya. Dan kesadaran itu yang sering kali menyelamatkan kita dari penyesalan.

Yang menyedihkan, keputusan-keputusan besar dalam hidup sering kali diperlakukan seperti kontes cepat-cepat. Umur 17 harus sudah tahu jurusan kuliah. Umur 25 harus sudah mapan.

Umur 30 harus sudah punya rumah. Kita semua digiring oleh standar yang ditulis entah oleh siapa, tapi seolah jadi hukum sosial yang tidak boleh dilanggar. Padahal hidup bukan lomba. Dan lebih dari itu, setiap orang punya peta jalan yang berbeda.

Bayangkan jika sekolah menyediakan ruang untuk diskusi jujur soal pilihan hidup. Bukan diskusi formalitas ala bimbingan konseling yang terasa seperti kelas tambahan, tapi diskusi yang betul-betul membantu siswa mengenal dirinya.

Tempat di mana mereka bisa bertanya, “Sebenarnya aku pengin jadi apa?” dan dijawab dengan empati, bukan dengan penilaian.

Bayangkan jika ada pelajaran tentang bagaimana membedakan antara keinginan diri sendiri dan keinginan yang ditanamkan oleh orang lain. Tentang bagaimana menghadapi ketidakpastian. Tentang bagaimana belajar dari keputusan yang ternyata salah.

Karena hidup memang tidak selalu memberi kita hasil sesuai harapan. Tapi jika kita mengambil keputusan dengan kesadaran penuh, maka bahkan kegagalan pun akan terasa berbeda. Ia menjadi guru, bukan penyesalan.

Sayangnya, sampai hari ini, kita masih hidup dalam sistem pendidikan yang mengukur “kemampuan” dari seberapa cepat anak mengerjakan soal ujian. Bukan dari seberapa dalam ia mengenal dirinya. Seolah menjadi “cerdas” itu hanya soal angka, bukan soal arah hidup yang seharusnya.

Padahal, kalau dipikir-pikir, pelajaran memilih ini bukan cuma soal masa depan pribadi. Ini juga soal membentuk masyarakat yang lebih dewasa.

Sebab seseorang yang tahu cara memilih, juga tahu cara menghargai pilihan orang lain. Ia tidak akan memaksakan pandangan. Ia akan lebih toleran, lebih terbuka, dan lebih tahu bahwa dalam hidup, tidak ada satu jalan yang mutlak benar untuk semua orang.

Di dunia yang semakin kompleks dan cepat berubah ini, kemampuan mengambil keputusan dengan bijak bukan lagi kemewahan. Ia adalah kebutuhan. Sayangnya, kebutuhan ini belum jadi bagian dari kurikulum.

Dan barangkali, inilah yang membuat banyak dari kita tersesat dalam hidup. Bukan karena kita bodoh, tapi karena kita tidak pernah diajari cara menavigasi. Kita bukan kapal rusak. Kita cuma tidak diberi peta.

Maka, sebelum kita bicara soal kesiapan generasi muda menghadapi dunia kerja, revolusi industri, atau era kecerdasan buatan, mari kita tanya dulu: apakah mereka tahu cara memilih jalan hidupnya sendiri?

Kalau jawabannya belum, maka kita harus berani mengubah isi ruang kelas. Bukan dengan menambahkan hafalan baru, tapi dengan menyelipkan ruang untuk berpikir, merasakan, dan bertanya: “Apa yang sebenarnya aku inginkan dalam hidup?”

Karena hidup, bukan tentang pilihan ganda. Hidup adalah perjalanan panjang yang dipenuhi persimpangan. Dan kita semua berhak tahu caranya memilih.

Riswandi Riswandi