Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Riswandi Riswandi
Ilustrasi bekerja dari rumah [Pexels/Vlada Karpovich]

Kadang saya berpikir, kenapa ya, kerja dari rumah itu rasanya kok beda banget. Di satu sisi, saya bisa bebas pakai baju apa aja—bahkan kadang cuma kaus oblong yang udah compang-camping. Saya nggak perlu terjebak macet, nggak perlu hadapi drama kantor yang bikin stres. Tapi... kenapa ya, meski “seharusnya enak”, saya justru sering merasa terasing?

Bekerja dari rumah itu nggak selalu seindah yang orang bayangkan. Mungkin di luar sana, mereka bayangin hidup saya penuh dengan kedamaian, kopi yang nikmat, dan sesi Zoom yang selalu berjalan lancar. Padahal kenyataannya? Banyak banget momen yang saya habiskan untuk bertanya, “Apakah ini benar-benar yang saya inginkan?”

Kadang saya merasa seperti nggak ada garis tegas antara kerja dan hidup. Seperti semua tercampur aduk jadi satu, dan saya nggak tahu lagi mana yang pekerjaan dan mana yang waktu santai. Semua jadi abu-abu. Dan yang lebih parah, saya jadi nggak tahu bagaimana rasanya benar-benar hidup lagi.

Pagi yang Nggak Pernah Dimulai dengan Semangat

Setiap hari, saya bangun dari tidur yang nggak pernah cukup. Pagi dimulai dengan mata yang susah dibuka, karena semalam saya begadang—bukan karena nonton film, tapi karena otak saya nggak berhenti bekerja. Kadang saya merasa nggak bisa tidur karena takut besok bakal terjebak di siklus yang sama. Tiba-tiba, jam sudah menunjukkan 10 pagi. Alarm yang saya pasang nggak berguna, karena saya lebih memilih untuk memeluk selimut dan berjuang melawan perasaan bersalah.

Kadang saya berpikir, kenapa ya saya nggak bisa seperti orang-orang yang bisa bangun pagi dengan semangat? Yang bisa langsung ngerjain segala hal tanpa ada rasa takut atau cemas? Saya cuma bisa melihat jam, dan bertanya dalam hati, "Kenapa aku nggak bisa produktif seperti mereka?"

Mungkin ini yang disebut burnout. Bekerja tanpa ada ruang untuk istirahat, tanpa ada batasan yang jelas. Tapi anehnya, saya nggak tahu harus melawan apa, atau harus mencari apa lagi, karena pekerjaan saya memang dilakukan di rumah, di ruang yang sama dengan tempat tidur, tempat makan, dan tempat semua hal yang berantakan. Kalau sudah begini, rasanya sulit banget untuk membedakan kapan saya benar-benar bekerja, kapan saya hanya menyelesaikan hal-hal yang “terpaksa” dikerjakan.

Meeting yang Gagal Menutupi Kekosongan

Meeting pagi adalah ritual wajib. Mungkin di luar sana ada orang yang merasa energinya terisi setelah meeting. Tapi saya nggak. Saya justru sering merasa kosong setelahnya. Saya pakai senyum saya, meskipun rasanya hanya hiasan. Saya jawab dengan semangat, meskipun hati saya kosong. Saya paksakan untuk menunjukkan diri saya yang ‘baik-baik saja’, meski kenyataannya perasaan saya nggak karuan.

Zoom meeting bukan cuma soal diskusi kerja. Di balik itu semua, ada pertanyaan yang sering saya tanya ke diri sendiri:

“Apakah ini yang aku mau? Apakah pekerjaan ini benar-benar membuatku bahagia? Atau aku cuma lari dari rasa takut untuk menghadapi sesuatu yang lebih besar dan lebih menantang?”

Kadang, saya berusaha untuk “fit in” dengan orang-orang yang sepertinya begitu hidup, begitu penuh semangat. Sementara saya, di belakang layar, merasa terjebak dalam rutinitas yang tak kunjung berubah. Saya bertanya-tanya, apakah ada yang merasakan hal yang sama dengan saya? Apakah ada yang merasa seperti robot yang melakukan hal yang sama berulang-ulang setiap hari?

Hari yang Tak Pernah Berakhir

Salah satu hal yang paling bikin saya bingung adalah waktu. Waktu kerja dan waktu pribadi saya kayak nggak ada bedanya. Saya merasa terjebak dalam satu ruang yang seharusnya menjadi tempat istirahat, tapi justru menjadi tempat saya bekerja. Saya nggak bisa lagi menikmati waktu santai, karena selalu ada hal yang perlu dikerjakan.

Pekerjaan terus datang. Deadline terus menghantui. Tapi di sisi lain, saya sering merasa nggak produktif sama sekali. Saya mulai mengerjakan sesuatu, lalu berhenti. Mulai lagi, dan berhenti lagi. Rasanya seperti kehabisan energi, meski fisik saya nggak capek. Yang capek itu hati dan pikiran.

Saya pernah coba mencari cara untuk menikmati pekerjaan, untuk menemukan arti dari pekerjaan yang saya lakukan. Tapi semakin saya coba, semakin saya merasa bahwa pekerjaan saya cuma pengalihan. Pengalihan dari rasa takut, pengalihan dari perasaan kosong, pengalihan dari ketidakpastian yang ada di kepala saya.

Kenapa Cuma Kerja yang Aku Punya?

Satu hal yang saya sadari setelah bertahun-tahun kerja remote adalah, saya nggak punya waktu untuk diri saya sendiri. Semua waktu saya habis untuk pekerjaan, untuk memenuhi ekspektasi orang lain, untuk mencari validasi dari dunia luar yang sepertinya lebih sibuk daripada saya. Semua itu bikin saya lupa tentang diri sendiri.

Saya pernah merasa, “Kalau nggak kerja, berarti nggak ada yang bisa saya banggakan.”

Saya cuma bisa sibuk, tapi di dalam hati saya tahu, saya nggak merasa hidup. Saya nggak tahu harus melakukan apa untuk kembali merasa bahagia, kembali merasa penuh.

Kerja remote bukan cuma soal fleksibilitas. Bukan cuma soal bisa ngopi di rumah sambil ngetik di laptop. Kerja remote, bagi saya, adalah tentang kehilangan batas antara hidup dan pekerjaan. Semua jadi bercampur, dan rasanya saya nggak pernah punya waktu untuk berhenti, melihat ke sekeliling, dan benar-benar hidup.

Akhirnya, Saya Belajar: Hidup Itu Butuh Ruang

Semakin lama saya kerja dari rumah, saya semakin sadar: hidup itu butuh ruang.

Bukan hanya ruang fisik, tapi juga ruang emosional. Ruang untuk beristirahat, ruang untuk bercanda, ruang untuk merasa bebas, dan ruang untuk merasakan kebahagiaan tanpa harus merasa bersalah.

Saya mulai belajar untuk memberi jarak antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Saya belajar untuk menutup laptop di jam-jam tertentu, untuk berhenti dari dunia maya dan hanya duduk diam, menikmati secangkir teh sambil mendengarkan suara hujan di luar. Saya mulai merawat diri saya, meski sulit. Tapi yang jelas, saya mulai mengerti: saya butuh hidup, bukan cuma bekerja.

Masih Ada Waktu untuk Kembali Hidup

Kerja remote mungkin nggak seindah yang orang bayangkan. Tapi saya tahu satu hal: hidup itu bukan hanya soal pekerjaan.

Saya berjanji pada diri sendiri, saya akan kembali mencari apa yang benar-benar membuat saya bahagia. Karena terkadang, kita harus berhenti sejenak untuk tahu arah hidup kita. Kerja itu penting, tapi hidup itu lebih penting.

Jadi, kalau kamu merasa sama, kalau kamu merasa seperti saya, yang terjebak dalam rutinitas kerja tanpa akhir, ingatlah satu hal: hidup itu masih bisa dimulai lagi. Cukup beri diri kamu ruang untuk berhenti sejenak, dan mulai lagi dengan cara yang baru.

Riswandi Riswandi