Di tengah riuhnya suara rakyat yang menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, kita justru hanya mendengar gema dari pidato-pidato resmi, bukan suara dari bawah. Pemerintah mengklaim telah bertindak demi kepentingan bersama, namun realita yang dirasakan rakyat sering kali berbeda.
Ketika harga bahan pokok melonjak, ketika kebijakan direvisi secara tergesa-gesa tanpa partisipasi publik, atau ketika ruang kritik dipersempit atas nama stabilitas, publik merasa dijauhkan dari proses pengambilan keputusan. Fenomena ini membuka perdebatan mengenai bagaimana negara menyampaikan narasinya dan apakah rakyat benar-benar diajak bicara atau sekadar diminta untuk mendengar.
Dalam ruang demokrasi yang ideal, pemerintah dan rakyat semestinya terhubung dalam dialog yang setara. Namun yang terjadi sering kali adalah monolog kekuasaan. Pemerintah bicara, rakyat disuruh percaya. Ketika kritik dibalas dengan tuduhan hoaks, saat keresahan dianggap tidak berdasar karena "data resmi tidak menunjang", di situlah gaslighting bermula. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ini bentuk komunikasi yang manipulatif atau strategi untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan?
Gaslighting sebagai Alat Kekuasaan
Gaslighting adalah bentuk manipulasi psikologis yang membuat seseorang meragukan persepsinya sendiri. Dalam konteks hubungan negara dan warga, gaslighting muncul ketika pemerintah menyangkal masalah yang nyata dirasakan rakyat, lalu menggantinya dengan narasi yang seolah masuk akal. Dikutip dari Middle Georgia State University, gaslighting adalah teknik manipulasi psikologis di mana seseorang mencoba meyakinkan seseorang bahwa realitas mereka tidak benar.
Contohnya, ketika pemerintah menyatakan bahwa ekonomi membaik sementara masyarakat di lapangan justru kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, maka terjadi pengaburan realita. Ketimpangan antara data versi pemerintah dan pengalaman masyarakat ini menciptakan kebingungan dan membuat rakyat merasa seolah-olah keluhan mereka tidak sah.
Alih-alih menjadi pelindung dan pelayan rakyat, pemerintah justru berperan sebagai pihak yang mengarahkan persepsi publik sesuai dengan agenda kekuasaan. Strategi komunikasi politik yang digunakan tidak lagi bertujuan membuka dialog, melainkan mengontrol opini. Dalam jangka panjang, praktik semacam ini mengikis kepercayaan publik dan melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri.
Legitimasi dalam Balutan Narasi Sepihak
Setiap pemerintah tentu membutuhkan legitimasi untuk menjalankan kekuasaannya. Namun ketika legitimasi dibangun bukan dari dialog yang jujur, melainkan dari narasi sepihak yang terus diulang, maka yang tercipta bukan kepercayaan, melainkan keterpaksaan.
Pemerintah kerap menggunakan jargon-jargon positif seperti “untuk kepentingan nasional” atau “demi pertumbuhan ekonomi” tanpa memberi ruang bagi rakyat untuk mempertanyakan, menyanggah, atau bahkan ikut merumuskan.
Hal ini terlihat jelas dalam pengesahan berbagai kebijakan kontroversial yang minim partisipasi public, seperti revisi Undang-Undang, proyek strategis nasional yang mengorbankan lahan rakyat, atau bahkan dalam cara pemerintah menangani kritik di media sosial. Legitimasi dibentuk melalui citra, bukan proses partisipatif. Seolah-olah semua berjalan baik hanya karena terlihat baik di permukaan, meski di dalamnya terdapat ketimpangan dan ketidakadilan yang menganga.
Ruang Publik yang Dikebiri
Salah satu efek paling nyata dari praktik gaslighting politik adalah menyempitnya ruang publik untuk berdiskusi. Rakyat yang bersuara dianggap provokatif, aktivis dikriminalisasi, dan kritik terhadap negara dituduh sebagai ancaman terhadap persatuan. Ini bukan sekadar pembatasan, tapi juga bentuk pembungkaman yang dibungkus dengan narasi nasionalisme. Ketika negara terlalu sibuk mengatur apa yang boleh dibicarakan, maka yang hilang adalah kebebasan berpikir.
Ruang publik yang sehat semestinya menjadi tempat pertemuan antara suara rakyat dan telinga pemerintah. Namun jika yang tersisa hanyalah panggung satu arah tempat negara bicara tanpa mau mendengar, maka demokrasi tidak lagi bermakna. Rakyat tidak butuh pemerintah yang selalu punya jawaban, tetapi butuh pemimpin yang bersedia mendengarkan.
Ketika pemerintah lebih memilih membentuk persepsi daripada mendengar aspirasi, maka yang terjadi bukan lagi komunikasi, melainkan manipulasi. Demokrasi yang sejatinya dibangun dari dialog dan partisipasi berubah menjadi panggung retorika sepihak.
Gaslighting politik mungkin mampu mempertahankan kekuasaan dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang ia akan menciptakan jurang kepercayaan yang semakin dalam. Sudah saatnya pemerintah tak hanya bicara, tetapi juga mendengar. Sebab mendengar bukan sekadar tindakan pasif, melainkan bentuk penghormatan paling dasar terhadap rakyatnya.
Baca Juga
-
Dari Kampus ke Desa: Langkah Awal Mahasiswa UMBY Lewat Pembekalan KKN 2025
-
Mandiri Jogja Marathon 2025 Dorong UMKM Tumbuh Lewat Program Mlaku Lokal
-
Ulasan Novel Circe: Kisah Seorang Dewi tak Berbakat dan Makhluk Mitologis
-
Dapur Kosan Tanpa Pepes Ikan: Cerita Rasa dan Rumah yang Tertinggal
-
Review Pride and Prejudice: Cinta Klasik dan Kesenjangan Sosial Elizabeth
Artikel Terkait
-
UU TNI Digugat: Ketika Kekuasaan Meremehkan Suara Mahasiswa Hingga Ibu Rumah Tangga
-
Presiden Prabowo Kumpulkan Menteri dan Ketum PBNU: Evaluasi Program atau Bahas Agenda Rahasia?
-
Bank Jakarta Akan Punya Kantor Baru Mewah di Lokasi Strategis! Ini Bocoran dari Gubernur
-
Dalam Sidang Paripurna DPRD, Bupati Jember Sampaikan 5 Visi Pembangunan Jangka Menengah 2025-2029
Kolom
-
Lipstik Beracun: Industri Kosmetik dan Bahaya Dibalik Racikan Kimia
-
Ketika Disiplin Tidak Lagi Menjadi Seragam, tetapi Hanya Aksesoris Tambahan
-
Menyoal Stereotip Gender dalam Kebiasaan dan Preferensi Membaca Seseorang
-
Pelajaran Memilih: Ilmu Hidup yang Tak Pernah Diajarkan di Bangku Sekolah
-
Sepiring Ketoprak dan Segenggam Rindu: Kisah Cinta dari Dapur Ibu
Terkini
-
Review Novel Masquerade Hotel, Penyelidikan Kasus Pembunuhan Berantai Sebuah Hotel
-
Bikin Geger! Yamaha Aerox Alpha Tampil Beda, Gahar, dan Bertenaga
-
Cillian Murphy Jadi Kepala Sekolah Karismatik di Film Steve
-
Surga Terakhir di Bumi yang Hilang: Ketika Raja Ampat Dikepung Tambang
-
Lee Byung Hun Masuki Tahap Akhir Diskusi untuk Bintangi Film Remake Amerika