Tak sedikit dari kita yang mungkin punya teman seperti ini, setiap kali makan di luar, ia selalu memesan menu yang sama. Entah itu nasi goreng, ayam geprek, atau mie goreng, pilihannya tak pernah berubah. Sementara teman-temannya sibuk menimbang-nimbang menu baru atau mencoba rekomendasi viral, ia justru dengan cepat dan mantap memilih hidangan yang sudah dikenalnya.
Fenomena ini bukan hanya sekadar soal selera atau ketidaktertarikan mencoba hal baru, melainkan mencerminkan cara berpikir dan mengambil keputusan yang disebut sebagai satisficing, yaitu sebuah kecenderungan untuk memilih “yang cukup baik” dan menghindari eksplorasi berlebihan.
Fenomena satisficer ini menarik untuk dikaji lebih jauh, karena menyentuh aspek psikologis dalam pengambilan keputusan sehari-hari. Dalam konteks memilih makanan, tindakan ini tampak sepele, namun sesungguhnya mencerminkan preferensi yang lebih dalam, antara kenyamanan, efisiensi waktu, hingga penghindaran risiko.
Di sisi lain, pilihan ini juga mengundang pertanyaan, apakah pola ini membatasi pengalaman baru, atau justru menjadi bentuk kestabilan mental yang sehat? Ketika pilihan menu makan tak berubah, apakah ini bentuk kemalasan, atau malah strategi hidup yang praktis?
Mengenal Satisficer: Ketika “Cukup Baik” Sudah Memuaskan
Istilah satisficer pertama kali diperkenalkan oleh Herbert A. Simon, seorang ahli psikologi dan ekonomi, untuk menggambarkan individu yang mengambil keputusan cukup berdasarkan standar yang memuaskan, bukan yang paling optimal.
Dalam kasus memilih makanan, seorang satisficer akan langsung memilih menu favoritnya tanpa perlu menimbang seluruh pilihan yang ada. Tujuannya bukan karena mereka tak punya selera, tapi karena mereka merasa keputusan itu sudah memenuhi ekspektasi rasa dan kenyamanan pribadi.
Berbeda dengan maximizer yang selalu ingin mencari opsi terbaik dengan mempertimbangkan semua kemungkinan, satisficer lebih fokus pada efektivitas dan kestabilan. Mereka merasa tak perlu membuang waktu dan energi untuk memilih sesuatu yang berbeda jika yang sudah ada cukup memuaskan. Kebiasaan ini menjadi semacam bentuk efisiensi mental yang bisa mengurangi kelelahan akibat terlalu banyak pilihan.
Psikologi di Balik Konsistensi Lidah
Bagi satisficer, rasa aman adalah kunci. Menu yang sudah dikenal dan disukai memberikan jaminan bahwa mereka akan puas dengan pilihan tersebut. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh ketidakpastian, konsistensi dalam hal kecil seperti makanan bisa menjadi sumber kontrol yang menyenangkan. Ada juga aspek emosional yang menyertai, yaitu makanan yang dipilih berulang kali sering kali punya keterikatan dengan pengalaman positif atau nostalgia.
Namun, pola ini juga bisa muncul dari ketakutan akan kekecewaan. Beberapa orang menghindari mencoba menu baru karena khawatir rasanya tidak sesuai harapan atau merasa rugi jika makanan yang dipilih ternyata tidak enak. Dalam konteks ini, preferensi terhadap menu yang sama bukan sekadar soal kenyamanan, tapi juga bentuk penghindaran dari rasa kecewa atau penyesalan.
Apakah Satisficing Membatasi Pengalaman?
Bagi sebagian orang, menjadi satisficer bisa dianggap membatasi ruang eksplorasi. Dunia kuliner menawarkan ribuan rasa, bahan, dan pengalaman baru yang bisa memperkaya kehidupan. Ketika seseorang terlalu terpaku pada satu pilihan, ia mungkin melewatkan banyak momen yang bisa menambah wawasan dan kepuasan baru. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini bisa mengurangi fleksibilitas dan kepekaan terhadap perubahan.
Namun di sisi lain, tidak semua orang membutuhkan variasi untuk merasa bahagia. Bagi satisficer sejati, kepuasan tidak selalu datang dari mencoba hal baru, tetapi dari menikmati hal yang sudah dikenal dengan lebih dalam. Makanan yang sama bisa membawa kenyamanan yang konsisten, seperti rutinitas pagi atau lagu favorit yang terus diulang. Dalam dunia yang penuh distraksi, konsistensi bisa menjadi bentuk ketenangan.
Fenomena satisficer dalam memilih makanan menunjukkan bahwa keputusan sederhana sekalipun bisa mencerminkan cara berpikir dan preferensi hidup seseorang. Alih-alih dianggap membosankan atau tertutup terhadap pengalaman baru, mereka justru menempatkan kenyamanan dan kepastian sebagai prioritas.
Di tengah dunia yang penuh opsi dan tuntutan untuk selalu “up to date”, mungkin ada nilai yang patut diapresiasi dari mereka yang tetap setia pada pilihan lamanya. Karena pada akhirnya, hidup bukan soal mencoba semua rasa, tapi menemukan rasa yang membuat kita merasa cukup.
Baca Juga
-
Di Balik Trending Topic: Standar Ganda dalam Cerita Perceraian Tasya Farasya
-
Beban Kelompok: Dari Drama Numpang Nama sampai Fenomena Social Loafing
-
Jerat Konsumtif di Balik Budaya Cashless, Solusi atau Masalah Baru?
-
Saat Podcast Jadi Pilihan Belajar, Apa yang Hilang dari Televisi?
-
Siapa Peduli pada Guru, Kalau Semua Sibuk Bicara Kurikulum?
Artikel Terkait
-
Pengajaran Disiplin Oleh TNI/Polri di Sekolah Rakyat Dikritik: Bisa Picu Trauma Psikologis
-
Ulasan Novel Immaculate Conception: Ambisi dan Identitas dalam Distopia
-
9 Rekomendasi Film Horor Psikologis Terseram, Bring Her Back Wajib Tonton!
-
Mengenal Mythomania: Ketika Kebohongan Menjadi Kecanduan
-
FoMO dan Kecanduan Media Sosial, Menyelami Perangkap Digital Remaja
Kolom
-
Dia Bukan Ibu: Ketika Komunikasi Keluarga Jadi Horror
-
Gaji Pencuci Tray MBG Jadi Sorotan, Netizen Bandingkan dengan Guru Honorer
-
Sule Ditilang: Curhat Beban Biaya Kendaraan yang Bikin Netizen Relate
-
Bertemu Diri Kecil Lewat AI: Percakapan yang Tak Pernah Kita Siapkan
-
Bahaya! Fenomena Groupthink Bisa Membunuh Karakter dan Jiwa Anak Muda!
Terkini
-
4 Serum Ekstrak Lemon yang Ampuh Bikin Wajah Cerah Seketika, Kaya Vitamin C
-
The Apothecary Diaries Umumkan Musim 3 dengan Misteri Baru di Luar Istana
-
Jangan Sampai Ketipu! Bongkar 7 Trik Jitu Bedakan Sepatu KW vs Ori
-
AXIS Nation Cup adalah Kampus Nyata Para Champion Masa Depan
-
Skuat Garuda Kian Dipenuhi Pemain Uzur, Kebijakan Potong Generasi Era STY Kini Terasa Mubadzir!