Setiap perayaan besar, mulai dari tahun baru, hari kemerdekaan, hingga pesta pernikahan, kembang api hampir selalu hadir sebagai penanda kemeriahan. Langit yang dipenuhi cahaya warna-warni dianggap sebagai simbol kebahagiaan dan puncak perayaan.
Namun, di balik keindahan sesaat itu, polusi udara meningkat, residu kimia jatuh ke tanah dan air, serta suara ledakan mengganggu manusia dan hewan. Meski dampaknya berulang dan nyata, praktik ini tetap diterima, bahkan dinormalisasi, seolah menjadi konsekuensi wajar dari sebuah perayaan.
Fenomena tersebut tidak berdiri sendiri sebagai persoalan lingkungan semata, melainkan berkaitan dengan akar psikologis yang lebih dalam. Cara manusia memaknai perayaan, kebahagiaan, dan tradisi dibentuk oleh proses psikologis dan sosial yang berlangsung lama. Normalisasi polusi dalam perayaan menunjukkan bagaimana perilaku kolektif dapat bertahan meski bertentangan dengan pengetahuan rasional dan kesadaran akan dampaknya.
Tradisi Sosial dan Pewarisan Makna
Kembang api telah lama dilekatkan pada makna perayaan dan kemenangan. Secara psikologis, tradisi memiliki kekuatan besar karena diwariskan lintas generasi dan jarang dipertanyakan. Ketika suatu praktik dilakukan berulang kali dalam konteks positif, otak manusia mengasosiasikannya dengan emosi menyenangkan. Akibatnya, kembang api tidak lagi dipandang sebagai sumber polusi, melainkan sebagai bagian alami dari perayaan.
Pewarisan makna ini diperkuat oleh narasi budaya dan sejarah. Anak-anak tumbuh dengan melihat orang dewasa merayakan momen penting menggunakan kembang api sehingga terbentuk skema kognitif bahwa perayaan harus meriah, bising, dan spektakuler. Ketika sebuah praktik telah menjadi simbol kolektif, kritik terhadapnya sering dianggap sebagai ancaman terhadap tradisi itu sendiri.
Bias Kognitif dan Pengabaian Dampak Jangka Panjang
Normalisasi polusi juga dipengaruhi oleh bias kognitif, khususnya bias optimisme dan bias jarak psikologis. Banyak orang meyakini bahwa dampak kembang api bersifat kecil, sementara, dan tidak berdampak langsung pada diri mereka. Polusi udara dianggap akan hilang dengan sendirinya sehingga tidak memicu rasa urgensi untuk berubah.
Selain itu, manusia cenderung lebih fokus pada kepuasan instan dibandingkan konsekuensi jangka panjang. Ledakan cahaya kembang api memberikan stimulasi visual dan emosional yang kuat dalam waktu singkat, sedangkan dampak lingkungannya bersifat abstrak dan tidak langsung terlihat. Ketimpangan ini membuat otak lebih mudah membenarkan perilaku yang sebenarnya merugikan.
Konformitas Sosial dan Ketakutan Menyimpang
Faktor lain yang berperan adalah konformitas sosial. Dalam situasi perayaan kolektif, individu terdorong untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok. Tidak menyalakan atau menikmati kembang api dapat memunculkan perasaan terasing atau dianggap tidak ikut merayakan. Tekanan sosial ini membuat banyak orang memilih diam, meski secara pribadi menyadari dampak negatifnya.
Ironisnya, ketakutan menyimpang dari norma sering lebih kuat daripada kesadaran moral atau lingkungan. Dalam psikologi sosial, hal ini dikenal sebagai normative social influence, yaitu kecenderungan mengikuti perilaku kelompok demi penerimaan sosial. Selama mayoritas masih menerima kembang api sebagai bagian perayaan, praktik tersebut akan terus direproduksi tanpa banyak perlawanan.
Pada akhirnya, normalisasi polusi dalam perayaan menunjukkan bahwa masalah lingkungan tidak bisa dilepaskan dari cara manusia berpikir dan berperilaku. Kembang api tetap diterima bukan karena kita tidak tahu dampaknya, melainkan karena tradisi, bias kognitif, dan tekanan sosial bekerja bersama membentuk pembenaran kolektif. Jika perayaan dimaknai sebagai ungkapan syukur dan harapan, maka sudah saatnya kita merefleksikan bentuknya.
Perubahan mungkin tidak mudah, tetapi kesadaran psikologis menjadi langkah awal untuk membangun perayaan yang lebih bertanggung jawab, tanpa harus mengorbankan lingkungan demi kemeriahan sesaat.
Baca Juga
-
Bukan Sekadar Resolusi: Tahun Baru sebagai Ruang Belajar dan Resiliensi
-
Mengapa Sulit Berkata 'Tidak'? Menelusuri Akar Psikologis Budaya Mengalah
-
Dari Harga Beras hingga Jam Kerja: Semua Berawal dari Keputusan Politik
-
Ketika Laut Membentuk Cara Masyarakat Pesisir Mengelola Perasaan
-
Pesisir dan Keberlanjutan yang Tumbuh dari Relasi
Artikel Terkait
-
Meriah! Suara.com Bareng Accor Sambut Tahun Baru 2026 dengan Kompetisi Dekorasi Kue
-
Rayakan Malam Tahun Baru dengan 4 Outfit Dinner ala Moon Ga Young
-
Jadwal Premier League Pekan ke-19, Arsenal vs Aston Villa Jadi Rebutan Puncak Klasemen Liga Inggris
-
Malam Tahun Baru 2026 di Jakarta Usung Doa Bersama dan Donasi Korban Bencana
-
Tak Ada Toleransi, Polda DIY Cabut Seluruh Izin Pesta Kembang Api di Jogja
Kolom
-
Bukan Sekadar Resolusi: Tahun Baru sebagai Ruang Belajar dan Resiliensi
-
Haus Itu Minum, Bukan Mencari Validasi: Refleksi Kebutuhan Diri di Era Pamer
-
Mengapa Sulit Berkata 'Tidak'? Menelusuri Akar Psikologis Budaya Mengalah
-
Dari Harga Beras hingga Jam Kerja: Semua Berawal dari Keputusan Politik
-
Romantisasi Ketangguhan Warga: Bukti Kegagalan Negara dalam Mengurus Bencana?
Terkini
-
CERPEN: Matahari itu Bernama Surya
-
Menulis Cerita Misteri di Malam Hari, Diintip Makhluk Gaib di Balik Jendela
-
Kenapa Harus Malu? Menjadi Outfit Repeater Justru Cerdas dan Berprinsip
-
Hollow Knight: Silksong Umumkan Ekspansi Gratis Sea of Sorrow!
-
Denada Tebar Pesona di Bangkok, Aksinya Justru Picu Komentar Pedas