Gagasan zero waste atau hidup tanpa menghasilkan sampah menjadi tren gaya hidup yang semakin populer, terutama di kalangan anak muda urban. Media sosial dipenuhi dengan konten estetik seperti toko isi ulang yang minimalis, tempat makan dari bambu, hingga rumah tanpa plastik yang tampak bersih dan rapi.
Namun, di balik citra tersebut, ada realitas yang sering terabaikan yakni tidak semua orang mampu mengakses gaya hidup ini. Biaya produk ramah lingkungan yang tinggi, keterbatasan fasilitas di daerah, dan eksklusivitas komunitas menjadi penghalang bagi banyak orang untuk benar-benar terlibat dalam gerakan ini. Alih-alih menjadi gerakan inklusif untuk menyelamatkan bumi, zero waste kini terancam menjadi sekadar gaya hidup elit yang menonjolkan estetika.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan apakah aktivisme lingkungan masih benar-benar berakar pada misi sosial dan keberlanjutan kolektif, atau justru bergeser menjadi simbol status dan tren visual? Ketika kesadaran lingkungan dibungkus sedemikian rupa agar tampak Instagramable, ada kekhawatiran bahwa substansi gerakan ini terkikis.
Dari Perjuangan Jadi Tren Konsumtif
Gerakan zero waste awalnya lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya konsumsi berlebihan dan sistem produksi yang merusak lingkungan. Namun kini, justru muncul paradoks di mana banyak produk zero waste hadir dalam bentuk yang ‘harus’ dibeli untuk dianggap peduli lingkungan. Tas belanja berbahan kanvas, tumbler stainless steel bermerk, hingga peralatan makan ramah lingkungan yang harganya tak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat, menjadi semacam identitas baru para pegiat lingkungan versi media sosial.
Alih-alih mengurangi konsumsi, sebagian orang justru terdorong membeli lebih banyak produk demi terlihat eco-friendly. Konsep reuse dan reduce yang seharusnya menjadi inti gerakan ini tergeser oleh dorongan konsumtif baru yaitu produk ramah lingkungan. Estetika memang penting untuk menyebarkan ide, tetapi jika hanya menekankan tampilan luar, maka misi perubahan sistemik menjadi kabur. Gerakan ini pun terancam kehilangan jangkauan sosialnya.
Kesenjangan Akses dan Realitas Sosial
Tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap alternatif ramah lingkungan. Di banyak daerah, masih sulit menemukan toko isi ulang atau produk tanpa kemasan. Bahkan, harga produk organik dan bebas plastik kerap jauh lebih mahal dibandingkan produk massal yang penuh plastik. Bagi masyarakat menengah ke bawah, kebutuhan dasar tentu lebih utama daripada pilihan gaya hidup ideal.
Sayangnya, sebagian narasi zero waste yang beredar justru cenderung menyalahkan individu atas ketidakpeduliannya pada lingkungan, tanpa mempertimbangkan struktur sosial dan ekonomi yang tidak merata. Gerakan yang seharusnya merangkul semua lapisan masyarakat justru menjadi eksklusif, seolah hanya bisa dilakukan oleh mereka yang tinggal di kota besar dan berpenghasilan cukup.
Mengembalikan Substansi Gerakan
Agar gerakan zero waste tidak kehilangan arah, penting untuk mengingat kembali bahwa inti dari aktivisme lingkungan adalah perubahan sistem, bukan sekadar perubahan gaya hidup personal. Edukasi tentang pengelolaan sampah, kampanye mendesak produsen untuk bertanggung jawab terhadap limbah mereka, serta dorongan terhadap kebijakan publik yang ramah lingkungan harus tetap menjadi fokus utama.
Selain itu, perlu pendekatan yang lebih inklusif dan memberdayakan. Komunitas zero waste bisa bekerja sama dengan warga lokal, memperkenalkan cara pengurangan sampah yang murah, mudah, dan relevan dengan kondisi setempat. Membuat alat daur ulang sederhana, memanfaatkan kembali barang bekas, dan membangun kebiasaan berkelanjutan yang tidak bergantung pada kemampuan finansial adalah langkah konkret untuk menjaga akar sosial dari gerakan ini.
Gerakan zero waste seharusnya bukan tentang siapa yang paling estetik atau paling eco-chic, melainkan siapa yang mau berkontribusi dalam perubahan nyata. Agar tidak kehilangan substansi, aktivisme lingkungan perlu kembali pada akarnya yaitu gerakan kolektif yang merangkul, bukan mengkotakkan. Karena bumi ini bukan hanya milik mereka yang bisa membeli produk ramah lingkungan, tapi milik semua orang yang ingin hidup lebih baik hari ini dan esok.
Baca Juga
-
Meme In This Economy dan Kenyataan Pahit Hidup di Tengah Ketimpangan
-
AI dan Ekspektasi Emosional: Siapa yang Mengendalikan Siapa?
-
Dari Iklan ke Film: Bagaimana Media Membentuk Citra Perempuan?
-
Representasi Perempuan di Layar Kaca: Antara Stereotip dan Realitas
-
Mahasiswa dan Detik-Detik Terakhir: Budaya Deadline atau Kurangnya Urgensi?
Artikel Terkait
-
Teknologi Vesikel Sintetik Kian Populer dalam Dunia Estetika Medis, Apa Manfaatnya?
-
Kulit Berminyak Sebaiknya Pakai Sunscreen SPF Berapa? Ini Tips Aman dari Dokter Estetika
-
Cara Reapply Sunscreen saat Sedang Pakai Full Makeup, Harus Dihapus Dulu?
-
Apakah Harus Cuci Muka Dulu sebelum Reapply Sunscreen? Ini Step yang Benar Menurut Dokter Estetika
-
Kulit Berminyak Lebih Cocok Pakai Bedak Tabur atau Padat? Ini Kata Dokter Estetika
Kolom
-
Jempol Lincah, Otak Rebahan: Fenomena Nyinyir Zaman Now
-
Ketika Hustle Culture Jadi Standar Nilai Diri: Salahkah Jika Diam Sejenak?
-
Meme In This Economy dan Kenyataan Pahit Hidup di Tengah Ketimpangan
-
AI dan Ekspektasi Emosional: Siapa yang Mengendalikan Siapa?
-
Paradoks Solo Leveling: Mengapa A-1 Pictures Rugi di Puncak Popularitas?
Terkini
-
4 Pelembab Cream untuk Kulit Kering dan Perbaiki Skin Barrier, Rp100 Ribu!
-
Sutradara Spill Cerita F1 Bila Lanjut Sekuel, Ingin Ada Tom Cruise!
-
Garang! Marc Marquez Berpotensi Samai Pencapaian Valentino Rossi di MotoGP
-
Dandadan Season 2 Resmi Tayang, Sutradara Ungkap Perbedaan dari Versi Manga
-
Choo Young Woo dan Shin Shi Ah Bintangi Remake Film Romantis Jepang