Bullying di sekolah bukan sekadar “kenakalan remaja” ia adalah fenomena psikologi sosial yang kompleks, berlapis, dan sering kali mematikan.
Drama Korea Revenge of Others (2022) membongkar realitas ini dengan cara yang tajam dan gelap menampilkan bagaimana perundungan, pengucilan sosial (dalam serial Korea ini disebut dengan wang-ta), dan budaya diam dapat menggiring seorang remaja menuju jurang kehancuran.
Dibungkus dengan genre thriller-misteri, drama ini bukan hanya hiburan, tetapi cermin buram yang memantulkan kondisi sekolah di banyak negara, termasuk Indonesia.
Dalam drama ini, kematian misterius saudara kembar Ok Chan-mi menjadi pintu masuk menuju kritik sosial yang lebih besar. Ia tidak sekadar mati ia runtuh dalam jaringan kekerasan yang dipelihara oleh lingkungan sekolah yang toxic.
Sinopsisnya mungkin berbentuk cerita balas dendam, tetapi esensinya adalah seruan moral untuk melihat bullying sebagai ancaman struktural, bukan insiden individu semata. Dan di sinilah psikologi sosial menjadi kunci membaca pesan yang dibawa drama ini.
Bullying dan Wang-ta Ketika Pengucilan Bukan Sekadar Kekejaman, Tetapi Kegagalan Komunitas
Revenge of Others menggambarkan wang-ta pengucilan sosial ekstrem yang membuat seseorang menjadi “tidak terlihat” di lingkungan sekolah. Ok Chan-mi dan saudara kembarnya bukan hanya menjadi korban bullying fisik mereka menghadapi sistem sosial yang mendorong siswa untuk diam, mengikuti arus, dan tidak peduli selama mereka tidak ikut disakiti.
Dalam psikologi sosial, fenomena ini disebut diffusion of responsibility ketika semakin banyak penonton, semakin kecil kemungkinan seseorang membantu korban. Semua orang merasa orang lain yang harus bertindak, hingga tidak ada yang benar-benar bertindak. Drama ini menegaskan bahwa diam bukan sikap netral diam adalah bentuk persetujuan diam-diam terhadap kekerasan.
Bullying yang tak tertangani akhirnya menciptakan trauma psikologis mendalam depresi, rasa tidak berharga, hilangnya tujuan hidup, bahkan keinginan bunuh diri. Revenge of Others menunjukkan bagaimana satu celah kecil dalam empati dapat berubah menjadi jurang kematian.
Di dunia nyata, banyak kasus bullying baru terungkap ketika sudah viral atau ketika korban sudah terluka parah. Ini membuktikan hal yang sama masyarakat kita masih memelihara budaya membiarkan kekerasan sosial tumbuh tanpa ada intervensi bermakna.
Balas Dendam, Vigilantisme, dan Kegagalan Sistem Ketika Remaja Harus Menjadi Penegak Keadilannya Sendiri
Ketika sistem sekolah, polisi, dan bahkan orang dewasa gagal memberikan keadilan, muncul karakter Ji Soo-heon (diperankan oleh Park Solomon) sebagai vigilante remaja yang menegakkan keadilan jalanan bagi korban perundungan. Ini bukan glorifikasi kekerasan, melainkan kritik keras terhadap sistem yang lamban dan tidak responsif.
Dalam psikologi, tindakan balas dendam muncul ketika seseorang merasa dikhianati oleh otoritas, tidak memiliki kontrol terhadap kehidupannya sendiri dan merasa tidak ada mekanisme pemulihan yang adil.
Balas dendam menjadi saluran untuk memulihkan rasa berdaya yang hilang akibat bullying. Namun drama ini juga menunjukkan sisi gelapnya keadilan yang lahir dari kemarahan selalu kompleks, mudah salah sasaran, dan mengaburkan batas antara korban dan pelaku.
Kisah Gi O-sung (dibintangi oleh Chae Sang Woo) manipulator pintar yang memutarbalikkan kebenaran mencerminkan realitas lain bahwa bullying sering disembunyikan oleh wajah-wajah yang tampak baik di permukaan. Dalam banyak kasus nyata, pelaku bullying justru siswa terhormat, siswa berprestasi, atau anak orang berpengaruh.
Drama Korea ‘Revenge of Others’ mengingatkan bahwa keadilan tidak hanya soal menemukan pelaku, tetapi menyingkap struktur manipulatif yang menjaga kekerasan tetap tersembunyi. Ketika remaja harus mengusut kebenarannya sendiri, itu adalah bukti kegagalan total sistem pendidikan dan penegakan hukum.
Empati sebagai Perlawanan Mengajarkan Remaja Melihat Manusia di Balik Luka
Di balik kegelapan naratifnya, pesan paling kuat drama ini adalah tentang empati radikal kemampuan untuk melihat manusia lain sebagai manusia, bukan objek ejekan atau target kekuasaan sosial.
Ok Chan-mi (diperankan Shin Ye-Un) tidak hanya mencari pembalasan ia mencari kebenaran demi menghormati kemanusiaan saudara kembarnya. Soo-heon membantu korban bukan untuk popularitas, tetapi karena ia merasa nyeri ketika melihat orang lain disakiti. Dua karakter ini menjadi simbol bahwa empati adalah tindakan, bukan perasaan.
Psikologi sosial menyatakan bahwa empati tumbuh ketika seseorang merasa didengar, adanya hubungan emosional yang aman dan lingkungan sosial mengajarkan keberanian membantu.
Sebaliknya, bullying itu terlahir dari sikap dan ketidakmampuan memahami emosi orang lain, kebutuhan dominasi, lingkungan yang menormalisasi kekejaman, hingga minimnya figur dewasa yang benar-benar hadir.
Drama Korea ini juga mengingatkan kita bahwa empati bukan sekadar nilai moral saja, tetapi mekanisme penting untuk mencegah tragedi. Sekolah yang tidak menumbuhkan empati adalah sekolah yang membiarkan kekerasan berkembang diam-diam.
Di akhir narasi, drama ini tidak menawarkan penyelesaian sempurna karena kenyataan pun tidak pernah sesederhana itu. Tetapi satu hal jelas ketika empati hilang, keadilan ikut terkubur.
Drakor ‘Revenge of Others’ ini adalah cermin yang menyakitkan. Ia memperlihatkan bagaimana bullying dapat membunuh bukan hanya tubuh, tetapi juga jiwa. Ia menunjukkan bahwa keadilan sering harus dicari oleh mereka yang paling terluka karena mereka tidak percaya lagi pada sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Remaja bukan membutuhkan aturan baru mereka membutuhkan lingkungan yang tidak menertawakan luka mereka. Selama sekolah lebih peduli pada reputasi daripada keselamatan, selama masyarakat memaklumi kekerasan sebagai bagian dari proses, dan selama empati tidak diajarkan sebagai kemampuan hidup, tragedi seperti Revenge of Others akan terus terasa familiar.
Bukan kisah dramanya yang terlalu gelap. Dunia remajalah yang terlalu lama kita biarkan gelap.
Baca Juga
-
Gerakan Anti-Bullying: Selama Diam Jadi Budaya, Itu Hanya Mimpi Belaka
-
Pesan Film Moonlight: Deskriminasi, Trauma, dan Keberanian Lawan Bullying
-
Revolusi Senyap Melawan Kebisingan: Mengapa Kita Mendambakan Slow Living?
-
Akar Melawan Ombak: Perjuangan Komunitas Mangrove Menyelamatkan Pesisir
-
Singkirkan Rasa Takut Belajar Anti-Bullying dari Film 'The Karate Kid'
Artikel Terkait
-
Gerakan Anti-Bullying: Selama Diam Jadi Budaya, Itu Hanya Mimpi Belaka
-
Hukum di Indonesia Mengenai Bullying: Sudah Cukup Tegas atau Belum?
-
Pesan Film Moonlight: Deskriminasi, Trauma, dan Keberanian Lawan Bullying
-
Belajar Menjadi Ruang Aman untuk Orang Lain Lewat Lagu 'Jiwa yang Bersedih'
-
Sinopsis Drama Korea Love Me Lengkap dengan Jadwal Tayang dan Pemain
Kolom
-
Status Bencana Nasional Masih Wacana, Pengungsi Aceh Sudah Terancam
-
Gerakan Anti-Bullying: Selama Diam Jadi Budaya, Itu Hanya Mimpi Belaka
-
Hukum di Indonesia Mengenai Bullying: Sudah Cukup Tegas atau Belum?
-
Pesan Film Moonlight: Deskriminasi, Trauma, dan Keberanian Lawan Bullying
-
Rehabilitasi Mangrove Nasional: Menyelamatkan Garis Pesisir Indonesia
Terkini
-
Review Film Sisu: Road to Revenge, Pahlawan Tua yang Tak Terkalahkan!
-
Olla Ramlan Jalan Bareng Pacar Brondong, Gaya Berjalan Jadi Perbincangan!
-
Ternyata Sesederhana Ini! Rutinitas Malam yang Ampuh Cegah Gula Darah Naik
-
ENHYPEN Dikabarkan Comeback 16 Januari 2026, Siap Perluas Pasar Global?
-
Penantian Berakhir, Drama Kim Seon Ho dan Go Youn Jung Siap Guncang Awal Tahun 2026