Bullying atau perundungan sudah menjadi masalah serius yang mengancam remaja Indonesia. Di balik wajah lucu anak-anak sekolah, ternyata banyak yang mengalami luka fisik dan mental akibat caci maki, pukulan, atau diasingkan terus-menerus.
Dalam 2 minggu November 2025 saja, jumlah kasus bullying melonjak dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya, dengan 203 anak di bawah usia 20 tahun menjadi korban kekerasan.
Tragedi seperti kematian MH, siswa SMPN 19 Tangerang Selatan yang diduga dibully sampai tewas, atau bunuh diri 25 anak akibat tekanan serupa membuat kita bertanya: apakah hukum di Indonesia sudah cukup tegas melindungi korban dan membunuh pelaku?
Secara resmi, Indonesia memiliki sistem hukum yang lengkap untuk menangani bullying. UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi dasar utama.
Pasal 76C melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk fisik, psikis, dan seksual, dengan ancaman hukuman hingga 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp72 miliar.
Bullying bisa dianggap sebagai kekerasan psikis jika dilakukan secara terus-menerus dan merusak pertumbuhan anak, meskipun tidak menyebabkan luka fisik.
Selain itu, Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan memaksa sekolah menerapkan kebijakan zero tolerance, termasuk mediasi restoratif dan sanksi disiplin.
KUHP juga bisa dipakai. Pasal 351 tentang penganiayaan ringan bisa mengena pelaku bullying fisik hingga 2 tahun 8 bulan penjara. Sementara Pasal 335 soal pengeroyokan bisa berdampak hukuman hingga 5 tahun penjara.
Untuk cyberbullying, UU ITE Pasal 27 ayat (3) atur penghinaan elektronik hingga 4 tahun hukuman. Bahkan, UU KUHP baru tahun 2023 mulai berlaku penuh 2026, memperkuat perlindungan dengan mendefinisikan kekerasan psikis lebih luas.
Di ranah perdata, korban bisa menuntut ganti rugi materiil dan immateriil berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.
Namun, meski aturan terlihat ketat, cara penegakannya masih diragukan. Laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan 31% dari 3.800 kasus kekerasan terhadap anak di tahun 2024 adalah bullying, sebagian besar terjadi di sekolah.
Pada tahun 2025, trennya naik tajam: dari 43 kasus bunuh diri yang terkait bullying di 2024, terjadi 25 kasus fatal hanya hingga November. Contohnya kasus MH di Tangsel, terungkap setelah korban meninggal—sekolah baru berinisiatif mediasi setelah orang tua melaporkan, tapi sudah terlambat.
Di Ubud Bali, mahasiswa Timothy diduga dibully hingga jatuh dari gedung kampus, tapi penyelidikan terlambat karena kurangnya bukti digital.
Masalah utama adalah ketidakseragaman dalam penerapan hukum. Banyak sekolah menganggap bullying sebagai hal lucu, sehingga hanya memberi sanksi internal seperti skorsing, bukan melaporkan ke polisi. Meski Polri menindak sebagai tindak pidana anak, proses restoratif sering kali diutamakan daripada hukuman, sehingga efek jera kurang.
Profesor Nurini Aprilianda, pakar hukum pidana anak dari Universitas Brawijaya, mengatakan Indonesia perlu UU khusus anti-bullying yang lengkap, seperti yang ada di negara-negara maju, untuk mencakup bullying secara psikis tanpa harus ada luka fisik.
Saat ini, penerapan hukum bergantung pada interpretasi, dan banyak korban enggan melaporkan karena stigma atau takut dibalas.
Selain itu, kerja sama antar sektor masih lemah. Kementerian Pendidikan sedang menyusun peraturan baru untuk guru sebagai pendamping psikologis, tapi implementasinya di daerah minim.
Platform digital juga lambat menghapus konten bullying meskipun UU ITE sudah ada. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mendorong adanya Pos Bantuan Hukum di desa untuk mediasi yang mendasar, tapi dana terbatas.
Akibatnya, pelaku—yang sering kali anak-anak sendiri—jarang dapat rehabilitasi yang mendalam, sementara korban mengalami trauma seumur hidup.
Apakah sudah cukup jelas? Jawabannya: belum. Meski hukum sudah ada, penerapannya masih lemah karena budaya impunitas dan kurangnya edukasi.
Diperlukan reformasi: UU khusus anti-bullying, pelatihan wajib bagi guru dan polisi, serta kampanye nasional untuk membangun respons dari orang yang menyaksikan. Pemerintah juga harus mengalokasikan dana untuk konselor sekolah dan hotline pelaporan anonim.
Peran orang tua, sekolah, dan masyarakat sangat penting: ajarkan empati sejak dini, laporkan segera, dan bangun lingkungan yang aman.
Mari bersuara: YoursayAntiBullying dan YoursaySafeSpace. Karena bullying bukanlah canda, tapi kejahatan yang merusak masa depan. Dengan kolaborasi, kita bisa menciptakan Indonesia yang bebas perundungan—tempat anak tumbuh aman dan percaya diri.
Baca Juga
-
Rehabilitasi Mangrove Nasional: Menyelamatkan Garis Pesisir Indonesia
-
Dampak Pemanasan Global terhadap Ekosistem Pesisir Indonesia
-
Review Film Wasiat Warisan: Komedi Keluarga dengan Visual Danau Toba
-
Review Film Air Mata Mualaf: Perjalanan Iman yang Mengiris Hati
-
Budaya Bahari Nusantara: Salah Satu Warisan Leluhur yang Ada di Tepi Laut
Artikel Terkait
-
Belajar Menjadi Ruang Aman untuk Orang Lain Lewat Lagu 'Jiwa yang Bersedih'
-
Fenomena Kasus Bullying Viral: Mengapa Kita Baru Bergerak saat Sudah Telat?
-
Difabel Rentan Jadi Korban Bullying, Ini Pentingnya Ruang Aman Inklusif!
-
Anak Terlalu Dipuji atau Dikritik Sama-Sama Berpotensi Jadi Pelaku Bullying
-
Membangun Sekolah Ramah Anak: Peran Penting Guru dalam Kampanye Antibullying
Kolom
-
Pesan Film Moonlight: Deskriminasi, Trauma, dan Keberanian Lawan Bullying
-
Rehabilitasi Mangrove Nasional: Menyelamatkan Garis Pesisir Indonesia
-
Eldest Daughter Syndrome: Beban Anak Perempuan Sulung yang Terabaikan
-
Belajar Menjadi Ruang Aman untuk Orang Lain Lewat Lagu 'Jiwa yang Bersedih'
-
Fenomena Kasus Bullying Viral: Mengapa Kita Baru Bergerak saat Sudah Telat?
Terkini
-
Perpisahan Penuh Haru, Doyoung dan Jungwoo NCT Resmi Jalani Wajib Militer
-
Yakob Sayuri Jadi Korban Rasisme, PSSI Didesak Ambil Tindakan Tegas!
-
Alyssa Daguise Bingung soal Minyak Jelantah, Warganet: Jangan Cari Tahu
-
Melanie Subono Spill Rincian Donasi Diduga dari Kementan, Dinilai Janggal?
-
Indra Sjafri Ungkap Biang Kerok Kekalahan Memalukan atas Filipina, Ada Apa?