Lintang Siltya Utami | Angelia Cipta RN
Kolase Foto Film Moonlight dan Bullying. (IMDb-Freepik)
Angelia Cipta RN

Bullying menjadi salah satu masalah serius yang kini dihadapi di berbagai negara seperti salah satunya di Indonesia. Tapi, siapa sangka kasus bullying juga banyak diangkat menjadi film-film motivasi yang penuh pesan moral. Salah satunya adalah film Moonlight.

Film Moonlight yang dirilis pada 2016 ini bukan sekadar drama coming-of-age belaka. Ini adalah potret psikologis yang getir tentang bagaimana seseorang tumbuh di tengah kekerasan verbal, fisik, stigma sosial, dan pencarian jati diri.

Kisah Chiron, seorang anak kulit hitam yang dibesarkan di lingkungan keras membuka mata kita pada satu kenyataan pahit bullying tidak hanya melukai tubuh, tetapi memahat identitas seseorang, perlahan namun dalam. Ketika dunia terlalu bising dengan tuntutan menjadi normal, film ini menegaskan bahwa menjadi diri sendiri adalah perjuangan paling berani.

Dalam konteks percakapan anti-bullying hari ini di sekolah, kampus, komunitas, dan ruang digital, tontonan Moonlight ini menawarkan cermin penting. Cermin yang memaksa kita bertanya bagaimana luka yang tidak terlihat membentuk masa depan seseorang?

Bayangan Masa Kecil Luka Psikologis yang Tidak Diobati

Di babak pertama Moonlight, kita melihat Chiron kecil yang dibully habis-habisan karena dianggap berbeda. Tubuhnya kecil, sifatnya pendiam, suaranya lembut, dan semua itu menjadi alasan bagi anak-anak lain untuk mengejek, mendorong, dan melukai.

Namun yang paling menohok bukan pada tindakan teman-temannya, melainkan pada lingkungan yang membiarkan hal itu terjadi. Tidak ada guru yang benar-benar memahami. Tidak ada sistem yang melindungi. Bahkan rumah yang seharusnya menjadi tempat amandipenuhi ketegangan dari ibunya yang kecanduan.

Inilah realitas bullying yang jarang dibahas. Bullying tumbuh subur di tempat-tempat yang kehilangan empati. Dalam psikologi perkembangan, bullying yang terjadi secara berulang pada masa kanak-kanak dapat menciptakan rasa rendah diri yang menetap, kecemasan sosial, ketidakmampuan mengungkapkan emosi, dan kesulitan membangun hubungan di masa dewasa.

Chiron kecil adalah representasi anak-anak yang hari ini mungkin duduk di bangku sekolah, mencoba menghilang di sudut kelas agar tidak menjadi sasaran. Mereka yang diam bukan karena pemalu, tetapi karena dunia memperlakukan mereka dengan kejam.

Moonlight menunjukkan satu hal penting luka psikologis tidak selalu tampak. Dan sering kali, korban tidak tahu kepada siapa mereka bisa bersandar.

Gambaran Remaja yang Rapuh Ketika Bullying Memaksa Identitas Bersembunyi

Pada babak kedua, Chiron remaja menghadapi bentuk bullying yang lebih brutal. Ia diserang di lapangan sekolah, ditertawakan, dan dipaksa menyangkal dirinya sendiri. Adegan pemukulan itu menyakitkan bukan hanya karena kekerasannya, tetapi karena pelakunya adalah seseorang yang ia percayai.

Dari sudut pandang psikologi, fase remaja adalah periode krusial untuk pembentukan identitas. Bullying yang terjadi pada tahap ini dapat mendorong seseorang menekan identitas aslinya, membangun persona palsu untuk bertahan, atau justru menarik diri dari dunia sosial sepenuhnya.

Chiron tidak diberi ruang untuk mengakui dirinya, apalagi mencintai dirinya sendiri. Ia hidup dalam bayang-bayang standar maskulinitas toksik bahwa laki-laki harus keras, harus kuat, harus tidak boleh terlihat lembut. Inilah akar kultural bullying yang sering kita lupa masyarakat sering menciptakan pelaku bullying secara tidak langsung melalui ekspektasi yang kejam.

Mengapa seseorang dianggap pantas dibully hanya karena bersikap berbeda? Siapa yang menentukan batas normal itu? Setelah dianiaya, Chiron akhirnya meledak. Ia memecahkan kursi ke kepala pelaku, bukan karena ia memilih kekerasan, tetapi karena dunia tidak memberi ruang lain untuk mempertahankan dirinya.

Di titik ini, Moonlight memberi pesan moral penting bahwa korban bullying bisa menjadi agresor ketika kebutuhan emosional mereka terus diabaikan. Dan ini bukan pembenaran, tetapi peringatan serius.

Cahaya di Tengah Luka Pelajaran Anti-Bullying dari Film Moonlight

Babak ketiga Moonlight memperlihatkan Chiron dewasa yang sepenuhnya berubah. Tubuhnya berotot, identitasnya keras, wajahnya tanpa ekspresi. Tetapi di balik itu semua, ia hanyalah versi lain dari anak kecil yang dulu ingin dipeluk, didengar, dan diakui.

Perubahan drastis Chiron memperlihatkan bagaimana bullying membentuk kepribadian seseorangbukan sebagai pilihan, tetapi sebagai mekanisme bertahan hidup.

Film ini mengajarkan tiga hal penting dalam perjuangan anti-bullying, yaitu:

  • Safe Space Itu Nyata, Bukan Slogan

Satu-satunya tempat Chiron merasa aman adalah ketika ia berbicara dengan Kevin, seseorang yang melihatnya sebagai manusia, bukan sebagai stereotip. Dari hubungan itu, penonton sadar bahwa safe space bukan ruangan formal, tetapi hubungan yang memberi rasa aman tanpa menghakimi. Dalam menghadapi bullying, keberadaan satu orang yang mau mendengar bisa menyelamatkan kehidupan seseorang

  • Empati adalah Obat Luka yang Tidak Kelihatan

Moonlight memperlihatkan bahwa luka psikologis tidak hilang begitu saja. Mereka menetap, mengendap, mengeras. Namun empatikecil sekalipun mampu melembutkan trauma. Ini penting dalam edukasi anti-bullying mengajarkan empati lebih penting daripada memberi hukuman. Tanpa empati, bullying hanya akan berpindah bentuk.

  • Identitas Tidak Boleh Ditentukan oleh Tekanan Sosial

Bullying sering menargetkan mereka yang dianggap tidak sesuai standar baik fisik, gender, orientasi, penampilan, hingga karakter. Moonlight mengingatkan bahwa identitas seseorang tidak boleh dipaksakan oleh tekanan sosial. Setiap orang berhak menjadi diri sendiri tanpa takut dibully.

Film Moonlight bukan hanya tentang sosok Chiron. Tapi, ini adalah kisah ribuan orang yang tumbuh sambil menutupi luka. Ini menjadi kritik terhadap budaya yang membiarkan bullying merusak masa depan seseorang. Dan ia adalah pengingat bahwa ruang aman tidak akan pernah tercipta jika kita hanya menonton dari kejauhan.

Untuk melawan bullying, dunia membutuhkan lebih banyak Juan sosok yang hadir tanpa menghakimi. Lebih banyak Kevin yang berani mendengarkan. Lebih banyak cahaya kecil yang menerobos gelap.

Karena kadang, satu cahaya kecil saja sudah cukup untuk menyelamatkan seseorang dari tenggelam dalam bayang-bayangnya sendiri.