Setiap menjelang Hari Guru, linimasa biasanya penuh dengan foto-foto siswa membawa bunga plastik, cokelat sederhana, atau kartu ucapan buatan tangan yang ditempel dengan lem seadanya.
Namun tahun-tahun belakangan, memberi hadiah kepada guru adalah hal yang dilarang. Katanya, untuk mencegah gratifikasi.
Gratifikasi, dalam aturan hukum Indonesia, merujuk pada segala bentuk pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatan mereka—baik itu uang, barang, diskon, komisi, fasilitas, atau bentuk manfaat lainnya.
Undang-Undang Tipikor bahkan memasukkannya sebagai sesuatu yang wajib dilaporkan, karena ada potensi mengarah pada suap. Jadi, pada dasarnya, gratifikasi adalah hadiah yang berpotensi memengaruhi integritas.
Sobat yoursay, kita tahu bahwa suap dan korupsi adalah penyakit kronis di negeri ini, dan wajar jika negara ingin membentengi diri dengan aturan tegas.
Tapi aneh rasanya ketika semangat antigratifikasi justru diarahkan ke ruang kelas, tempat di mana hadiah paling mahal biasanya cuma sekotak bolpoin, secangkir kopi, atau sabun cuci tangan yang dikumpulkan patungan.
Sementara di luar sana, kasus-kasus besar dengan angka miliaran sering kali berakhir dengan kalimat, “kami menghormati proses hukum,” dan sisanya tenggelam tanpa jejak.
Regulasi antigratifikasi memang penting, tetapi ketika ia diterapkan dengan kacamata hitam-putih tanpa melihat konteks, guru menjadi kelompok profesi yang paling mudah kena imbas.
Padahal hadiah yang diterima bukanlah suap, bukan upaya menyogok demi nilai, dan bukan trik untuk mendapat perlakuan khusus. Banyak orang tua memberi karena ingin berterima kasih. Murid memberi karena sayang. Guru menerima pun dengan penuh canggung, bukan karena mengincar, tapi menghargai ketulusan.
Dan sobat yoursay, ini hanya terjadi setahun sekali.
Kalau kita lihat realitanya, mayoritas hadiah yang diberikan tidak lebih mahal dari uang parkir di mall besar. Sering kali hanya belasan ribu, kadang puluhan ribu. Sebungkus kue kering, selembar kerudung sederhana, bahkan sebuah pulpen berisi kartu kecil bertuliskan “Terima kasih, Bu.”
Lalu, apakah benar sebuah kerudung 25 ribuan bisa menggerogoti integritas seorang guru? Atau kita sebenarnya sedang menembakkan aturan serius pada masalah yang tidak serius?
Sobat yoursay, saya yakin banyak dari kita punya pengalaman di masa sekolah ketika memberikan hadiah kecil membuat kita merasa dekat dengan guru. Karena ada hubungan emosional yang tumbuh di ruang kelas, dan mereka juga pengganti orang tua selama 6–8 jam di sekolah.
Mereka tidak pernah meminta hadiah itu. Justru banyak guru yang risih dan malu menerima. Namun kini, hadiah sekecil apa pun harus ditolak, atau setidaknya dilaporkan.
Yang lebih ironis lagi, larangan ini muncul di saat gaji guru, terutama guru honorer, masih jauh dari kata layak. Banyak dari mereka mengajar dengan penghasilan di bawah UMR, mengurus administrasi setumpuk, membimbing puluhan murid, dan tetap diminta menjaga integritas tingkat dewa hanya karena seorang murid memberi hadiah seharga ayam goreng satu potong.
Dua realitas yang timpang, tapi hidup berdampingan tanpa pernah dicari jalan tengahnya.
Padahal, jika kekhawatiran negara adalah suap dalam bentuk hadiah, maka logikanya seharusnya melihat niat dan nilai. Tidak setiap pemberian adalah gratifikasi. Tidak setiap hadiah adalah upaya memengaruhi keputusan. Undang-undang pun sebenarnya membedakan antara gratifikasi yang dilaporkan dan gratifikasi yang pemberiannya wajar secara sosial budaya.
Sayangnya, implementasi di lapangan sering kali jauh lebih kaku daripada regulasinya. Sekolah takut, guru takut, kepala sekolah takut. Akhirnya semua diseragamkan, jangan menerima apa pun, meski itu sebungkus permen.
Sobat yoursay, bukankah aneh jika kita mengajarkan anak untuk berterima kasih, tapi ketika mereka ingin melakukannya, kita justru berkata, “Tidak boleh, nanti dianggap gratifikasi”? Bukankah kita juga sering mengajarkan bahwa kebaikan harus dibalas kebaikan? Lalu bagaimana jika balasan itu dilarang sistem?
Sebelum negara sibuk melarang hadiah kecil, mungkin ada baiknya negara justru memikirkan cara untuk mengganti apresiasi murid yang hilang itu dengan apresiasi yang lebih layak.
Kalau guru dilarang menerima hadiah kecil, maka negara harus hadir dengan hadiah besar, yaitu gaji yang wajar, fasilitas yang memadai, penghargaan yang jelas, dan status pekerjaan yang stabil.
Karena kenyataannya, guru adalah salah satu profesi yang paling sering diberi beban, tapi paling jarang diberi penghargaan. Dan ketika sebuah cokelat kecil pun kini dianggap ancaman integritas, apakah sistem kita masih sehat, atau justru terlalu takut pada bayangan gratifikasi sampai lupa pada akar persoalan?
Mungkin sudah waktunya kita kembali menata nalar. Guru tidak butuh hadiah mahal. Mereka hanya butuh dihargai, baik secara moral maupun material.
Sebungkus kue dari murid tidak akan membuat negara rugi. Tapi negara bisa rugi besar kalau terus menempatkan guru sebagai pihak yang harus dicurigai, bukan dihormati.
Baca Juga
-
Kegagalan Sistem: Mengkritisi Pernyataan Mendikdasmen soal Nilai TKA
-
Judicial Review: Strategi Politik Menghindari Tanggung Jawab Legislasi
-
Banjir Bukan Takdir: Mengapa Kita Terjebak dalam Tradisi Musiman Bencana?
-
Pasal 16 RKUHAP: Bahaya Operasi Undercover Buy Merambah Semua Tindak Pidana
-
Revisi KUHAP: Jurang Baru Antara Kewenangan Aparat dan Hak Warga Negara
Artikel Terkait
-
Hari Guru Nasional 2025: Beasiswa Naik, Tunjangan Bertambah, Perlindungan Diperkuat
-
Refleksi Hari Guru Nasional, Fakta dan Harapan Para Pendidik Bangsa
-
35 Twibbon Hari Guru Nasional 2025, Desain Menarik dan Siap Pakai Gratis!
-
Terpopuler: Tangis Inara Rusli Dituduh Selingkuhan, Doa Hari Guru Nasional 2025
-
8 Rekomendasi Lipstik untuk Guru 40 Tahun Keatas yang Tahan Lama Seharian
Kolom
-
Kegagalan Sistem: Mengkritisi Pernyataan Mendikdasmen soal Nilai TKA
-
Refleksi Hari Guru Nasional, Fakta dan Harapan Para Pendidik Bangsa
-
Bukan Sekadar Membaca: Kebijakan Resensi dan Literasi Kritis di Sekolah
-
Lingkaran Setan Upah Minimum: Tertinggal dari Tetangga, Tergerus Inflasi
-
Pendidikan Inklusi atau Ilusi, Realita Pahit dan Harapan Besar Bangsa
Terkini
-
Lebih dari Sekadar Pengantar Tidur: Sains di Balik Musik untuk Relaksasi
-
SEA Games 2025 dan Keberpihakan Semesta yang Berikan Keuntungan Jadwal bagi Garuda Muda
-
Keluarga Disenggol Haters, Respons Ayu Ting Ting: Lu Ada Masalah Apa?
-
Fiki Naki Sah Menikah, Netizen Hujani Live TikTok dengan Gift dan Confetti
-
Gus Fawait, Politisi Muda Jember yang Tunjukkan Toleransi Lewat Aksi