Hikmawan Firdaus | Nurkalina Pratiwi Suganda
Buku dan AI Summarizer (Dok. Pribadi/Nurkalina)
Nurkalina Pratiwi Suganda

Beberapa waktu lalu, unggahan seorang pembaca—atau lebih tepat kita sebut "oknum" sebagai bentuk eksklusivitas dari pembaca sesungguhnya—sempat viral di antara komunitas pembaca buku, khususnya pada platform TikTok dan X (Twitter). Dia menggemborkan jumlah bacaannya dalam seminggu yang bisa mencapai angka tiga digit, yakni 100 buku.

Seratus buku dalam seminggu merupakan angka fantastis dan, sebenarnya, mungkin saja terjadi jika jenis bacaannya berupa komik atau sastra anak. Terlebih, jika dia adalah fast reader, tentu saja membaca 100 komik atau sastra anak dalam waktu satu minggu itu sangat memungkinkan.

Akan tetapi, yang menyulut amarah pembaca lain adalah fakta bahwa oknum tersebut tidak benar-benar membaca semua buku yang dia pamerkan.

Ini bukan sekadar kalimat tipuan yang diikuti candaan "Tapi bohong!" melainkan pencemaran esensi membaca itu sendiri.

Dalam unggahannya, si oknum tampak bangga memamerkan pada dunia bahwa dia hanya membaca AI summarizer atau rangkuman buku dari AI, bukan benar-benar menikmati keseluruhan isi bukunya secara mandiri.

Performative Reading Merajalela dalam Komunitas Pembaca Buku

Ilustrasi Komunitas Pembaca Buku (Sumber: Freepik)

Secara harfiah, performative reading dimaknai sebagai tren ketika pembaca ingin semua orang tahu bahwa mereka "membaca". Rasanya itu seperti sedang pamer, apalagi jika buku yang "dibaca" termasuk ke dalam genre berat, misalnya fiksi sejarah, nonfiksi, bahkan politik. Sebutan ini identik dengan "pembaca" yang mencemari esensi membaca buku sesungguhnya.

Performative reading pernah ramai dibicarakan pada tahun 2021. Topik ini begitu hangat di antara komunitas buku. Saat itu, selebritas dan komunitas Booktok (komunitas pembaca buku pada platform TikTok) mempromosikan buku tertentu sebagai tren.

Apakah itu salah? Sebenarnya tidak.

Mempromosikan buku tertentu memang tidak salah, bahkan bisa membuat bukunya dikenal oleh lebih banyak orang. Namun, yang mengundang kontroversi adalah bagaimana performative reading melahirkan konsumerisme atau sifat FOMO (Fear of Missing Out) secara perlahan.

Bayangkan begini deh, ada seorang influencer yang membaca satu judul buku. Hanya dari berbicara saja, pengikutnya langsung tertarik untuk membeli. Membeli, ya, bukan membaca. Pembelian buku memang membantu penulis dan penerbit, tetapi jika masif dan berujung sebagai pajangan di kamar, maka itu termasuk ke dalam konsumerisme dan FOMO.

Nah, baru-baru inilah istilah performative reading naik daun lagi.

Setelah performative male, performative reading kini naik peringkat untuk dibahas. Ya ... karena persoalan oknum yang "membaca" via AI summarizer itu, tetapi sebetulnya problem ini layak diulik lebih lanjut.

Mulai dari berbohong soal genre kesukaan, pura-pura suka membaca buku, sampai ke menggunakan AI summarizer supaya terlihat produktif. Ini, sih, pola pikirnya yang kena.

Kalau hobimu bukan membaca buku, kenapa harus dipaksakan? Membaca buku bagus untuk perkembangan otak dan mental, tetapi jika mau tidak mau, apakah ada manfaatnya?

Esensi Membaca Buku yang Tidak Bisa Diberikan oleh AI Summarizer

Ilustrasi Menikmati Bacaan (Sumber: Freepik)

Ketika membaca buku, kita dapat merasakan beragam emosi pada tiap tokoh. Bagaimana tokoh A bahagia sampai jingkrak-jingkrak atau kesedihan tokoh B yang rasanya breaking the 4th wall.

Pokoknya, dari membaca, kita belajar memosisikan diri sebagai tokoh untuk merasakan empati. Dari membaca juga, kita dapat melihat bermacam-macam dunia: negara, fiktif, sampai ke luar angkasa. Tidak jarang karya-karya fiksi pun memuat realitas sosial sehingga pembaca merasa lebih dekat.

Lantas, apakah AI summarizer bisa memberikan efek setara? Tentu saja tidak, "tidak" yang ditulis besar-besar, TIDAK.

Namanya saja summarizer, tentu si AI hanya memberikan rangkuman cerita yang entah singkat, entah menyeluruh, bisa jadi juga asal-asalan karena belum "memakan" konten terkait. AI summarizer sangat mungkin untuk luput meng-highlight poin-poin cerita yang berlaku sebagai clue atau sekadar hal trivial. Kecil juga kemungkinannya membahas footnote dan jargon dalam buku.

Tidak sampai di situ saja, AI summarizer pun mungkin salah dalam memberikan informasi. 'Kan enggak lucu, ya, lagi ngobrol sama teman soal satu judul buku, eh tiba-tiba dia memandangi dengan bingung, "Kamu yakin kita membaca buku yang sama?"

Perlu kita ingat bahwa AI summarizer sangat jauh berbeda dari sinopsis atau blurb pada sampul belakang buku. Oleh karena itu, penggunaannya tetap tidak boleh dijadikan acuan. Kalau bisa, sih, jangan deh. Baca bukunya langsung saja, lebih seru.

Jangan sampai terhasut godaan menyelesaikan buku dengan cepat. Membaca via AI summarizer itu tidak sama dengan membaca bukunya secara langsung. AI summarizer tidak membuatmu keren atau tiba-tiba dapat julukan "si paling bookworm". AI summarizer justru membuatmu tampak menyedihkan. Mau alasannya sibuk kek, nyobain kek, kamu hanya akan jadi pembohong ulung pengejar target.

Masa enggak malu, sih?

Kalau kamu termasuk pengguna Ai summarizer ini, kamu tidak hanya membohongi sekitar, tetapi diri sendiri juga. Jadi ... yuk, mulai cintai buku sebagaimana mestinya. Kalau merasa tertekan karena harus membaca, kamu bisa eksplorasi hobi lain yang sama produktifnya. Betul tidak?