Hikmawan Firdaus | Nurkalina Pratiwi Suganda
Sampul novel Book Shamer karya Asmira Fhea (Goodreads)
Nurkalina Pratiwi Suganda

"Coba yang suka review jelek, emangnya bisa jadi penulis? Jangan cuma bisa nyinyir tapi tulisannya masih jelek. ...."

"Katanya Bookfluencer. Booktuber. Kok malah book shaming sih?"

Sadar atau tidak, kita pasti pernah berada di dua posisi berbeda: seorang pembaca dan penulis.

Terbit pada tahun 2023 oleh penerbit Clover (M&C Gramedia), Asmira Fhea menyajikan realitas komunitas baca dan dunia literasi dalam novel 238 halaman ini. Book Shamer, dari judulnya saja pembaca bisa menilai plot cerita macam apa yang ada dalam buku tersebut.

Sebagai seorang pembaca buku dan penulis aktif, menyelami dunia dalam Book Shamer membuat hati tergelitik. Bukan, bukan karena buku ini punya selera humor tinggi, melainkan karena satirenya yang halus, sekaligus fakta bahwa salah satu buah karya Asmira Fhea begitu dekat dengan kenyataan.

Memangnya sedekat apa, sih?

Sinopsis Novel Book Shamer

Cerita dibawakan melalui sudut pandang Amy Dhriti, seorang mahasiswi Sastra Indonesia yang punya pendirian tinggi, pengetahuan luas, serta pemikiran kritis. Sifat-sifat Amy terbentuk karena didikan orang tuanya. Amy beserta kakak dan adiknya sudah terekspos pada buku dan "bacaan berat" sejak mereka masih kecil.

Sayangnya, ibu Amy cenderung overprotektif, bahkan hobi mengatur pilihan anak-anaknya. Tentu saja Amy pun terdampak. Ketika Amy menunjukkan minat pada bacaan fiksi, ibu Amy marah besar. Dia menganggap fiksi bukanlah bacaan berbobot yang punya manfaat. Bagi ibu Amy, membaca fiksi setara dengan buang-buang waktu, tidak berdampak apa-apa.

Larangan demi larangan terus berdatangan. Lingkar pertemananan dibatasi, jenis bacaan disupervisi. Lama-kelamaan, kukungan ini membuat Amy jenuh tinggal di rumah. Punya kejuaraan dan prestasi sana-sini, tetapi masih dikekang oleh orang tua terkait pilihan sendiri. Apalah gunanya?

Amy memutuskan kuliah Sastra Indonesia, murni karena passion dan keinginan untuk bebas membaca genre apa pun. Pemilihan jurusan kuliah ini harus melewati perseteruan hebat dengan Ibu, bahkan Ayah juga tidak membela Amy. Jika Amy kukuh pada Sastra Indonesia, dia harus angkat kaki dari rumah, dan dia tidak punya keraguan dalam mengambil keputusan.

Untuk membantu kehidupan sebagai anak kos, Amy menyalurkan hobi dengan menjadi booktuber (pemilik saluran YouTube seputar buku dan literasi). Dia mengulas novel fiksi di sana. Namun, Amy hanya mengulas novel-novel yang menarik perhatian dan sesuai seleranya saja.

Konflik hadir ketika Amy menerima endorse buku antologi Mimpi dan Harapan Kita yang ditulis oleh Komunitas Akar Cerita. Tidak sampai di situ saja, permasalahan ini pun terjadi menjelang pengumuman juara kompetisi Versatile Book's Reviewer, mencoreng nama baik Amy yang digadang-gadang potensial sebagai juara pertama.

Ada Potret Penulis Antikritik, tetapi Bukan Itu Poinnya

Blurb Novel Book Shamer (Sumber: Gramedia Digital)

Sekilas dari blurb sampul belakang buku ataupun sinopsis cerita, Book Shamer memang menunjukkan aksi defensif seorang penulis, bahkan cenderung antikritik. Akun anonim dengan nama samaran "Penulis Amatir" secara gamblang menunjukkan ujaran kebencian kepada Amy. Alasannya? Karena Amy memberikan ulasan jujur terkait buku antologi Mimpi dan Harapan Kita. Reaksi tersebut otomatis membuat Amy connects the dots. Dia menemukan benang merah dari rentetan kejanggalan: Penulis Amatir adalah seseorang yang punya kaitan erat dengan Komunitas Akar Cerita.

Sebenarnya, Amy pun sadar bahwa ulasannya terlalu tajam untuk dipahami penonton awam. Akan tetapi, pada saat yang sama, memang inilah branding Amy sebagai booktuber. Dia akan menguliti buku yang dibaca, kemudian menyampaikan pandangannya secara jujur terkait substansi cerita. Ulasan Amy memang subjektif, semua pengulas buku pasti subjektif, sisanya tergantung pada bagaimana persepsi penonton video Amy.

Meskipun harus jatuh bangun demi membersihkan nama baiknya, ternyata skandal ini memberikan Amy begitu banyak insight: dunia tidak selalu berotasi di jantung kota.

Book Shamer Mengajarkan Penerimaan Diri lewat Potret Penulis Antikritik

Amy, dengan lapang dada dan tangan terbuka, menerima sekaligus mengakui semua ketikan Penulis Amatir. Dia tidak familier dengan dunia di luar Jakarta, dia pun menganggap penulis-penulis pemula yang kurang sempurna dalam mengeksekusi plot sebagai penulis amatir yang kurang referensi.

Nyatanya, di luar sana, banyak penulis kesulitan mengakses bacaan berkualitas. Terkadang, mereka hanya mampu menjangkau bacaan-bacaan gratis yang tersebar di internet, tanpa peduli apakah sesuai usia atau tidak.

Adapun satu kutipan menyentil hati, terkait cita-cita anak SD yang Amy curi dengar saat itu. Tidak ada yang memilih jadi dokter atau presiden, tetapi jadi penjaga warung dan tukang sampah.

"Kayaknya bukan karena nggak mau, sih, ya, Mbak. Tapi, lebih ke nggak berani. Semacam stigma masyarakat, apalagi kalau datang dari kalangan menengah ke bawah. Sekolah jangan tinggi-tinggi biar langsung kerja, cari uang buat keluarga. Jadi dokter atau profesi yang kelihatan mewah setaranya, itu tandanya harus sekolah tinggi. Mereka nggak ada uang buat itu. Jadi, sejak kecil udah dipaksa mikir realistis sesuai standar ekonomi. Jatuhnya, ya, ngikutin profesi yang udah ada aja di lingkungan terdekat mereka." (halaman 150)

Dengan begitu banyaknya hal yang baru dia ketahui, Amy justru tidak menutup diri. Ini yang membuat karakterisasi tokoh Amy sangat menarik dan inspiratif. Seorang perempuan berpendidikan tinggi, punya pengetahuan literasi luas, dan mampu berpikir kritis; menganggap skandal yang menimpanya sebagai sebuah pengalaman berarti.

Sebagai penulis, Asmira Fhea sukses menciptakan sosok imajinatif yang diharapkan ada di dunia nyata. Seseorang yang jelas-jelas berprivilese, berasal dari keluarga terpandang nan berkecukupan, tetapi sukarela terjun ke akar rumput (meskipun tujuan awalnya jauh berbeda dari output yang dihasilkan).

Tokoh Amy dengan mudahnya merasuk ke hati pembaca. Dia bukanlah protagonis yang sempurna, tetapi ketidaksempurnaan ini membuat Amy menerima masukan dengan tangan terbuka.

Novel Book Shamer sangat layak dibaca, setidaknya sekali seumur hidup, apalagi kalau kamu adalah seorang penulis dan pembaca aktif atau sekadar ingin bacaan ringan di waktu luang. Tidak hanya mengajarkan penerimaan kritik terhadap diri, buku ini juga menunjukkan insight kehidupan kelas menengah ke bawah dan bagaimana proses penerimaan diri sekaligus cita-cita yang tidak mudah.