M. Reza Sulaiman | Ryan Farizzal
Ilustrasi foto uang koin (unsplash/Alexander Grey)
Ryan Farizzal

Di era digital yang semakin mendominasi kehidupan sehari-hari, muncul fenomena menarik di kalangan milenial: Ghost Rich. Istilah ini menggambarkan generasi muda yang tampak seperti tidak bekerja secara konvensional, tanpa kantor tetap, seragam kerja, atau jam masuk yang ketat, namun mampu menjalani gaya hidup mapan, bahkan mewah.

Mereka sering terlihat santai di kafe sambil mengetik di laptop atau melakukan scrolling di ponsel, tetapi dompet mereka tetap "aktif" berkat penghasilan dari sumber yang tak kasat mata.

Fenomena ini semakin marak di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Di kota-kota ini, milenial berusia 25–40 tahun mulai mendominasi kelas menengah baru tanpa ikatan pekerjaan tradisional.

Apa Sebenarnya Ghost Rich?

Istilah ini merujuk pada orang-orang yang secara administratif tidak terlihat dalam sistem ketenagakerjaan formal. Mereka tidak memiliki slip gaji bulanan, tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan, dan sering kali luput dari kewajiban pajak yang ketat. Akan tetapi, daya beli mereka tinggi: bisa membeli gawai terbaru, produk fesyen bermerek, atau bahkan berlibur ke destinasi eksotis.

Penghasilan mereka berasal dari ekonomi digital yang fleksibel, seperti menjadi content creator di YouTube atau TikTok, influencer di Instagram, streamer di platform gaming, atau trader kripto dan saham.

Ada juga yang mengandalkan pekerjaan lepas (freelance) global melalui situs seperti Upwork atau Fiverr, pemasaran afiliasi (affiliate marketing), hingga bisnis dropshipping. Istilah ghost di sini menggambarkan sifat mereka yang seperti hantu—ada, tetapi tidak terlihat dalam struktur ekonomi konvensional.

Penyebab Tren Ghost Rich

Penyebab utama tren ini adalah pergeseran paradigma kerja di era pascapandemi. Milenial, yang lahir antara tahun 1981–1996, tumbuh di tengah kemajuan teknologi yang memungkinkan kerja jarak jauh (remote) dan ekonomi pertunjukan (gig economy). Pandemi COVID-19 mempercepat transisi ini; banyak yang kehilangan pekerjaan kantor dan beralih ke dunia daring.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023, sektor digital menyumbang lebih dari 10% PDB nasional, dengan pertumbuhan freelance mencapai 20% per tahun. Milenial melihat ini sebagai peluang untuk bebas dari rutinitas kerja pukul 9 pagi hingga 5 sore yang melelahkan.

Contoh Nyata dari Fenomena Ghost Rich

Contoh nyata dari tren Ghost Rich bisa dilihat pada sosok seperti Ferry Irwandi, seorang milenial Indonesia yang dulunya adalah pegawai Kementerian Keuangan. Pada 2012, ia membeli 400 Bitcoin dengan harga murah, sekitar Rp25 juta. Saat harga Bitcoin melonjak ke Rp1 miliar per unit pada 2021, ia menjadi kaya mendadak dan mundur dari pekerjaannya. Ferry tidak suka pamer; ia fokus mengembangkan keterampilan digital dan berbagi pengetahuan secara cerdas.

Kasus lain adalah para content creator seperti Atta Halilintar atau Ria Ricis, yang memulai dari nol tetapi kini memiliki penghasilan miliaran dari endorsement dan YouTube. Di kalangan milenial biasa, banyak yang menjadi affiliate marketer, menjual produk melalui tautan di media sosial tanpa harus menyetok barang. Mereka bisa menghasilkan Rp10–50 juta per bulan, cukup untuk hidup nyaman tanpa ikatan korporat.

Dampak Positif dan Sisi Gelapnya

Tren ini memiliki dampak positif yang signifikan. Pertama, ia mendorong inovasi dan kreativitas. Milenial belajar mandiri dan mengasah keterampilan seperti editing video, SEO, atau trading, yang berguna di masa depan. Kedua, fleksibilitas kerja meningkatkan keseimbangan hidup (work-life balance) dan mengurangi stres akibat kejenuhan (burnout) yang sering dialami pekerja kantor.

Namun, ada sisi negatifnya. Fenomena Ghost Rich menciptakan standar hidup semu di media sosial, memicu FOMO (fear of missing out) dan tekanan psikologis bagi milenial lain yang masih berjuang di pekerjaan tradisional. Banyak yang tergoda untuk ikut-ikutan, tetapi akhirnya jatuh ke dalam penipuan investasi atau judi online. Ekonom menyebut ini sebagai "bom waktu" karena penghasilan digital bergantung pada tren dan algoritma; jika pasar berubah, pendapatan bisa hilang seketika.

Adaptasi di Tengah Perubahan

Untuk menghadapi tren ini, pemerintah dan masyarakat perlu beradaptasi. Pemerintah bisa memperluas regulasi untuk melindungi pekerja digital, seperti pajak progresif dan jaminan sosial sukarela. Milenial sendiri harus meningkatkan literasi finansial, melakukan diversifikasi pendapatan, dan menghindari skema cepat kaya yang berisiko.

Pada akhirnya, Ghost Rich mencerminkan semangat milenial yang adaptif terhadap perubahan. Di tengah ketidakpastian global, tren ini mengajarkan bahwa kekayaan bukan hanya soal uang, tetapi juga kebebasan dan inovasi. Namun, tanpa keseimbangan, ia bisa menjadi jebakan. Milenial harus bijak: jadilah ghost yang cerdas, bukan yang hilang dalam kegelapan digital.