Bimo Aria Fundrika | Ferika Sandra
Nelayan Banyuwangi berjuang melawan Oligarki. (Foto. Tangkapan Layar Kanal YouTube Indonesia Baru)
Ferika Sandra

Sebagai warga asli Banyuwangi yang lahir dan besar di daerah ini, masyarakat nelayan di pesisir selatan tak lagi hanya berhadapan dengan ancaman bencana alam. Kini, ancaman paling nyata datang dari kerakusan oligarki.

Sejak izin tambang terbit pada 2012, kawasan hutan lindung di Bukit Tumpang Pitu dialihfungsikan menjadi hutan produksi. Empat belas tahun penambangan berjalan, dampaknya kini dirasakan langsung oleh nelayan.

Aktivitas blasting untuk meledakkan bukit kerap berimbas ke wilayah pesisir selatan Pesanggaran, mengguncang permukiman dan mengusik laut yang menjadi sumber hidup mereka.

Padahal dahulu, Tumpang Pitu adalah kawasan hutan lebat yang memeluk pantai-pantai indah. Salah satunya Pantai Parang Kursi.

Pantai ini dikenal dengan batu besar menyerupai kursi, ada yang meyakini pernah diduduki Presiden pertama Republik Indonesia, ada pula yang menyebutnya sebagai tempat singgah Nyi Roro Kidul.

Indah, sunyi, dan sarat cerita mistis. Kedekatannya dengan Tumpang Pitu membuat Parang Kursi kerap dianggap bagian yang tak terpisahkan dari kawasan itu.

Kisah-kisah soal Setan Kalah dengan Keserakahan

Banyuwangi kerap dilekatkan dengan kisah-kisah mistis, termasuk cerita orang-orang yang nekat menggali emas lalu pulang dalam kondisi linglung.

Ada pula mereka yang datang dengan ekonomi terjepit, berharap jalan pintas menuju kesejahteraan, meski taruhannya nyawa.

Tengah malam, mereka menyusuri Bukit Tumpang Pitu, menggali secuil emas sebagai pilihan terakhir.

Bagi warga asli, kawasan ini sejak dulu dianggap wingit. Orang Banyuwangi jarang datang tanpa alasan jelas. Namun pemandangan itu kini berubah.

Hutan asri perlahan gundul. Dari kejauhan, bukit yang dulu berdiri gagah menjelma lubang-lubang galian yang kian menganga.

Dari laut, para nelayan menyaksikannya dengan jelas. Saat hujan turun, tanah dari Tumpang Pitu mengalir ke perairan.

Air berubah cokelat, keruh, tak lagi biru atau hijau. Yang tersaji bukan panorama alam, melainkan potret keputusasaan bumi menghadapi keserakahan manusia.

Konflik Sosial, Nelayan dan Penambang

Sejak kabar pendirian perusahaan tambang mencuat, konflik sosial sudah muncul. Warga sekitar termasuk nelayan yang dekat dengan lokasi pertambangan sering melakukan protes.

Penolakan dan perlawanan warga silih berganti. Tapi hingga lebih dari satu dekade sejak perusahaan berdiri sekitar 2012, konflik itu tak pernah benar-benar selesai.

Yang ada hanyalah lelah dan pasrah dengan akibat alam yang nantinya akan ditanggung oleh masyarakat sekitar Banyuwangi, bukan oleh para oligarki.

Catatan penulis, pasca tambang muncul di Banyuwangi beberapa kali gesekan terjadi antar pendukung tambang dengan masyarakat lokal yang bergantung pada laut dan pertanian.

Masyarakat lokal ini berada di persimpangan seakan di adu oleh oligarki dengan bangsa sendiri. Tentu saja sebagai warga kecil semua itu akan berimplikasi pada lingkungan.

Sebab masyarakat yang melawan merasakan sendiri bagaimana kondisi wilayah Pesanggaran mengalami perubahan yang signifikan.

Mulai banjir yang mudah datang, dimana kadang bercampur dengan lumpur. Belum lagi saat lumpur itu merendam pertanian warga sehingga semakin berdampak pada hasil panen.

Sedangkan bagi nelayan mereka harus menyediakan uang lebih karena kini untuk menangkap ikan menjadi lebih jauh. Belum lagi nelayan yang dibenturkan dengan penambang dalam hal ini pendukung tambang emas tumpeng pitu. Entah akan sampai kapan permasalahan itu terus berkelindan seperti tidak ada jalan.