"Sudah saatnya kamu menyadari bahwa kamu memiliki sesuatu di dalam dirimu yang lebih kuat dan ajaib daripada hal-hal yang memengaruhimu layaknya sebuah boneka." - Marcus Aurelius dalam Buku Filosofi Teras.
Henry Manampiring bukan seorang filsuf dari Yunani kuno, tapi lewat buku Filosofi Teras, ia berhasil membangkitkan kembali ajaran kuno Stoicisme untuk jiwa-jiwa yang resah di Indonesia.
Buku ini bukan sekadar bacaan biasa, melainkan jembatan yang menghubungkan kearifan ribuan tahun lalu dengan kegelisahan manusia masa kini, dari tuntutan pekerjaan yang tak ada habisnya hingga kebisingan media sosial.
Secara sederhana, Filosofi Teras memperkenalkan inti ajaran Stoicisme, yaitu fokus pada dikotomi kendali, membedakan mana hal yang bisa kita kendalikan (pikiran, perkataan, dan tindakan kita sendiri) dan mana yang tidak (opini orang lain, cuaca, atau keputusan orang lain).
Konsep ini mungkin terdengar sepele, tetapi penerapannya bisa mengubah hidup. Buku ini mengajak kita untuk berhenti membuang energi pada hal-hal di luar kendali dan mengarahkannya pada satu-satunya hal yang bisa kita ubah, seperti cara kita meresponsnya.
Melalui analogi sederhana dan contoh-contoh yang sangat relevan dengan keseharian kita, seperti menghadapi komentar negatif di media sosial atau terjebak macet, Henry Manampiring menunjukkan bahwa ketenangan sejati datang dari dalam diri, bukan dari luar.
Salah satu alasan mengapa buku ini begitu populer adalah gaya penulisannya yang jujur dan mudah dicerna. Henry Manampiring, yang juga seorang praktisi Stoicisme, tidak menyajikan filosofi ini dalam bahasa yang kaku dan akademis.
Sebaliknya, ia menggunakan bahasa yang santai, bahkan menyelipkan lelucon, sehingga buku ini terasa seperti obrolan dengan teman yang bijaksana.
Ia menyederhanakan gagasan-gagasan kompleks dari filsuf Stoik seperti Marcus Aurelius dan Seneca menjadi panduan praktis yang bisa langsung diterapkan.
Pendekatan ini berhasil mendefinisikan ajaran Stoicisme dengan sederhana, membuatnya tidak lagi terasa seperti ajaran kuno, melainkan sebuah pandangan sederhana untuk menghadapi tantangan mental di era modern seperti saat ini.
Filosofi Teras juga menekankan bahwa Stoicisme bukan sekadar teori, melainkan sebuah gaya hidup yang butuh praktik. Buku ini memperkenalkan berbagai latihan, seperti visualisasi negatif, yaitu membayangkan hal terburuk yang bisa terjadi.
Latihan ini tidak bertujuan untuk membuat kita pesimis, melainkan untuk melatih mental agar siap menghadapi kesulitan dan, yang terpenting, membuat kita lebih menghargai apa yang kita miliki saat ini.
Satu kesalahpahaman besar yang sering muncul tentang Stoicisme adalah bahwa filosofi ini meminta kita untuk menjadi robot yang tidak memiliki emosi.
Seolah-olah, untuk menjadi bijak, kita harus menekan amarah, kesedihan, dan kebahagiaan. Buku Filosofi Teras dengan lugas membantah stereotip ini.
Stoisisme tidak pernah mengajarkan kita untuk tidak merasakan emosi. Emosi adalah bagian alami dari manusia. Yang diajarkan adalah bagaimana kita merespons emosi tersebut agar tidak mengendalikan kita.
Contohnya, saat kamu merasa marah karena komentar buruk di media sosial. Emosi marah itu wajar. Namun, seorang Stoik akan memilih untuk tidak meresponsnya dengan amarah yang lebih besar.
Mereka akan menganalisis dari mana amarah itu datang dan mengingatkan diri bahwa opini orang lain berada di luar kendali mereka.
Dengan demikian, emosi tersebut tidak akan memicu reaksi yang merugikan. Buku ini mengajarkan bahwa tujuan akhirnya adalah ketahanan mental (mental resilience), bukan ketidakmampuan untuk merasa.
Buku ini mengajak pembaca untuk tidak hanya membaca, tetapi juga melakukan, menjadikan setiap hari sebagai kesempatan untuk menjadi pribadi yang lebih tangguh dan bahagia.
Buku Filosofi Teras lewat Henry Manampiring berhasil membuktikan bahwa kebijaksanaan dari 2.000 tahun lalu tetap relevan untuk mengatasi kecemasan di abad ke-21.
Dengan menggabungkan pengetahuan yang mendalam dan cara penyampaian yang ringan, buku ini dapat menjadi kompas bagi kamu yang mencari ketenangan di tengah kerasnya badai kehidupan.
Baca Juga
-
Ketika Buku Dijuluki 'Barang Bukti': Sebuah Ironi di Tengah Krisis Literasi
-
Pink dan Hijau: Simbol Keberanian, Solidaritas, dan Empati Rakyat Indonesia
-
Jaga Jempolmu: Jejak Digital, Rekam Jejak Permanen yang Tak Pernah Hilang
-
Membaca untuk Melawan: Saat Buku Jadi Senjata
-
Diaspora Tantang DPR, Sahroni Tolak Debat: Uang Tak Bisa Beli Keberanian?
Artikel Terkait
-
Review Buku Nanti Juga Sembuh Sendiri: Ketika Buku Bisa Menjadi Teman Baik
-
Review Buku Student Guidebook for Dummies: Hidup Pelajar Nggak Seserius Itu
-
Review Buku Steal Like an Artist: Bukan Plagiat, tapi Seni Kreativitas
-
Review Buku The Principles of Power: Tentang Menjadi Berpengaruh Tanpa Harus Berkuasa
-
Ulasan Buku Nunchi: Seni Membaca Pikiran dan Perasaan Orang Lain
Ulasan
-
Review Film Jembatan Shiratal Mustaqim: Horor Moral yang Mirip Sinetron
-
Membaca Drama 'Genie, Make a Wish' Lewat Lensa Pengasuhan Kolektif
-
Review Film Ballad of a Small Player: Visual Ciamik tapi Kesan Akhir Kosong
-
The Principles Of Power: Rahasia Memanipulasi Orang Lain di Segala Situasi
-
Review Film Dongji Rescue: Kisah Heroisme Lautan yang Menggetarkan
Terkini
-
4 Padu Padan Outfit Warna Putih ala Bona WJSN yang Kece Buat Hangout!
-
Ditanya Malam Pertama Setelah Menikah, Amanda Manopo: Kita Coba Hari Ini!
-
Sinopsis Light of Dawn, Drama China yang Dibintangi Zhang Ruo Yun
-
Bunda Maia Beri Pesan Hidup pada Marshanda dan Maria Theodore: Pengalaman?
-
Gagal Redam Lawan, Bukti Skema Dua Bek Tengah Tak Cocok di Timnas Indonesia