Ada satu momen yang mungkin akan membekas lama dalam ingatan kita. Tentang ‘emak-emak’ berhijab pink bertubuh kecil berdiri menantang barisan aparat dengan tongkat bambu yang dililit bendera Merah Putih. Di tengah ricuh, dia mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi dan menjadikannya Senjata Merah Putih.
Ya, ‘Merah Putih’ itu berkibar bukan di tiang megah, bukan di halaman kantor pemerintahan, tapi di genggaman sosok ‘emak’ yang entah dari mana datangnya, dengan suara lantang yang menusuk.
“Di luar ini kelaparan! Apa gajinya kurang DPR?”
Kalimat itu, sangat mengena, tepat waktu dan sasaran. Daya hentak ucapannya begitu terasa karena keluar dari perempuan yang mungkin lelah melihat anak-anaknya tumbuh di tengah janji-janji politik yang nggak pernah ditepati.
Coba kita bandingkan. Di sekitarnya, berdiri kokoh gedung DPR RI. Bangunan megah yang menelan miliaran rupiah tiap bulannya, dengan pendingin ruangan yang selalu dingin, kursi empuk, dan segala kemewahannya. Di dalamnya, ‘para dewan terhormat' berdasi seharusnya membicarakan tunjangan, fasilitas, bahkan kenaikan tunjangan, tapi sayangnya pada saat itu dengan alasan norak ‘para dewan terhormat’ melakukan WFH. Sementara di luar, ada emak berhijab pink yang basah kehujanan, berteriak lantang dan maju menghalau aparat tanpa kenal takut.
Kontrasnya begitu menyayat hati. Di satu sisi ada rakyat kecil yang rela maju bersimbah air, menghirup gas air mata, demi menyuarakan kecamannya. Di sisi lain ada wakil rakyat yang kabur, sembunyi, duduk nyaman dan merasa pantas mendapat tambahan fasilitas, seakan-akan lupa siapa yang memberi mereka kursi itu.
Emak hijab pink ibarat roni hidup yang berjalan. Dia berdiri penuh keberanian dengan tongkat bambu, sementara politisi berasa main petak umpet. Lucunya, tongkat si emak terasa lebih kuat dibanding kesungguhan dan janji para dewan.
Momen yang terjadi 28 Agustus 2025 ini juga menyingkap siapa sebenarnya yang menjaga marwah bendera. Selama ini kita melihat bendera dikibarkan di upacara, disandingkan dengan lagu kebangsaan, dijaga dengan protokol. Nah, marwah Merah Putih kali ini dijaga sang ‘emak’.
Dia mengangkatnya tinggi dan menghentakkannya ke aparat. Eits, jangan lupakan kisah anaknya yang panik. Si anak mencari ‘emak’ di media sosial, menulis dengan cemas: “Malam admin, izin informasinya, ibu saya jilbab pink. Ibu saya belum pulang.”
Dan ketika akhirnya emak hijab pink pulang, dengan senyum polos, dia menjawab santai, “Nggak dari mana-mana.”
Yuk, renungkan deh! Gedung DPR boleh tinggi, aparat boleh banyak, tapi keberanian ‘emak-emak’ bisa mengalahkan banyak hal. Emak hijab pink mungkin nggak sadar kalau dirinya sedang menulis sejarah. Dia mungkin hanya ingin melampiaskan rasa marah, atau hanya ingin didengar.
Begitulah. Mungkin kelak kita akan lupa tanggal pasti demonstrasi itu. Kalender akan terus berganti, catatan-catatan berita mungkin terkubur arus informasi baru. Nama-nama yang pernah berorasi di podium bisa jadi hilang begitu saja dari ingatan, digantikan wajah-wajah lain yang muncul di layar televisi atau linimasa. Bahkan, mungkin kita juga akan samar mengingat siapa yang pertama kali ditangkap hari itu, atau bagaimana kronologi persisnya kericuhan bermula.
Namun, yakin deh! Ada satu hal yang nggak akan pernah terhapus dari memori kita; sosok emak hijab pink. Dengan semangat juangnya, dia hadir sebagai potret keberanian. Tangannya yang kecil tampak tegas menggenggam tongkat dengan bendera Merah Putih, seolah-olah ingin berkata bahwa semangat bangsa ini nggak boleh diremehkan. Dia berdiri tegak di depan barikade aparat, tanpa rasa gentar, meski di hadapannya berjajar tameng, pentungan, dan tatapan dingin penuh intimidasi.
Pada akhirnya, Bayangan itu akan terus melekat, lebih kuat dari tanggal, lebih tajam dari nama, lebih abadi daripada kronologi. Karena kadang, sejarah diabadikan sama sosok-sosok tanpa nama, yang hadir bukan untuk dicatat, tapi untuk dikenang.
Mantap Jiwa, Sobat Yoursay!
Baca Juga
-
Memahami Kredit Film yang Terlalu Basi Ditunggu Sampai Kelar
-
Influencer Ditawari Bungkam Rakyat: Jeri dan Jerome Polin Tolak Jadi Corong Kekuasaan!
-
Saat Film Mengemas Gambaran Durhaka dari Legenda Kelam Malin Kundang
-
80 Tahun DPR, Ulang Tahun di Atas Luka dan Derita Rakyat
-
Review Film Panji Tengkorak: Dendam, Darah, dan Semangat Baru Animasi Lokal
Artikel Terkait
-
Respons Sri Mulyani Pasca Rumahnya Dijarah Massa: Tugas Kita Perbaiki Demokrasi dengan Beradab
-
Keliru Prioritas, Ketika Tunjangan DPR Menjadi Pemicu Masyarakat Marah
-
Ahmad Sahroni Dinonaktifkan dari DPR, Sebatas Drama atau Teguran Serius?
-
Koalisi Masyarakat Sipil Menilai Prabowo 'Gagal Paham' Aspirasi Rakyat di Tengah Gelombang Protes
-
Seminggu Ada Demo, Aliran Modal Asing Sudah Kabur Rp250 Miliar
Kolom
-
Keliru Prioritas, Ketika Tunjangan DPR Menjadi Pemicu Masyarakat Marah
-
Dear Para Demonstran, Aksi yang Kalian Lakukan Sudah Melenceng dari Tujuan Awal Turun ke Jalan
-
Penjarahan yang Membunuh Pesan: Apa Kabar Demokrasi Jalanan?
-
Memahami Kredit Film yang Terlalu Basi Ditunggu Sampai Kelar
-
Guru Hebat Butuh Kebijakan yang Nggak Setengah-Setengah
Terkini
-
Tips Mengikuti Demo: Menyuarakan Pendapat Tanpa Mengorbankan Keselamatan
-
Ahmad Sahroni Dinonaktifkan dari DPR, Sebatas Drama atau Teguran Serius?
-
Isu Adu Domba TNI-Polri: Ternyata Gara-gara Salah Paham di Palembang, Ini Cerita Lengkapnya
-
Kena Skakmat Rakyat! 5 Anggota DPR Dinonaktifkan Buntut Ucapan dan Tingkah Nirempati
-
7 Poin Pidato Prabowo Redam Amarah Massa: Tunjangan DPR Dipangkas, Kunker Dihapus!