Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ilustrasi hacker (Freepik)
Fauzah Hs

Nama “Bjorka” kini kembali bergaung di jagat media sosial Indonesia. Kali ini bukan karena aksi membocorkan data pejabat atau institusi pemerintah, melainkan karena kabar bahwa polisi berhasil menangkap seorang pria muda berinisial WFT (22) di Minahasa, Sulawesi Utara, yang disebut sebagai pemilik akun X bernama Bjorka.

Potretnya tersebar, seorang pemuda biasa, bukan ahli IT lulusan kampus ternama melainkan otodidak, cukup mengejutkan publik yang mungkin membayangkan sosok misterius di balik kegelapan dark web itu adalah mastermind kelas dunia.

Tapi tak lama setelah itu, akun yang mengatasnamakan Bjorka tiba-tiba muncul lagi di Instagram. Bjorka mengklaim dirinya masih bebas berkeliaran, bahkan memberi peringatan kepada Badan Gizi Nasional. Ia disebut-sebut telah mengantongi data salah satu institusi pemerintah itu.

Nah, di sinilah drama sesungguhnya dimulai.

Isu Bjorka ini bukan sekadar kasus kriminal siber biasa. Ini adalah pertunjukan sirkus digital yang memperlihatkan kerentanan data kita, kelemahan sistem keamanan institusi, dan yang paling menarik, kompleksitas identitas di dunia maya.

Ketika polisi merilis inisial WFT, publik terbelah. Ada yang menghela napas, merasa lega karena si "penjahat" sudah tertangkap. Tapi tak sedikit pula yang langsung skeptis.

Kenapa? Karena banyak yang meyakini kalau Bjorka bukanlah satu orang. Bjorka adalah nama samaran, topeng, atau bisa dibilang, merek dagang di forum dark web untuk aksi peretasan dan jual beli data.

Data yang berhasil dikumpulkan oleh polisi menunjukkan bahwa WFT memang mengaku aktif di dark web sejak 2020. Bahkan, ia juga pernah memakai nama samaran lain, dan ditangkap terkait kasus upaya pemerasan data nasabah bank. Ini berarti, WFT adalah salah satu aktor yang menggunakan topeng Bjorka untuk melakukan kejahatan.

Lalu, bagaimana dengan klaim dari akun Instagram yang mengatakan "Aku masih bebas"?

Inilah bagian yang perlu kita bedah lebih dalam. Dalam dunia peretasan, nama besar seperti Bjorka adalah aset. Siapa pun yang memiliki akses ke data penting dan menggunakan nama Bjorka akan mendapatkan perhatian dan kepercayaan di kalangan pembeli data ilegal.

Kemungkinan besar WFT memang hanya salah satu dari banyak orang yang memakai nama Bjorka, atau bahkan Bjorka kelas teri yang memanfaatkan hype dari Bjorka yang lebih dulu terkenal.

Bjorka yang "legendaris" mungkin masih berkeliaran, atau yang lebih parah, Bjorka adalah sebuah kelompok. Dalam konteks ini, klaim di Instagram bisa jadi benar, atau setidaknya memunculkan keraguan yang menguntungkan mereka.

Terlepas dari siapa yang asli, fenomena ini membuka pikiran kita bahwa di dunia siber, identitas bisa dimanipulasi. Polisi mengklaim menangkap WFT yang mengaku Bjorka dan menemukan bukti digital terkait perbuatannya, tapi publik tetap bisa melihat drama identitas yang berkelanjutan.

Terlepas dari sandiwara "Siapa Bjorka Sebenarnya", ada isu yang jauh lebih penting yang sering terlupakan,  yaitu mengapa nama Bjorka bisa begitu terkenal?

Jawabannya bukan karena Bjorka begitu jenius, tetapi karena data kita terlalu mudah bocor. Bjorka, atau siapa pun yang menggunakan nama itu, adalah bukti dari lemahnya perlindungan data di Indonesia.

Ketika Bjorka mengklaim membocorkan jutaan data, baik itu terbukti 100% atau hanya sebagian, hal itu selalu mengguncang karena kita tahu bahwa sistem perlindungan data kita memang rapuh. Kasus ini seharusnya menjadi pengingat untuk institusi pemerintah dan swasta yang datanya dicuri, dan juga bagi setiap kita sebagai warga negara.

Kita sudah punya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang telah disahkan. Tapi, UU sebagus apa pun tidak akan efektif tanpa implementasi yang ketat dan kesadaran kolektif. Kita harus menuntut agar institusi menganggap keamanan data sebagai prioritas nomor satu, bukan sekadar checklist yang harus dipenuhi.

Kasus Bjorka, dengan segala kontroversi penangkapannya, adalah pengingat pahit. Apakah WFT adalah Bjorka yang asli atau bukan, masalah data bocor kita belum selesai. Kita perlu berhenti fokus pada topengnya, dan mulai fokus pada celah keamanan yang memungkinkan topeng itu muncul berulang kali.

Menurut Sobat Yoursay, di tengah drama penangkapan WFT ini, apa yang sebenarnya harus kita khawatirkan? Topeng Bjorka, atau rentannya data kita sendiri?