Di zaman sekarang, kita hidup dalam arus informasi yang nggak ada habisnya. Bangun tidur buka HP, sebelum tidur juga buka HP lagi. Informasi datang dari segala arah—kadang sampai bikin kita bingung sendiri. Lucunya, meskipun semuanya makin mudah diakses, kemampuan orang buat benar-benar memahami dan memilah informasi justru menurun.
Literasi, yang harusnya jadi dasar cara berpikir kita, sering kalah sama budaya instan. Di titik inilah mahasiswa ditantang: kita mau cuma ikut arus, atau jadi orang yang ikut bantu masyarakat biar lebih kritis dan melek informasi?
Mahasiswa dan Tanggung Jawab yang Kadang Tidak Disadari
Dari dulu, mahasiswa dikenal sebagai kelompok yang kritis, idealis, dan punya semangat perubahan yang kuat. Banyak gerakan besar lahir dari ide-ide mahasiswa di kampus.
Tapi zaman berubah. Sekarang perjuangan nggak melulu soal aksi turun ke jalan atau poster besar-besaran. Kadang, bentuk perjuangan itu lebih sunyi, lebih sederhana, tapi nggak kalah penting: menggerakkan literasi.
Soalnya, literasi bukan sekadar bisa baca atau nulis. Literasi hari ini artinya mampu memahami konteks, berpikir jernih, memeriksa fakta, dan nggak gampang termakan isu yang belum jelas.
Nyatanya, banyak orang cuma baca judul, langsung percaya, langsung share. Padahal bisa jadi beritanya nggak akurat, atau malah menyesatkan.
Mahasiswa punya modal besar: akses pendidikan yang lebih luas, kemampuan analisis, kesempatan berdiskusi yang lebih banyak, dan lingkungan yang mendukung. Itu sebabnya kita punya tanggung jawab moral buat ikut memperbaiki keadaan. Kalau bukan mahasiswa, siapa lagi yang harus mulai?
Bikin Literasi Jadi Hal yang Dekat dan Menyenangkan
Membangun budaya literasi itu bukan soal memaksa orang membaca buku tebal atau memaksa mereka diskusi hal berat. Tantangan utamanya adalah membuat literasi terasa relevan dan menyenangkan. Di sinilah kreativitas mahasiswa diuji.
Mahasiswa bisa membuat kegiatan literasi terasa lebih santai: bikin taman baca kecil di kampung, pojok baca unik di kafe kampus, atau diskusi santai soal film, isu sosial, atau buku sambil ngopi bareng. Banyak orang sebenarnya mau belajar, hanya mereka perlu cara yang lebih ramah dan tidak mengintimidasi.
Sekarang juga eranya media sosial. Banyak komunitas mahasiswa sudah mulai memanfaatkan TikTok, podcast, bahkan YouTube buat ngobrol soal isu penting dengan gaya yang ringan dan gampang dipahami.
Literasi tidak harus kaku. Ia bisa muncul dari obrolan tongkrongan, konten digital, atau bahkan satu video pendek yang bikin orang berhenti sebentar dan berpikir.
Literasi Digital: Biar Tidak Mudah Kena Tipu
Dengan semakin cepatnya penyebaran informasi, literasi digital menjadi kunci. Belum lagi hoaks, teori konspirasi, dan informasi setengah benar yang gampang banget menyebar.
Kadang, hoaks bisa viral lebih cepat dari kebenaran. Di sini mahasiswa punya peran penting. Kita lebih akrab dengan teknologi, jadi lebih paham cara memeriksa informasi.
Mahasiswa bisa mulai dari hal yang kelihatannya kecil: ngecek kebenaran berita sebelum share, ngajarin keluarga cara verifikasi informasi, atau bikin konten edukatif yang lucu dan mudah dicerna.
Bagi masyarakat di luar kota besar yang akses informasinya terbatas, bantuan seperti ini sangat berarti. Dengan pendekatan yang santai dan nggak menggurui, mahasiswa bisa bantu mereka melihat informasi dengan lebih kritis.
Kolaborasi untuk Dampak yang Lebih Besar
Gerakan literasi akan jauh lebih kuat kalau dilakukan bareng-bareng. Mahasiswa bisa bekerja sama dengan pihak sekolah, komunitas kampung, pemerintah daerah, sampai media lokal.
Mahasiswa pendidikan bisa dampingin anak-anak membaca. Mahasiswa komunikasi bisa bikin kampanye literasi yang menarik. Mahasiswa ekonomi bisa bantu ngatur perpustakaan komunitas. Kolaborasi inilah yang bikin gerakan kecil terasa punya dampak besar.
Jadikan Literasi Sebagai Kebiasaan
Pada akhirnya, literasi harus jadi kebiasaan, bukan cuma proyek sementara. Mulai dari hal kecil: baca satu artikel bermakna setiap hari, menulis opini pribadi, atau membagikan ringkasan buku di media sosial. Kalau banyak orang memulai dari kebiasaan kecil seperti itu, dampaknya akan sangat besar.
Mahasiswa adalah agen perubahan. Ketika kita bukan hanya menuntut perubahan, tapi juga ikut jadi bagian dari perubahan itu, literasi akan tumbuh karena kesadaran—bukan paksaan.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Gen Z dan Masyarakat Adat Ngamuk, Kepung KTT Iklim COP30 di Brasil: Apa Alasannya?
-
BPJS Kesehatan Angkat Duta Muda: Perkuat Literasi JKN di Kalangan Generasi Penerus
-
Habiburokhman 'Semprot' Balik Pengkritik KUHAP: Koalisi Pemalas, Gak Nonton Live Streaming
-
Khawatir Diberangus, Pedagang Thrifting Mengadu ke DPR dan Minta Dilegalkan
-
Ironi Dana Iklim: Hanya 10 Persen Kembali ke Kampung Masyarakat Adat
Kolom
-
Revisi KUHAP: Jurang Baru Antara Kewenangan Aparat dan Hak Warga Negara
-
Partisipasi Publik Palsu: Strategi Komunikasi di Balik Pengesahan Revisi KUHAP
-
Hope Theory: Rumus Psikologi di Balik Orang yang Tidak Mudah Menyerah
-
Jika Hukum adalah Panggung, Mengapa Rakyat yang Selalu Jadi Korban Cerita?
-
Saat Ragu Mulai Menjerat, Lepaskan dengan Keyakinan Aku Pasti Bisa
Terkini
-
Stop Bangun Taman yang Cepat Rusak! Studi Inggris Ungkap Kunci Keberhasilan yang Sering Diabaikan
-
Ironi Besar! Munculnya Roadmap Timnas Indonesia Justru Perlihatkan Carut Marut PSSI
-
Makin Panas, Pihak Ruben Onsu Tunjukkan Bukti Transfer Ratusan Juta ke Sarwendah untuk Nafkahi Anak
-
Review Film Pangku: Hadirkan Kejutan Hangat, Rapi, dan Tulus
-
Duet 2 Vokalis Utama, Doyoung NCT Gaet Belle Kiss of Life di Single Terbaru