Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Gedung DPR RI (mpr.go.id)
Fauzah Hs

Sobat yoursay, mari kita bahas drama pengesahan Revisi KUHAP 2025 yang baru saja diketok palu oleh DPR.

Di tengah kritik luas terhadap proses pembahasan yang dinilai terburu-buru, tertutup, dan minim transparansi, DPR mencoba meredam kegaduhan dengan menyebut bahwa mereka sudah menampung masukan publik.

Nama Delpedro Marhaen disebut. BEM Undip juga dicantumkan. Tetapi apa yang terjadi? Kedua pihak itu membantah. Mereka tidak pernah diajak audiensi. Mereka bahkan kaget namanya dicatut di dalam narasi “kami sudah melibatkan publik”.

Dii titik ini, apakah demokrasi masih demokrasi jika rakyat disebut ikut berdialog, padahal mereka tak pernah diundang?

Pengesahan RKUHAP bukan isu kecil. Ini menyangkut hak paling dasar warga negara, yaitu kemerdekaan dari penangkapan sewenang-wenang, larangan penggeledahan tanpa izin hakim, hingga batasan kewenangan aparat.

Tetapi justru pada isu sepenting ini, proses politik berjalan dalam diam. Koalisi Masyarakat Sipil menemukan 1.676 masalah dalam RKUHAP yang dibahas hanya dalam waktu singkat.

Akademisi mengaku tidak pernah benar-benar diajak mendalami substansi pasal. Banyak draft muncul tiba-tiba, dibahas cepat, lalu dibawa ke paripurna seolah tak ada yang perlu dipersoalkan.

Dan ketika kritik semakin keras, jawaban DPR justru mengejutkan, “kalau tidak setuju, gugat saja ke Mahkamah Konstitusi”.

Namun yang paling mencerminkan rapuhnya etika legislasi kita bukan hanya pembahasannya yang tertutup, melainkan tindakan memalsukan partisipasi publik.

Mencatut nama pihak yang tidak pernah diundang demi menciptakan ilusi bahwa prosesnya inklusif, ini bukan saja miskomunikasi, tapi juga upaya membangun legitimasi palsu.

Sobat yoursay, partisipasi publik adalah kunci demokrasi deliberatif. Ketika DPR menggunakan nama orang yang tidak pernah hadir, tidak pernah memberi masukan, dan tidak pernah tahu, itu berarti proses legislasi telah kehilangan integritasnya.

Fenomena partisipasi publik palsu ini semakin sering muncul, bukan hanya pada RKUHAP. Dalam Omnibus Law, contohnya, banyak analisis publik yang tidak pernah dipertimbangkan. Dan kini, pada revisi KUHAP, praktik ini kembali terulang.

Apa dampaknya? Tentu kepercayaan publik yang habis terkikis.

Ketika DPR mengatakan “kami sudah mendengar suara rakyat”, tetapi rakyat yang disebut justru membantah, maka narasi yang dipublikasikan tidak bisa lagi dianggap sebagai kebenaran, tetapi sebagai strategi komunikasi.

Ini berbahaya. Sangat berbahaya. Karena demokrasi bukan hanya soal kotak suara lima tahunan. Demokrasi adalah hubungan yang dibangun atas dasar kepercayaan, bahwa negara bekerja untuk rakyat, bukan untuk dirinya sendiri.

Revisi KUHAP memperluas kewenangan Polri dalam banyak aspek. Penahanan bisa dilakukan sejak penyelidikan. Penggeledahan dapat dilakukan tanpa izin hakim. Penyadapan dipermudah. Undercover buy diperluas untuk semua tindak pidana. Penangkapan lebih dari 1×24 jam terbuka celahnya. Semua itu dilakukan dengan pengawasan minimal, dan kontrol yang semakin lemah.

Jika proses pembuatannya saja tidak transparan, maka apakah desain kuasa yang dihasilkan akan berjalan untuk kepentingan publik?

Sobat yoursay, hukum acara pidana adalah fondasi rule of law. Tanpa aturan main yang adil, semua orang, termasuk kita, berada dalam ancaman tindakan sewenang-wenang. Dan ketika proses pembahasannya tertutup, terburu-buru, serta melibatkan pencatutan nama untuk memoles legitimasi, kita sedang bergerak menuju masa depan yang sangat mengkhawatirkan.

Demokrasi yang sehat tidak membutuhkan pencatutan nama dan tidak perlu membangun ilusi bahwa rakyat sudah diajak bicara. Demokrasi yang sehat harusnya memastikan aspirasi publik menjadi bagian dari proses sejak awal secara jelas, transparan, dan jujur.

Sobat yoursay, mungkin suara kita tidak mengetuk palu, tapi suara kita tetap punya kekuatan. Menolak lupa, mempertanyakan proses, dan mengawasi kekuasaan, adalah cara kita menjaga demokrasi agar tidak benar-benar menjadi sunyi.