Pernah nggak, sobat yoursay, merasa hidup di Indonesia itu kayak berjalan santai tapi selalu ada perasaan “awas jangan sampai salah langkah”?
Kita memang bukan penjahat, bukan koruptor, bukan bandar narkoba, tapi kadang hidup sebagai warga biasa di negeri ini terasa seperti hidup dalam game level sulit, karena sistem hukum yang bisa berubah sewaktu-waktu.
Dan kini, setelah RKUHAP resmi diketuk palu DPR pada 18 November 2025, perasaan itu makin terasa nyata.
Banyak yang bilang, “Sudahlah, ini cuma aturan hukum. Warga baik-baik nggak usah takut.” Tapi justru kalimat itulah yang seharusnya bikin kita waspada. Karena sejarah menunjukkan, yang paling sering jadi korban aturan bermasalah bukan para orang besar, melainkan rakyat kecil yang bahkan nggak ngerti apa yang sedang berubah.
Mari kita obrolkan satu per satu, santai aja, tapi serius. Karena ini berkaitan dengan hidup kita sehari-hari.
1. Bisa Ditangkap Hanya Karena Dianggap Tidak Kooperatif
Dalam Revisi KUHAP, pasal-pasal baru memungkinkan seseorang ditahan sejak tahap penyelidikan hanya karena dianggap tidak kooperatif atau memberikan keterangan tidak sesuai fakta.
Masalahnya, siapa yang menentukan kooperatif atau tidak?
Tentu saja, polisi. Dan tanpa supervisi pengadilan.
Kita tahu aparat punya tugas berat, tapi kita juga tahu ada kasus salah tangkap, rekayasa perkara, sampai pengakuan paksa yang entah sudah berapa kali terungkap. Lalu kini, standar ketidakkooperatifan dibiarkan seramah itu?
Warga biasa yang gugup saja bisa dicurigai. Warga yang bertanya pun bisa dianggap melawan. Dan itu cukup untuk membuka pintu penahanan.
Sobat yoursay, apakah itu terdengar aman?
2. Penggeledahan Tanpa Izin Hakim: Privasi yang Jadi Sesuatu yang Mewah
Salah satu hal paling absurd dalam revisi ini adalah perluasan kewenangan penggeledahan, penyitaan, hingga penyadapan tanpa izin hakim dengan alasan mendesak.
Masalahnya lagi-lagi ada di kata “mendesak”. Mendesak versi siapa dan berdasarkan apa?
Kita sedang bicara tentang tindakan yang langsung menembus ruang paling privat manusia. Dari ruang tamu, kamar tidur, isi ponsel, hingga percakapan pribadi, bisa diakses terlebih dahulu, lalu dipertanggungjawabkan belakangan.
Jangankan aktivis atau jurnalis yang sering berurusan dengan aparat, warga biasa pun rentan. Misalnya, ada laporan salah alamat, data keliru, kesalahan identitas. Sekali aparat masuk rumah dan membuka isi ponsel, rusak sudah privasi kita.
3. Penyadapan Tanpa Dasar Jelas: Sisi Gelap Era Digital
Kita hidup di zaman ketika semua komunikasi berada dalam kotak kecil bernama smartphone. Dari urusan kerja sampai curhat cinta, semuanya ada di sana. Dan revisi KUHAP membuka peluang penyadapan yang jauh lebih luas tanpa kontrol pengadilan yang kuat.
Di negara mana pun, penyadapan itu alat yang sangat ekstrem. Dalam film-film saja biasanya dipakai untuk kasus terorisme atau kriminal besar. Tapi di KUHAP versi baru, batasannya tidak jelas.
Dengan kebijakan ini, percakapan warga biasa bisa saja disadap untuk kebutuhan penyelidikan, bahkan sebelum ada bukti bahwa dia terlibat kejahatan.
Jadi, sobat yoursay, apakah kamu merasa aman ngobrol di WhatsApp setelah ini?
4. Risiko Kriminalisasi Warga Kecil
Tidak semua orang punya pengacara. Tidak semua orang paham prosedur hukum. Tidak semua orang punya posisi tawar untuk melawan aparat.
Justru mereka yang paling miskin, paling tidak berpendidikan, dan paling tidak punya akses lah yang paling sering menjadi korban kriminalisasi.
Revisi KUHAP memberi aparat kewenangan yang sangat besar, sementara kontrol pengadilan menjadi semakin kecil. Kombinasi ini seperti menaruh warga kecil dalam posisi target empuk.
Bayangkan ibu penjual gorengan yang dipaksa damai. Atau tukang bangunan yang dituduh terlibat kasus hanya karena berada di lokasi yang salah pada waktu yang salah. Atau mahasiswa yang kritis lalu dianggap mengganggu stabilitas. Semua itu kini menjadi lebih mungkin.
Dan ketika hukum menjadi abu-abu, yang paling dulu tenggelam adalah mereka yang tidak punya kuasa.
Sobat yoursay, revisi KUHAP membuka tabir bagaimana negara memperlakukan rakyatnya. Apakah negara menganggap rakyat sebagai subjek yang harus dilindungi? Ataukah objek yang bisa digeledah, disadap, dan ditahan tanpa banyak pertanyaan?
Kita boleh tidak melakukan kejahatan, tapi kita tidak pernah tahu kapan negara tiba-tiba menganggap kita mencurigakan.
Jadi, menurut kamu… masih amankah kita menjadi warga biasa di Indonesia yang baru ini?
Baca Juga
-
Partisipasi Publik Palsu: Strategi Komunikasi di Balik Pengesahan Revisi KUHAP
-
Krisis Empati: Mengapa Anak-Anak Tidak Lagi Tahu Caranya Berbelas Kasih?
-
Kota Tanpa Trotoar: Indonesia untuk Mobil, Bukan Manusia?
-
Arogansi Politik vs Sains: Ahli Gizi Dibungkam di Forum MBG
-
Darurat Bullying Nasional: Mengapa Ekosistem Kekerasan Anak Terus Tumbuh?
Artikel Terkait
-
Partisipasi Publik Palsu: Strategi Komunikasi di Balik Pengesahan Revisi KUHAP
-
Sarwendah Sebut Ruben Onsu Biayai Rumah Tangga Pakai Sistem Reimburse
-
Jika Hukum adalah Panggung, Mengapa Rakyat yang Selalu Jadi Korban Cerita?
-
Soroti Tragedi SMAN 72 Jakarta dan SMPN 19 Tangsel, FSGI: Sekolah Lalai, Aturan Cuma Jadi Kertas!
-
Hampir Dua Pekan, Enam Korban Ledakan SMAN 72 Masih Dirawat: Bagaimana dengan Pelaku?
Kolom
-
Partisipasi Publik Palsu: Strategi Komunikasi di Balik Pengesahan Revisi KUHAP
-
Hope Theory: Rumus Psikologi di Balik Orang yang Tidak Mudah Menyerah
-
Jika Hukum adalah Panggung, Mengapa Rakyat yang Selalu Jadi Korban Cerita?
-
Saat Ragu Mulai Menjerat, Lepaskan dengan Keyakinan Aku Pasti Bisa
-
Krisis Empati: Mengapa Anak-Anak Tidak Lagi Tahu Caranya Berbelas Kasih?
Terkini
-
Intip 3 Deretan Outfit Penyanyi Cilik yang Bikin Gemas di AMI Awards 2025
-
OOTD Layering ala Hwang In Yeop: Intip 4 Padu Padan Gaya Chic-nya!
-
Ren Meguro Resmi Bergabung di Shogun Season 2, FX Siapkan Babak Baru Epik
-
SEA Games Tak Masuk Kalender FIFA, Timnas Indonesia Tanpa Pemain Aboard?
-
Siapa Halim Kalla? Pengusaha EV dan Eks Anggota DPR yang Kini Terseret Kasus PLTU