Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Pelantikan Presiden RI Prabowo Subianto/Kemhan.go.id
Yayang Nanda Budiman

Setahun sudah pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berjalan. Masa yang mungkin terlalu singkat untuk menilai secara menyeluruh arah kebijakan sebuah rezim, tetapi cukup panjang untuk membaca kecenderungan, arah prioritas, dan cara kekuasaan menjawab aspirasi publik. Dalam satu tahun ini, publik dihadapkan pada dua wajah pemerintahan: satu sisi menunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi, sisi lain memperlihatkan kegelisahan kolektif yang tak kunjung reda.

Survei Poltracking Indonesia mencatat tingkat kepuasan terhadap pemerintahan ini mencapai 78,1 persen, sementara Index Politica bahkan mencatat 83,5 persen. Angka yang tentu saja impresif, mengingat transisi kekuasaan baru berjalan satu tahun. Namun, hasil evaluasi dari lembaga independen seperti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) justru memberi rapor merah dengan nilai hanya tiga dari sepuluh. Kontras ini memperlihatkan jarak yang menganga antara persepsi publik yang cenderung emosional dengan penilaian berbasis kinerja dan substansi kebijakan.

Di titik ini, kita perlu menimbang ulang apa makna “kepuasan publik” dalam konteks demokrasi yang sehat. Apakah kepuasan itu sekadar hasil dari komunikasi politik yang efektif dan retorika populis yang berhasil menyentuh emosi masyarakat, ataukah benar-benar cerminan dari kebijakan publik yang berdampak nyata dan berkelanjutan?

Retorika Populis dan Politik Citra

Satu tahun terakhir menandai konsolidasi kuat terhadap gaya politik populisme baru yang mengandalkan simbol-simbol kedekatan, jargon nasionalisme, dan program yang menimbulkan kesan “pro rakyat”. Program makan bergizi gratis, misalnya, menjadi ikon kebijakan yang paling sering digaungkan. Namun di lapangan, pelaksanaannya belum menyentuh akar persoalan ketimpangan gizi dan kemiskinan struktural. Program tersebut lebih sering hadir sebagai simbol kepedulian ketimbang solusi sistemik.

Dalam konteks yang lebih luas, pendekatan semacam ini memperlihatkan kecenderungan yang sama dengan rezim-rezim populis di berbagai negara: kebijakan diarahkan untuk memperkuat citra, bukan memperbaiki struktur. Akibatnya, publik memang merasa diperhatikan, tetapi secara perlahan kehilangan ruang untuk terlibat secara substantif dalam perumusan kebijakan. Demokrasi kemudian berubah menjadi panggung pertunjukan, bukan arena partisipasi.

Oligarki dan Keadilan Ekologis yang Kian Tergerus

Kritik paling tajam terhadap pemerintahan ini datang dari organisasi masyarakat sipil. WALHI, misalnya, menyebut tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran sebagai periode terkonsolidasinya oligarki ekonomi dan politik. Keadilan ekologis, kata WALHI, kian ambruk karena proyek-proyek ekstraktif dan ekspansi industri tambang terus dibiarkan atas nama pertumbuhan.

Narasi “menuju pertumbuhan delapan persen” menjadi pembenaran bagi banyak kebijakan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Di sisi lain, kebijakan perlindungan masyarakat adat, reforma agraria, dan penguatan tata kelola lingkungan tampak berjalan di tempat. Ketika pembangunan didefinisikan hanya sebagai peningkatan angka ekonomi, bukan sebagai keseimbangan antara kesejahteraan dan keberlanjutan, maka rakyat di lapisan paling bawah akan selalu menjadi korban pertama.

Masalahnya bukan sekadar pada prioritas kebijakan, melainkan pada paradigma pembangunan itu sendiri. Pemerintahan ini tampak lebih memilih jalan pintas ekonomi jangka pendek ketimbang membangun fondasi keadilan sosial dan ekologis jangka panjang. Maka wajar jika publik merasakan pertumbuhan di atas kertas, namun keseharian tetap penuh beban: harga pangan yang tinggi, pajak yang meningkat, dan lapangan kerja yang stagnan.

Demokrasi yang Mengecil, Ruang Kritik yang Menyempit

Dalam setahun terakhir, demonstrasi mahasiswa dan kelompok sipil mewarnai jalanan kota besar di Indonesia. Aksi “Indonesia Gelap” menjadi simbol keresahan generasi muda terhadap arah demokrasi yang dianggap semakin elitis. Mereka menuntut keterbukaan, evaluasi kebijakan, dan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi.

Kita bisa berdebat panjang tentang motif politik di balik demonstrasi, tetapi yang pasti, protes semacam ini adalah indikator penting bagi kesehatan demokrasi. Ketika kritik dianggap ancaman, dan ketika partisipasi publik lebih sering dipersempit dengan alasan stabilitas, maka demokrasi sedang berada di ambang bahaya. Dalam satu tahun ini, kecenderungan sentralisasi kekuasaan semakin terasa, dan wajah politik kita tampak semakin militeristik, bukan deliberatif.

Kecenderungan tersebut sejatinya bukan fenomena baru, tetapi menjadi lebih nyata di bawah pemerintahan ini. Ketika ruang publik makin dikontrol, media makin berhati-hati, dan aktivis makin sering diseret dengan tuduhan palsu, maka yang kita saksikan adalah transformasi demokrasi menuju birokrasi yang mengatur tanpa mendengar.

Menuju Tahun Kedua: Saatnya Menyadari Bahwa “Kepuasan” Bukan Capaian

Satu tahun pertama seharusnya menjadi cermin, bukan perayaan. Tingginya tingkat kepuasan publik tidak boleh dijadikan alasan untuk berhenti berbenah. Sebaliknya, justru menjadi dasar untuk membangun pemerintahan yang lebih tangguh, terbuka, dan berpihak pada rakyat secara substantif.

Jika pemerintah terus bertumpu pada politik pencitraan, maka kepuasan publik akan menjadi gelembung sesaat yang mudah pecah ketika realitas ekonomi dan sosial semakin keras menekan. Pemerintah perlu bergeser dari paradigma kekuasaan menuju paradigma pelayanan, dari citra menuju substansi, dari popularitas menuju kinerja yang terukur dan berkelanjutan.

Tahun kedua seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola, memperkuat keadilan ekologis, dan memperluas ruang demokrasi. Tanpa itu, rapor merah yang diberikan masyarakat sipil akan menjadi tanda peringatan bahwa legitimasi politik, betapapun tinggi angkanya di survei, bisa runtuh kapan saja ketika kepercayaan publik mulai pudar.