Tidak semua luka bisa terlihat, dan tidak semua korban berani bersuara. Masyarakat sampai sekarang masih meyakini bahwa laki-laki harus kuat dan tegar sehingga pelecehan seksual terhadap laki-laki sering kali terkubur.
Banyak dari mereka memilih menahan diri, bukan karena tidak sakit, tapi karena takut dianggap lemah.
Dalam beberapa kasus, laki-laki korban pelecehan justru merasa bersalah, malu, bahkan ragu apakah mereka pantas disebut korban.
Norma sosial yang melekat pada maskulinitas membuat mereka berpikir bahwa “cowok sejati” tidak mungkin dilecehkan.
Dalam laporan Suara.com pada Rabu (12/11/2025) Rony Tri sebagai anggota Aliansi Laki-Laki Baru, mengatakan bahwa laki-laki sering kali tidak punya ruang untuk mengakui pelecehan yang mereka alami.
Pernyataan itu menggambarkan betapa kuatnya jeratan stigma maskulinitas dalam membungkam korban. Di satu sisi, laki-laki dituntut untuk selalu memegang kendali, tapi di sisi lain, mereka juga bisa menjadi pihak yang disakiti.
Ketika pengalaman itu terjadi, mereka terjebak antara ingin speak up tapi takut dicibir, ingin diam tapi takut terus terluka.
Tak jarang, reaksi masyarakat justru memperparah keadaan. Ketika seorang laki-laki bercerita bahwa dilecehkan, respons yang muncul sering berupa candaan atau ketidakpercayaan.
Aliansi Laki-Laki Baru menilai, pendekatan layanan bagi korban selama ini cenderung berfokus pada perempuan. Bukan berarti salah, tapi masih kurang ruang bagi laki-laki untuk menceritakan pengalaman mereka tanpa rasa takut.
Kondisi ini menunjukkan bahwa wacana tentang kekerasan seksual masih bias gender, bahkan ketika bicara soal perlindungan.
Penting untuk diakui bahwa laki-laki juga dapat mengalami pelecehan dan mereka berhak mendapatkan dukungan. Diam memang terlihat kuat, tapi sering kali justru menyakitkan.
Maskulinitas yang kaku membuat banyak laki-laki memilih bungkam atas pelecehan yang mereka alami. Namun, selama suara mereka masih tertahan oleh stigma, luka itu tidak akan pernah benar-benar sembuh.
Pelecehan seksual tidak mengenal gender. Setiap korban berhak didengar dan dilindungi. Sudah waktunya kita berhenti menilai siapa yang pantas menjadi korban dan mulai mendengarkan mereka yang selama ini tersandera oleh label “laki-laki sejati.”
Baca Juga
-
'Duta Poligami', Fedi Nuril Balik Jadi Suami Dua Istri di Film Pangku
-
Butuh Gadget Fleksibel? Ini Pilihan Tablet yang Nggak Bikin Kantong Teriak
-
Nadine Chandrawinata dan Dimas Buktikan 'Nilai yang Sama' Bisa Mengalahkan Beda Agama
-
Oktavia Ningrum Menemukan Ruang Aman dan Teman Digital lewat YourSay
-
Siapa Gus Elham Yahya? Pendakwah Kediri Viral karena Aksi Cium Anak Kecil
Artikel Terkait
-
Aliansi Laki-Laki Baru: Lelaki Korban Kekerasan Seksual Harus Berani Bicara
-
Jeritan Sunyi di Balik Tembok Maskulinitas: Mengapa Lelaki Korban Kekerasan Seksual Bungkam?
-
Tugas di Hari Ayah: Ajari Anak Lelaki bahwa Maskulinitas Tak Harus Keras
-
Gelar Pangeran Andrew Dicabut Gegara Pelecehan Seksual, Keluarga Giuffre Beri Respon Sinis
-
7 Rekomendasi Facewash Laki-Laki untuk Kulit Berminyak dan Berjerawat, Mulai Rp25 Ribuan
Kolom
-
Purbaya Bongkar Underinvoicing: Kejahatan Pajak yang Lolos Bertahun-tahun
-
Sumarsih, Ibu yang Tak Pernah Lelah Menunggu Keadilan untuk Wawan
-
Prinsip Monogami Sultan HB X: Soal Kesetiaan dan Romansa Pandangan Pertama
-
Pahlawan Tanpa Perlindungan Hukum: Kisah Rasnal dan Abdul Muis
-
Betapa Nagihnya Nonton Drama Perselingkuhan
Terkini
-
Bagikan Foto Maternity, Nita Vior Banjir Pujian karena Tampil Apa Adanya
-
Nggak Cuma Soal Utang! Film Wasiat Warisan Bakal Bikin Sinefil Mewek
-
Azizah Salsha Kena Cancel Culture, Andre Rosiade Pasang Badan Bela Putrinya
-
Lafayette Coffee & Eatery: Nongkrong Cantik ala Princess Dubai di Malang!
-
'Duta Poligami', Fedi Nuril Balik Jadi Suami Dua Istri di Film Pangku