Hayuning Ratri Hapsari | Ruslan Abdul Munir
Ilustrasi Gen Z (Pexels/Ron Lach)
Ruslan Abdul Munir

Gen Z seringkali distereotipkan sebagai generasi yang anti-buku, karena perhatiannya yang seringkali tersedot sepenuhnya ke dalam layar gawai.

Namun, realitas di media sosial, terutama di komunitas seperti Bookstagram atau BookTok yang memicu penjualan jutaan buku, menunjukkan hal sebaliknya, minat baca di kalangan Gen Z sebenarnya tinggi.

Paradoks justru muncul di sini, terkadang tingginya konsumsi konten dan minat membeli buku tidak selalu berbanding lurus dengan kedalaman literasi yang dimiliki.

Kesenjangan ini terjadi antara kecepatan membaca dan pemahaman kritis, yang menjadikan hal ini sebagai tantangan literasi paling mendesak di era digital saat ini.

Inti masalahnya terletak pada pergeseran definisi "membaca" itu sendiri. Bagi Gen Z, "membaca" tidak lagi secara eksklusif berarti duduk diam dan memproses 400 halaman buku fisik secara langsung.

Membaca kini seringkali mencakup konsumsi informasi yang cepat dan ringkas, caption media sosial yang padat, atau artikel online yang ringkas.

Preferensi pada buku digital atau audiobooks juga memfasilitasi multitasking, memungkinkan membaca sambil melakukan hal lain.

Gaya membaca cepat ini sangat efisien untuk mengumpulkan fakta, namun beum tentu dapat melatih cara berpikir kognitif yang diperlukan untuk pemahaman yang lebih akurat.

Keterbatasan ini tentu sangat diperparah oleh adanya ancaman distraksi digital. Lingkungan online yang dipenuhi notifikasi konstan dan tautan (hyperlink) melatih otak untuk scanning, melompat dari satu informasi ke informasi lain.

Hal tersebut semakin jarang bagi seseorang untuk melakukan synthesizing (mensintesis) atau merangkai argumen kompleks secara utuh.

Akibatnya, Gen Z menjadi sangat mahir dalam browsing dan menemukan jawaban instan, tetapi kesulitan ketika dihadapkan pada teks panjang yang menuntut kemampuan berpikir kritis.

Hal inilah yang menciptakan kesenjangan informasi dikalangan Gen Z, mereka mungkin tahu apa yang terjadi dalam plot, tetapi mereka kesulitan memahami mengapa itu terjadi, atau bagaimana pesan itu relevan dengan struktur sosial yang lebih besar.

Dampak yang paling serius dan dirasakan dari fenomena ini adalah rendahnya Literasi Kritis. Kemampuan untuk membaca, menganalisis bias penulis, mempertanyakan sumber, dan memvalidasi informasi menjadi tumpul.

Tanpa literasi kritis, Gen Z menjadi rentan terhadap disinformasi dan mudah terjebak dalam ruang yang sempit di media sosial.

Untuk membangun literasi yang lebih bermakna, solusinya tentu bukanlah dengan menolak kehadiran teknologi itu sendiri, melainkan mengintegrasikan kebiasaan membaca mendalam ke dalam rutinitas digital.

Pendidikan harus fokus pada pelatihan analisis teks, mengajarkan siswa bagaimana bertanya, bukan hanya apa isinya. Penting juga untuk mendorong praktik slow reading sebagai tindakan sadar.

Dengan menjadwalkan waktu tanpa gawai dan kembali ke buku fisik, Gen Z dapat melatih kembali otaknya untuk menahan distraksi dan menikmati proses perenungan yang mendalam.

Buku fisik itu adalah alat yang bebas gangguan karena fungsinya hanya satu, dibaca. Sentuhan, berat, dan bau kertasnya menjadi penanda kuat bagi otak.

Selain itu, buku fisik membantu kita membangun ingatan letak halaman, kita ingat di mana sebuah ide berada di halaman tersebut, yang sangat membantu saat kita mencoba mengingat dan menghubungkan ide-ide.

Kembali membaca buku fisik adalah cara paling efektif untuk melatih kembali kemampuan kita untuk fokus penuh pada satu hal.

Minat baca Gen Z adalah modal besar, maka dari itu, tugas kita kini adalah mengubah minat yang cepat dan dangkal itu menjadi pemahaman yang lambat dan lebih bermakna.