Hikmawan Firdaus | Nana Lusianar
Belajar dan Mengajar.[Dok pribadi/Nana Lusianar]
Nana Lusianar

Guru, sebuah profesi yang sering disebut-sebut sebagai "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa". Membayangkan ketugasannya saja terasa berat. Bagaimana seseorang bisa mengajar, mendidik, menyampaikan pengetahuan baru, belum lagi membimbing dan menangani murid dengan berbagai macam karakter yang terkadang membuat pikiran dan tenaga terkuras. Tidak pernah terpikirkan olehku, bahwa kelak aku akan menjadi seorang pahlawan itu.

Lima belas tahun yang lalu aku adalah seorang siswa yang menimba ilmu di sebuah sekolah kejuruan. Niat awalku setelah lulus sekolah kejuruan adalah bekerja, namun hati berkata lain. Kenyataanya aku belum siap untuk bekerja saat itu. Ku putuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di universitas.

Siang itu di tengah kegundahanku menentukan jurusan kuliah, Bu Dhani, ibu dari temanku yang juga seorang guru sekolah dasar datang menghampiriku ketika menunggu jemputan pulang. Percakapan itu mengalir begitu saja, sampai akhirnya beliau mengatakan, “Lanjut ambil jurusan pendidikan guru sekolah dasar saja! Nanti akan banyak dibutuhkan ditengah banyaknya guru yang pensiun.” Iming-iming Bu Dhani kepadaku.

Bagai angin segar yang menerpa di siang yang terik, aku mendapatkan kembali semangatku. Ya, pilihanku jatuh pada jurusan pendidikan guru sekolah dasar. Sepanjang hari-hariku menanti pengumuman kelulusan sekolah, aku mencari berbagai informasi mengenai universitas yang memiliki jurusan pendidikan guru sekolah dasar. Sampai akhirnya, aku lulus sekolah kejuruan dan diterima melanjutkan di universitas dengan jurusan yang sesuai dengan keinginanku.

Hari demi hari ku lalui di kampus untuk belajar bagaimana menjadi seorang guru. Semakin hari, semakin aku mengerti dan memahami bagaimana menjadi sosok seorang guru. Mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan selalu berusaha menjadi teladan yang baik bagi muridnya. Terlihat berat, namun inilah pilihanku. Aku yakin, aku mampu menjalaninya.

Empat tahun menimba ilmu, gelar sarjana pendidikan tersemat di belakang nama lengkapku. Bahagia, terharu, dan rasa penuh semangat itu muncul diwajahku. Ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan hidupku.

Sebulan setelah wisuda, aku mulai mencoba menulis surat lamaran kerja. Beberapa surat lamaran telah tertulis lengkap dengan daftar riwayat hidup. Esoknya ku antarkan ke sekolah-sekolah yang tidak terlalu jauh dari rumahku.

Beberapa hari setelah menyerahkan dokumen lamaran kerja, akhirnya ada satu sekolah yang menghubungiku. Ya, aku diterima sebagai guru honor di sekolah tersebut. Rok hitam, kemeja batik, jilbab polos, sepatu pantofel, telah melekat ditubuhku. Hari ini ku awali karirku dengan menjadi guru honorer di sekolah negeri.

Pengalaman pertamaku menjadi guru saat itu, aku dipercaya membersamai murid-murid di kelas dua. Aku senang belajar dan bermain bersama mereka. Bagiku, mereka adalah makhluk kecil dengan tingkah polos dan perlu bimbingan. Mereka selalu berhasil menambah semangatku untuk berbagi ilmu.

Perjalanan pengabdian ini terus ku lalui di hari-hariku. Namun, ternyata menjadi guru honorer banyak sekali tantangannya. Sebulan menjadi guru kelas yang sesuai dengan bidang pendidikanku ini, harus rela ku lepaskan. Seorang guru yang baru saja diangkat sebagai aparatur sipil negara datang menggantikan posisiku sebagai guru kelas. Memang terasa sedih, namun inilah yang harus aku terima ketika menyandang gelar seorang guru honorer.

Langkahku layu menuju ruang kepala sekolah. Beliau menyampaikan bahwa aku tetap bisa menjadi guru. Bukan guru kelas, melainkan guru Bahasa Inggris. “Dhuaarrrrr”, seperti ada yang meledak dipikiranku. Ragu, akankah aku lanjutkan perjalanan ini atau berhenti dan kembali ke rumah. Namun, keyakinan dan juga dorongan teman-teman di sekelilingku membuatkan bertahan. Ku putuskan untuk melanjutkan perjalanan ini.

Aku menerima keputusan ini. Amanah baru untuk mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris, yang sesungguhnya bukan bidang keahlianku. Namun, aku terus belajar. Belajar mendalami ketugasan baru ini agar aku tetap bisa melanjutkan berbagi pengetahuan kepada anak didikku. Inilah tantangan selanjutnya yang harus ku lalui. Harus siap mempelajari hal-hal baru untuk menambah pengetahuan dan berbagi pengetahuan demi turut mencerdaskan anak bangsa.

Enam tahun diusia dua puluahanku ini telah ku abadikan menjadi seorang guru honorer. Menjadi guru honorer memang tidak mendapatkan penghasilan yang cukup, namun aku merasa ada kebahagiaan tersendiri ketika datang ke sekolah dan bertemu dengan anak didikku. Kebahagiaan untuk terus belajar dan berbagi ilmu setiap hari di sekolah. Walaupun terkadang mereka berhasil membuatku merasa jengkel, kesal, bahkan timbul amarah, namun mereka sangat menyayangiku. Rasa saling menyayangi yang timbul di antara kita inilah yang membuatku kuat bertahan dan menjalani profesi ini dengan keihklasan.

Guru, suatu profesi yang sangat berjasa besar bagi negara. Profesi yang luar biasa berat dan penuh tuntutan untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Profesi yang selalu dituntut untuk terus mengembangkan diri demi kemajuan bangsa. Namun, jika kita menjalankannya dengan penuh keihklasan, rasa lelah dan berat ini perlahan akan sirna. Sirna tergantikan dengan kebahagiaan dan kebanggaan. Tetaplah kuat dan menjadi hebat untuk menginspirasi negeri ini wahai, Guru. Jasamu tidak akan lebur oleh perjalanan waktu.