Dalam rangka membangun budaya baca di tingkat persekolahan, pemerintah mengambil langkah strategis yang patut diapresiasi yakni mewajibkan siswa untuk membaca buku dan menghasilkan resensi dari buku yang telah dibaca.
Kebijakan ini jauh melampaui sekadar menugaskan siswa untuk membuktikan bahwa mereka telah menyelesaikan bacaan. Hal ini adalah intervensi institusional yang bertujuan untuk mengangkat literasi dari level konsumtif ke level produktif dan kritis.
Dilansir dari Kompas.id, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti dalam acara Musyawarah Nasional ke-20 Ikatan Penerbit Indonesia, di Jakarta menegaskan bahwa setiap satuan pendidikan penerima Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOS) wajib mengalokasikan minimal 10 persen dari total dana yang diterima untuk pengadaan buku.
Seruan tersebut semata agar akses terhadap buku khususnya di satuan pendidikan dapat diterapkan secara merata sehingga tidak ada lagi kesenjangan terhadap akses bacaan.
Karena selama ini yang menjadi permasalahan utama budaya baca di Indonesia adalah bukan sekadar soal minat, tetapi yang lebih krusial adalah soal akses yang kurang memadai terhadap bahan bacaan.
Selama ini, tugas membaca di sekolah seringkali berhenti pada tahap membaca dan menjawab pertanyaan. Ini hanya mengukur kemampuan pemahaman dasar.
Namun, tugas menulis resensi berpotensi menuntut siswa untuk melakukan analisis, menilai, dan merespons isi bacaan dengan cara yang reflektif.
Sesuai tujuan kebijakan, siswa dipaksa untuk mencermati lebih dalam struktur buku, pesan yang ingin disampaikan, gaya bahasa, hingga mengevaluasi kekuatan dan kelemahan buku tersebut.
Proses ini secara langsung melatih Literasi Kritis, yang sangat dibutuhkan untuk membentengi generasi muda dari disinformasi dan hoaks yang marak di ruang publik.
Siswa tidak hanya menerima teks, tetapi mereka harus mampu mendebat atau mendukung gagasan di dalamnya secara tertulis.
Kebutuhan akan kebijakan ini akan sangat mendukung budaya baca di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga sempat menduduki peringkat yang relatif baik sebagai moderate reader, sebagai negara yang giat membaca.
Menulis resensi tentunya akan memaksa siswa untuk melakukan deep reading, menuntut perhatian dan fokus yang penuh, dan mengikat memori mereka pada argumen yang mereka baca.
Selain melatih kedalaman berpikir, kebijakan resensi ini memiliki dampak lainnya. Pertama, memindahkan fokus literasi dari sekadar konsumsi menjadi produksi pemikiran. Siswa menghasilkan sebuah output yang terstruktur dan teruji.
Kedua, hal ini berpotensi besar untuk membangun budaya rekomendasi di sekolah. Ketika resensi yang baik dipublikasikan atau dibagi, siswa lain akan terdorong untuk membaca buku yang direkomendasikan teman mereka.
Dengan demikian, membaca akan menjadi sebuah kegiatan yang digerakkan oleh minat bersama, bukan hanya oleh kewajiban dari guru semata.
Secara praktis, aktivitas menulis resensi secara teratur juga secara signifikan meningkatkan kemampuan ekspresi tertulis siswa, mulai dari struktur argumen, pemilihan diksi, hingga kemampuan menyusun kalimat yang efektif, keterampilan vital yang dibutuhkan di jenjang akademik dan profesional.
Oleh karena itu, kebijakan mewajibkan siswa menulis resensi adalah sebuah investasi institusional yang harus didukung dan diimplementasikan di satuan pendidikan.
Hal ini adalah pengakuan bahwa kualitas literasi kita diukur bukan dari seberapa banyak buku yang kita beli, tetapi dari kedalaman dan kekritisan kita dalam mencerna dan menyampaikan kembali apa yang telah kita pelajari.
Melalui resensi, siswa tidak hanya belajar membaca, tetapi mereka juga belajar menjadi pemikir yang mandiri dan komunikator yang handal.
Baca Juga
-
Moderate Reader: Indonesia Peringkat Ke 31 Negara Paling Giat Membaca Buku
-
Jarak dan Trauma: Pentingnya Komunikasi Efektif dalam Novel Critical Eleven
-
Perjuangan untuk Hak dan Kemanusiaan terhadap Budak dalam Novel Rasina
-
Paradoks Literasi Gen Z: Mengapa Minat Baca Tinggi tapi Pemahaman Rendah?
-
Cerita Pahit Warung Kopi Pangku: Dilema Moral Ibu Tunggal dalam Film Pangku
Artikel Terkait
-
Moderate Reader: Indonesia Peringkat Ke 31 Negara Paling Giat Membaca Buku
-
Otak Lelah Gara-gara 'Scroll'? 7 Cara Simpel Biar Suka Baca Buku Lagi
-
Lebih dari Sekadar Membaca: Ini 'Keajaiban' yang Ditanamkan Kegiatan Pojok Literasi Kak Rara
-
Rahasia BBW Jakarta 2025: Cara Asyik Jadikan Membaca Bagian dari Gaya Hidupmu!
-
Genjot Literasi Membaca, BBW Jakarta 2025 Datang Lagi: Bakal Ada 5 Juta Buku Baru!
Kolom
-
Lingkaran Setan Upah Minimum: Tertinggal dari Tetangga, Tergerus Inflasi
-
Pendidikan Inklusi atau Ilusi, Realita Pahit dan Harapan Besar Bangsa
-
Menikah Tak Punya Batas Waktu: Saatnya Berhenti Bertanya Kapan?
-
Masalahnya Bukan di Netflix, tapi di Literasi Digital Kita
-
Mengapa Remaja Perempuan Jadi Target Favorit Kekerasan Digital? Yuk Simak!
Terkini
-
Bukan Soal Popularitas, RIIZE Ingin Berbagi Emosi dan Cinta Lewat Lagu Fame
-
8 Rekomendasi Lipstik untuk Guru 40 Tahun Keatas yang Tahan Lama Seharian
-
Stop Salah Urutan! Ini 5 Langkah Skincare Malam yang Benar buat Kulit Kering
-
Butuh Ketenangan, Jennifer Coppen Pertimbangkan Tinggal Sementara di Eropa
-
Jungwoo NCT Ungkap Harapan Manis untuk Penggemar di Lagu Debut Solo 'Sugar'