oleh Angelia Cipta RN
Sepulang sekolah, Arga duduk di bawah pohon mangga halaman rumahnya sambil menatap sepatu barunya. Warnanya biru cerah, dengan garis putih di sisi kanan dan kiri. Bagi Arga, sepatu itu istimewa bukan karena mahal, tapi karena ia membelinya dari hasil menabung selama lima bulan. Setiap uang jajan ia sisihkan sedikit demi sedikit agar bisa membeli sepatu impiannya.
“Tinggal kamu yang harus berani pakai besok, sepatunya bagus kok,” kata ibunya sambil tersenyum.
Arga mengangguk kecil, meski hatinya gelisah. Dia sebenarnya bangga, tapi ia teringat ucapan teman-temannya di kelas beberapa hari lalu.
“Sepatu Arga jelek!” ejek Reno, sambil tertawa keras. Gelak tawa itu diikuti beberapa anak lain.
“Lihat tuh, warnanya aneh!” tambah Banu.
“Iya, masa laki-laki pakai sepatu warna itu, kan aneh,” timpal teman lainnya yang membuat Arga semakin malu dan tertunduk.
Walau Arga pura-pura tertawa, tapi sebenarnya hatinya perih. Sejak hari itu, ia mulai takut menunjukkan barang miliknya. Ia takut ditertawakan, takut diolok-olok, dan ditertawakan seperti hari itu.
Malam itu, sebelum tidur, Arga menatap sepatunya sekali lagi. Ada keinginan untuk memakainya, tapi keraguan masih terus membelenggu pikirannya.
“Kalau besok mereka mengejek lagi, bagaimana?” bisiknya pada diri sendiri.
Namun, ia mengingat satu hal yakni sepatu itu hasil kerja kerasnya sendiri dari menyisihkan uang jajannya.
“Tidak apa-apa,” ia menarik napas. “Yang penting aku suka. Biarpun orang berkata apa, toh ini hasilku menabung.”
Keesokan paginya, Arga pergi ke sekolah dengan langkah pelan. Setiap langkah terasa berat. Sesampainya di gerbang, ia langsung melihat Reno dan Banu sedang duduk di depan kelas.
“Wah, ada sepatu baru tuh!” seru Reno, suaranya lebih keras daripada biasanya.
Arga berhenti. Jantungnya berdetak kencang seperti genderang yang mau perang. Ia menunduk, seolah-olah sepatu itu bisa sembunyi dengan sendirinya.
Banu mendekat, ingin melihat lebih jelas. “Warnanya terang banget. Kamu nggak malu? Kamu kan laki-laki.”
“Tau nih, Arga. Laki-laki tuh pakainya warna hitam, abu-abu, dan coklat, bukan biru terang begitu. Kalau aku jadi kamu, aku pasti malu dan tak ingin masuk sekolah.” tambahnya lagi dengan tertawa terbahak-bahak.
Beberapa anak mulai berbisik. Arga menggenggam tali tasnya lebih kuat. Lagi-lagi, ia menerima cemoohan itu.
Tiba-tiba sebuah suara muncul dari belakang mereka.
“Bagus kok sepatunya! Aku suka!”
Suara itu milik Sinta, teman sekelas yang biasanya pendiam. Ia melangkah maju dan berdiri di samping Arga.
“Aku malah pengen punya yang warnanya cerah begitu. Ini sepatu baru ya, Arga?” ujar Sinta sambil tersenyum.
Anak-anak lain terdiam, tidak menyangka akan ada yang membela Arga.
Reno mengangkat alis. “Serius? Tapi, menurutku itu jelek banget.”
Sinta menggeleng. “Yang penting sepatu itu nyaman dan dia suka. Kenapa harus diejek? Kalau kamu diejek soal barang yang kamu suka, bagaimana perasaanmu?”
Reno terdiam. Banu pun menelan ludah, merasa tidak enak.
Arga menatap Sinta. “Makasih, ya…” katanya lirih.
Sinta hanya tersenyum. “Sudahlah, ayo masuk kelas.”
Di dalam kelas, Bu Rika, wali kelas mereka, melihat Arga dan Reno tampak tegang. Ia mendekat dan bertanya, “Ada apa ini? Kalian terlihat seperti habis lomba lari.”
Reno menunduk. Arga pun bingung hendak menjawab apa.
Tanpa sengaja, Sinta menjelaskan semuanya tentang apa yang terjadi pagi tadi sebelum masuk sekolah. Bu Rika menarik kursinya dan duduk di depan anak-anak. “Baik, kita bicara sebentar.”
Suasana kelas menjadi senyap.
“Anak-anak,” ujar Bu Rika lembut, “Di sekolah ini, kita berteman. Teman itu bukan mengejek. Teman itu harus saling menghargai. Kalian tahu, semua orang punya hal yang mereka banggakan, meski berbeda dari kalian.”
Reno menatap sepatu Arga. Ada rasa bersalah yang perlahan tumbuh di wajahnya. Banu menggigit bibir, menyesal karena ikut-ikutan.
“Perundungan atau bullying tidak hanya dengan memukul atau mendorong,” lanjut Bu Rika. “Kadang, satu kalimat saja sudah cukup membuat hati orang lain terluka. Kita tidak tahu betapa keras seseorang berusaha untuk mendapatkan sesuatu. Kita harus belajar melihat lebih dalam, bukan hanya mengejek saja.”
Arga menatap sepatunya pelan. Kata-kata Bu Rika hangat seperti sinar matahari pagi.
Setelah kelas mulai, Reno berjalan pelan ke arah Arga.
“Ga…” katanya ragu. “Aku… aku minta maaf, ya. Sepatumu bagus, kok. Aku cuma ikut-ikutan ngomong waktu itu.”
Banu ikut mengangguk. “Aku juga minta maaf ya, aku nggak akan mengulanginya lagi.”
Arga terkejut. Senyumnya muncul perlahan. “Nggak apa-apa. Yang penting jangan diulang lagi.”
Sinta yang duduk tidak jauh, ikut tersenyum senang.
Saat pulang sekolah, Arga keluar gerbang dengan langkah ringan. Sepatunya bersinar terkena matahari. Kali ini, perasaannya berbeda. Ia tidak menunduk lagi.
“Sepatumu keren!” seru seorang adik kelas yang lewat.
Arga terkekeh kecil. “Makasih banyak.”
Dalam hati, ia merasa bangga. Bukan hanya pada sepatunya, tapi pada dirinya sendiri karena berani tetap menjadi Arga yang sebenarnya.
Benar kata Bu Rika, sosok teman sejati tidak akan menjatuhkan. Mereka justru akan saling menguatkan.
Dan sejak hari itu, Arga memahami bahwa keberanian bukan hanya berdiri melawan orang lain, tetapi juga berdiri untuk membela dirinya sendiri.
Baca Juga
-
Di Balik Putihnya Garam, Ada Luka dan Harapan Orang-Orang Pesisir Rembang
-
Kehidupan Pesisir Indonesia: Antara Keindahan Ombak dan Krisis Nyata
-
Tak Tercatat Statistik, tapi Menghidupi Pesisir: Potret Perempuan Nelayan
-
Viral Kasus Tumbler Tuku: Benarkah Ini Gara-Gara Tren Hydration Culture?
-
Bahasa Rahasia Musik: Bagaimana Beat Mengatur Fokus dan Kreativitas
Artikel Terkait
Kolom
-
Kenali! Tipe Bullying di Sekolah Ini Sering Tidak Disadari Guru dan Orang Tua
-
Anatomi Kehidupan dari Laut: Pangan, Ekonomi, hingga Masa Depan Kita
-
Budaya Senioritas: Tradisi yang Diam-diam Menghidupkan Bullying
-
Humor Seksis Tak Cuma Menganggu, tapi Aksi Perundungan Seksual bagi Wanita
-
In This Economy, Gen Z Makin Pesimis soal Masa Depan
Terkini
-
HP Mini tapi Spesifikasi Ngeri: Seberapa Gila Performa Vivo X300?
-
Ulasan Film Dead of Winter, Survival di Tengah Badai dan Ancaman Manusia
-
SEA Games 2025: Siapa Saja 4 Pemain Abroad Andalan Timnas U-22?
-
Silent Bystander: Mengungkap Akar Bullying dari Sisi yang Terabaikan
-
Kehadiran Joey Pelupessy dan Potensi Semakin Sempitnya Dapur Pacu Persib Bandung