Dalam beberapa tahun terakhir, konten prank semakin menjamur di media sosial. Di balik judul yang memancing rasa penasaran, prank sering dijadikan hiburan “cepat saji” yang dianggap menghibur banyak orang, termasuk jika sampai mempermalukan orang lain.
Namun, tanpa disadari prank semacam ini sebenarnya telah melenceng jauh dari tujuan awal. Bukan lagi lucu, tetapi berubah menjadi bentuk bullying terselubung yang merendahkan korban demi popularitas dan jumlah viewers.
Ketika Prank Berubah Jadi Bullying
Pada dasarnya, prank adalah lelucon yang dirancang untuk membuat orang terkejut atau tertipu sementara. Namun, batas tipis antara candaan dan tindakan menyakiti sering kali tidak dipahami oleh pembuat konten.
Ketika prank dilakukan dengan tujuan mempermalukan, membuat korban panik, atau memancing reaksi emosional ekstrem, maka aksi tersebut sudah berubah menjadi “varian” bullying.
Tendensi ini biasanya mudah dikenali, seperti korban konten prank yang tidak mengetahui dan tidak memberikan persetujuan saat ditakuti, dikerjai, atau dipaksa berada dalam situasi yang memalukan.
Reaksi korban menjadi “jualan utama” demi hiburan atau engagement tinggi. Pembuat konten jadi ketagihan mengulang prank dengan target orang yang dianggap rentan.
Ketika tindakan ini terus dilakukan dan disaksikan publik, efeknya bisa jauh lebih dalam daripada sekadar “candaan”. Seolah jadi hiburan yang normal, padahal prank jadi pintu pembiasaan bullying yang tersamarkan sebagai hiburan.
Normalisasi Perilaku Merendahkan, Stop Konten Prank!
Fenomena prank ekstrem di media sosial memiliki dampak serius pada masyarakat, terutama generasi muda yang aktif menonton dan membagikan konten tersebut.
Tanpa disadari, prank yang mempermalukan orang dapat menormalisasi perilaku agresif dan tidak menghargai privasi orang lain.
Setiap kali video prank yang mempermalukan orang jadi viral, pesan yang tersirat adalah mengolok, mempermainkan, bahkan mempermalukan orang lain itu sah-sah saja demi kebutuhan konten hiburan.
Padahal, fenomena ini merupakan bentuk social modeling negatif, di mana perilaku buruk ditiru karena terlihat “lucu” atau mendapat validasi dalam bentuk likes, share, dan komentar.
Dampak Psikologis: Luka yang Tidak Terlihat Tumbuh Tanpa Disadari
Banyak korban prank ekstrem merasakan dampak psikologis yang lebih berat daripada yang terlihat. Rasa malu dan kehilangan harga diri dipastikan muncul paling depan saat menjadi korban prank di depan publik.
Apalagi kalau video prank tersebut diunggah ke media sosial dan semakin viral, dampaknya bisa menghancurkan rasa percaya diri seseorang dan pelaku yang notabene seorang konten kreator kurang mampu menyadari hal ini.
Prank yang melibatkan ancaman palsu, jebakan, atau sentuhan fisik juga bisa menimbulkan trauma, terutama jika korban merasa tidak aman atau dipermalukan secara ekstrem dan merasakan anxiety yang hebat.
Belum lagi jika wajah korban tersebar luas di dunia maya, tekanan sosial turut menambah luka emosional saat menjadi sasaran komentar negatif. Situasi ini akan memicu social humiliation, kondisi saat penghinaan di hadapan publik membuat seseorang merasa martabatnya dirobek.
Mengapa Pembuat Konten Melanggengkan Prank Berbahaya?
Ada beberapa alasan mengapa prank yang tanpa sadar berujung pada bullying semacam ini semakin banyak bermunculan, salah satunya engagement dan algoritma.
Konten dramatis dan membuat emosi orang “meledak” biasanya lebih cepat viral. Pembuat konten mengejar angka tanpa mempertimbangkan moral atau dampak jangka panjang yang sekaligus menjadi bukti minimnya empati.
Di sisi lain, dukungan pengguna medsos yang memberikan “jempol” pada konten prank juga punya andil memberi dorongan pada pembuat konten lain untuk berlomba membuat ide “unik” serupa yang cenderung semakin ekstrem agar menonjol.
Stop Beri Panggung pada Bullying
Fenomena prank yang melenceng tidak hanya salah pembuat konten. Penonton yang terus menonton, menyukai, dan membagikan video tersebut berkontribusi pada penyebaran perilaku tidak sehat.
Jadi, stop memberi panggung pada bullying berkedok konten prank hiburan. Konten medsos yang mengaku punya tujuan menghibur seharusnya membawa tawa, bukan sarana untuk mempermalukan dan menyakiti orang lain.
Ketika prank dilakukan tanpa empati dan tanpa persetujuan, maka ia sudah berubah menjadi bentuk bullying yang merusak. Dengan meningkatnya kesadaran digital dan empati sosial, kita bisa menghentikan budaya mempermalukan orang hanya demi viral.
Baca Juga
-
Ketika Grup Chat Jadi "Medan Bullying": Bagaimana Cara Menghadapinya?
-
Learned Helplessness: Saat Korban Bullying Sulit Melawan, Stop Menghakimi!
-
Keluarga dan Pola Asuh Berkontribusi pada Perilaku Bullying, Benarkah?
-
Invisible Wound: Luka Psikologis Bullying yang Tak Terlihat tapi Berbahaya
-
Workplace Bullying: Silent Treatment dan Pekerjaan Tidak Adil Dinormalisasi
Artikel Terkait
-
Ketika Grup Chat Jadi "Medan Bullying": Bagaimana Cara Menghadapinya?
-
6 Cara Menjaga Batasan agar Aman dari Cyberbullying, Sudah Lakukan?
-
Darurat Kekerasan Sekolah! DPRD DKI Pastikan Perda Anti Bullying Jadi Prioritas 2026
-
Bukan Lagi Salah Korban: Saatnya Menuntaskan Akar Bullying
-
Safe Space Starts With You: Pentingnya Empati Saat Menulis Isu Bullying
Kolom
-
Saat Alam Bicara: Membaca Banjir dan Longsor Sumatera lewat Filsafat Minangkabau
-
No Viral No Justice: Ketika Kasus Bullying Baru Dipedulikan setelah Ramai
-
6 Cara Menjaga Batasan agar Aman dari Cyberbullying, Sudah Lakukan?
-
Perempuan Hebat, Masyarakat Panik: Drama Abadi Norma Gender
-
Suara Pesisir yang Padam: Hak Perempuan Nelayan yang Masih Terabaikan
Terkini
-
Tetap Bercadar, Mawa Jadi Brand Ambassador Skincare Milik dr. Oky Pratama
-
Tegas, Iko Uwais Tepis Isu Pencitraan dalam Film Timur
-
Gantikan Marselino Ferdinan, Rifqi Ray Farandi Hadapi Tanggung Jawab Besar
-
Ketika Grup Chat Jadi "Medan Bullying": Bagaimana Cara Menghadapinya?
-
FIFA Puskas Award 2025, Rizky Ridho dan Kado Penawar Luka Barisan Pendukung Setia Skuat Garuda