Setiap tanggal 10 Desember kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM), tetapi apakah setiap manusia bisa merasakan hal tersebut?
HAM seharusnya menjadi milik setiap warga tanpa terkecuali. Namun kenyataannya di Indonesia, HAM sering terasa seperti hak yang hanya dimiliki sebagian orang saja, yakni mereka yang punya akses, suara, atau keberanian.
Banyak warga, terutama kelompok rentan atau minoritas masih sulit menikmati HAM secara penuh.
Menurut data terbaru Komnas HAM, sepanjang 2024 lembaga tersebut menerima 2.305 dugaan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di dalam dan luar negeri.
Sementara itu, Amnesty International Indonesia (AII) mencatat pelemahan ruang kebebasan sipil, di mana warga yang menyuarakan aspirasi atau kritik kerap dihadapkan pada kriminalisasi, pembubaran paksa aksi damai, atau kekerasan dari aparat.
Hal ini menggambarkan bahwa HAM yang diatur secara konstitusional dan diakui secara normatif, tidak selalu hadir dalam praktik keseharian.
Situasi ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, apakah hak mendasar seperti kebebasan berekspresi, hak atas rasa aman, hak atas keadilan, dan hak atas perlindungan sama bagi semua warga?
Atau justru tergantung pada siapa dirimu, dari mana dirimu, serta kondisi sosial dan ekonomi yang dimiliki?
Salah satunya terkait penangkapan dan penahanan demonstran yang menyuarakan kritik terhadap kebijakan publik.
Banyak dari mereka tidak mendapatkan pendampingan hukum yang layak, padahal akses hukum adalah hak dasar.
Sementara itu, upaya penyelesaian pelanggaran, baik masa lalu maupun baru, terus terhambat.
Selain itu, kebebasan berekspresi di ruang digital pun kerap dibatasi.
Aktivis, jurnalis, atau warga yang menyuarakan kritik di media sosial menghadapi intimidasi, kriminalisasi, dan ancaman, meski secara hukum mereka berhak menyampaikan pendapat.
Maka benar rasanya jika kita bertanya, apakah HAM benar-benar milik semua warga?
Ataukah HAM telah menjadi milik orang tertentu, yakni mereka yang “dipilih” oleh struktur kekuasaan, atau mereka yang cukup berani bersuara?
Jika kita percaya bahwa HAM adalah hak universal, maka sudah seharusnya HAM bukan hanya diperingati dalam kalender, melainkan dijamin dalam kebijakan, ditegakkan dalam hukum, dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga
-
Yakob Sayuri Jadi Sasaran, Rasisme Masih Ada di Sepak Bola
-
Status Bencana Nasional Masih Wacana, Pengungsi Aceh Sudah Terancam
-
Hari Antikorupsi Sedunia: Harapan Terbesar Kini Ada di Anak Muda
-
SEA Games 2025: Indonesia Butuh Win Streak dan Sedikit Keajaiban
-
Gajah di Tengah Puing, Mengingatkan Kita Mereka Pun Kehilangan Rumah
Artikel Terkait
-
Peringati Hari HAM, Pemimpin Adat Papua Laporkan Perusahaan Perusak Lingkungan ke Mabes Polri
-
Ribuan Aparat Gabungan Amankan Aksi Buruh Gebrak di Jakarta Peringati Hari HAM Sedunia
-
Menteri Pigai: Pembangunan Nasional Tak Cuma Ekonomi, Harus Berbasis HAM
-
Sejumlah Ormas Dukung Polda Metro Jaya Usut Rencana Kerusuhan dan Bom Molotov Jelang Hari HAM
-
Alarm Hari HAM: FSGI Catat Lonjakan Tajam Kekerasan di Sekolah Sepanjang 2025
Kolom
-
Cantik Itu Luka: Mengapa Orang Rupawan Juga Bisa Jadi Korban Bullying?
-
Nasib Malang Perempuan Nelayan: Identitas Hukum yang Tak Pernah Diakui
-
Merantau: Jalan Sunyi yang Diam-Diam Menumbuhkan Kita
-
Yakob Sayuri Jadi Sasaran, Rasisme Masih Ada di Sepak Bola
-
Kritik Sosial Drama 'Revenge of Others': Cermin Bullying, Sekolah dan Luka
Terkini
-
Cahaya Senja dan Kisah-Kisah Kehidupan di Pesisir Pantai Tanjung Tinggi
-
Ulasan Buku "Brothers", Kenangan Kecil untuk Mendiang Sang Adik
-
Intip Sinopsis Film Timur yang Gaet Penjual Burger untuk Perankan Prabowo
-
4 Rekomendasi Body Lotion Kolagen, Bikin Kulit Tetap Kenyal dan Glowing!
-
Ulasan Novel Pachinko, Kisah Tiga Generasi Keluarga Korea di Jepang