M. Reza Sulaiman | e. kusuma .n
Ilustrasi Gen Z lembur kerja (Pexels/Andrea Piacquadio)
e. kusuma .n

Fenomena Gen Z yang rela bekerja lembur demi bisa berlibur semakin sering ditemui di dunia kerja modern. Generasi Z memang dikenal memiliki pandangan berbeda tentang karier, uang, dan makna kebahagiaan.

Jika generasi sebelumnya bekerja lembur demi promosi jabatan atau stabilitas jangka panjang, Gen Z justru melihat lembur sebagai “alat tukar” untuk mendapatkan pengalaman hidup, terutama liburan dan healing.

Perubahan Cara Pandang Gen Z terhadap Kerja

Gen Z tumbuh di era digital, media sosial, dan ketidakpastian ekonomi. Mereka menyaksikan secara langsung bagaimana krisis ekonomi, pandemi, dan tekanan hidup memengaruhi generasi sebelumnya. Hal ini membentuk pola pikir bahwa hidup tidak hanya soal bekerja keras, tetapi juga soal menikmati momen.

Bagi Gen Z, kerja lembur tidak selalu menjadi tanda loyalitas mutlak pada perusahaan, melainkan strategi untuk mencapai tujuan pribadi. Lembur berarti tambahan penghasilan yang dapat ditukar dengan tiket pesawat, penginapan, serta konten perjalanan yang bisa dibagikan di media sosial.

Liburan sebagai Prioritas, Bukan Sekadar Hiburan

Berbeda dengan stigma “malas” yang kadang dilekatkan pada mereka, Gen Z justru memandang liburan sebagai kebutuhan mental. Banyak dari mereka percaya bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kestabilan finansial. Liburan dianggap sebagai cara untuk mengisi ulang energi, mengurangi burnout, dan menjaga produktivitas jangka panjang.

Tidak heran jika banyak pekerja Gen Z yang rela mengambil jam kerja tambahan, proyek lepas (freelance), atau lembur berkepanjangan asalkan setelahnya mereka bisa cuti untuk bepergian (traveling).

Pengaruh Media Sosial terhadap Gaya Hidup

Media sosial memainkan peran besar dalam fenomena ini. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube dipenuhi dengan konten traveling, staycation, dan digital nomad. Tanpa disadari, hal ini membentuk standar gaya hidup baru, yaitu bekerja keras lalu berlibur ke tempat yang estetik demi memuaskan kebutuhan mental.

Bagi Gen Z, liburan bukan hanya soal pergi ke suatu tempat, tetapi juga soal pengalaman dan cerita. Foto perjalanan menjadi simbol pencapaian personal. Maka, lembur pun terasa worth it ketika hasilnya bisa dinikmati dan dibagikan.

Tantangan Ekonomi yang Dihadapi

Di balik semangat liburan, ada realitas ekonomi yang tidak mudah. Harga kebutuhan hidup meningkat, sementara gaji awal sering kali tidak sebanding. Untuk mewujudkan impian traveling tanpa mengorbankan kebutuhan pokok, lembur menjadi solusi yang dianggap paling realistis bagi Gen Z.

Fenomena ini juga menunjukkan kemampuan adaptasi mereka. Alih-alih menunggu kenaikan gaji tahunan, mereka memilih cara cepat untuk menambah pemasukan.

Antara Work-Life Balance dan Hustle Culture

Meskipun Gen Z sering disebut menolak hustle culture, kenyataannya tidak sepenuhnya demikian. Mereka tidak anti kerja keras, tetapi lebih selektif terhadap tujuannya. Lembur yang tidak jelas manfaatnya cenderung ditolak.

Namun, lembur yang mendukung tujuan personal justru diterima dan bahkan diupayakan. Hal ini memunculkan definisi baru tentang work-life balance. Bagi Gen Z, keseimbangan bukan berarti jam kerja yang sedikit, tetapi memiliki kendali atas waktu dan hasil dari kerja keras mereka.

Dampak bagi Dunia Kerja

Fenomena ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi perusahaan. Di satu sisi, Gen Z bersedia bekerja ekstra, tetapi di sisi lain, mereka juga menuntut fleksibilitas, cuti, dan apresiasi yang jelas.

Perusahaan yang memahami pola pikir ini cenderung lebih sukses dalam mempertahankan talenta muda.

Fenomena Gen Z yang rela bekerja lembur demi bisa berlibur bukan lagi sekadar tren sesaat. Justru, hal ini menjadi cerminan perubahan nilai dalam dunia kerja. Bagi Gen Z, kerja keras dan menikmati hidup bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi.