Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Nova Bragastiani
Ilustrasi komunikasi yang baik. (Pixabay)

Dalam berbahasa, manusia tidak sembarang menggunakan suatu bahasa, meskipun bersifat arbitrer atau manasuka, yaitu bersifat seenaknya, asal bunyi, dan tidak ada hubungan antara kata-kata sebagai simbol di dalamnya, dengan yang digambarkan secara logis. Maksudnya, siapa pun boleh menciptakan bahasa mereka sendiri. Namun, bahasa juga bersifat konvensional, yaitu diakui oleh para penutur bahasa yang menggunakan bahasa tersebut.

Misalkan saja, pada bahasa Sunda, “gedang” memiliki arti “pepaya”. Sementara dalam bahasa Jawa, “gedang” memiliki arti “pisang”. Kedua kata gedang tersebut tidak salah walaupun memiliki arti yang berbeda, karena sama-sama bersifat arbitrer atau manasuka. Namun di samping itu, bersifat konvensional karena para penutur bahasa daerah masing-masing, Sunda dan Jawa, menyetujui dan mengakui penggunaan bahasa tersebut.

Lalu, karena bahasa memiliki sifat arbitrer dan konvensional, terdapat ujaran penggunaan bahasa yang berbeda oleh setiap penutur, yang mengakibatkan terjadinya kedwibahasaan atau multilingualisme, hingga berujung pada alih kode dan campur kode. Dalam berkomunikasi sehari-hari, kadang kala kita menggunakan bahasa daerah, bahasa slang, ataupun bahasa asing sebab terbatasnya pendefinisian kosakata pada bahasa utama kita.

Terlebih, secara tidak sadar, yang sering terjadi dalam komunikasi sehari-hari adalah mencampurkan unsur bahasa lain ke dalam bahasa utama kita atau bahasa yang sedang kita gunakan (bahasa Indonesia). Kondisi ini disebut sebagai campur kode dan alih kode. Apakah itu?

Alih Kode

Merupakan peralihan dari bahasa satu ke bahasa yang lain, tetapi tidak sebatas peralihan antar bahasa itu sendiri, tetapi juga varian dalam bahasa tersebut (resional, sosial, ragam, gaya, ataupun register). Oleh karenanya, penutur yang menggunakan alih kode dalam bertutur, termasuk ke dalam masyarakat multilingual, karena tidak mungkin penutur alih kode menggunakan satu bahasa mutlak. Alih kode ini pun tak luput dari penggunaan sehari-hari. Dapat dalam bentuk bahasa asing, pun bahasa daerah. Berikut contoh penggunaannya:

A : Iraha balik ka Jakarta maneh?

B : Geus dua poe lalu. Beuh, meuni macet di jalan.

C : Kalian ngomong apa, sih?

A : Kemarin-kemarin si B habis dari Bandung, tahu-tahu udah balik aja ke Jakarta dua hari lalu.

B : Iya, mana macet banget di jalan. Bikin kaki pegal.

Ilustrasi di atas menunjukkan terjadinya alih kode oleh penutur A dan B. Mereka pertama mengobrol menggunakan bahasa Sunda (daerah), kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia ketika penutur C bertanya.

Campur Kode

Campur kode adalah kode utama atau kode dasar yang digunakan tanpa intensi khusus, dan terjadi ketika dua penutur menggunakan dua bahasa yang berbeda dalam satu ujaran, meskipun tidak ada perubahan situasi. Sama dengan alih kode, campur kode juga dapat terjadi dan sering terjadi dalam percakapan sehari-hari. Misalnya:

A : Gimana relationship lo sama dia? How far has it been?

B : Well, speechless, lah. Gak bisa berkata-kata.

Meskipun mirip, tetapi alih kode dan campur kode tidak sama. Alih kode terjadi dan dilakukan dengan alasan tertentu dan untuk mencapai tujuan khusus, tetapi dilakukan dengan sadar dan disengaja karena suatu sebab. Sementara campur kode dilakukan tanpa maksud dan tujuan apa pun, serta terjadi di luar kesadaran penuturnya.

Nova Bragastiani