Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Vivia Lintang
Ilustrasi toxic relationship (Pexels.com/Alex Green)

Romantisisasi. Kalian asing nggak sih sama kata yang satu ini? Jika kamu masih asing dan merasa penasaran sama artinya, coba lihat penjelasan singkat berikut.

Romantisisasi berasal dari kalimat bahasa Inggris yaitu romanticize atau romanticization. Mengutip dari Cambridge Dictionary, romanticize ini memiliki arti to talk about something in a way that makes it sound better than it really is, or to believe that something is better than it really is.

Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, romantisisasi ini dapat diartikan membuat sesuatu agar terlihat lebih baik atau menarik dari yang sebenarnya.

Kita sering tahu kalau romantisisasi ini dapat memiliki kaitan dengan konotasi yang negatif. Zaman sekarang ini banyak hal yang telah diromantisisasi, bahkan ada yang secara tidak sadar mengandung unsur yang satu ini telah dilakukan oleh banyak orang. Di bawah ini ada 4 hal yang kamu perlu tahu kalau persoalan berikut sepatutnya berhenti untuk diromantisisasi.

1. Pernikahan Dini

Akhir-akhir ini jagat lagi sibuk banget sama yang satu ini. Pernikahan dini sekarang jadi tren 'keren' yang selalu diselorohkan banyak orang, kita akan melihat banyak orang-orang yang sukses menjajaki jenjang pernikahan di usia yang terbilang masih cukup 'muda' untuk menikah.

Jejaring sosial yang telah menjadi bagian hidup dari manusia pasti membawa dampak yang besar. Termasuk hal yang satu ini, kita pasti tidak asing dengan banyaknya konten-konten tentang pernikahan di usia dini dengan segala kehidupan manis yang terjalin di dalamnya.

Kita harus tahu, bahwa dua mata tidak berlaku untuk melihat dari kanan saja. Kamu memiliki mata lain untuk melihat dari sudut yang berlainan. Coba, selain kisah manis yang terjalin apa ada hal yang tidak kamu khawatirkan dari hal ini?

Romantisisasi pernikahan dini ini cukup mengerikan, banyak khalayak yang justru terglorifikasi untuk melakukan hal serupa. Ada banyak hal yang harus kamu pertimbangkan sebelum memutuskan untuk menikah di usia yang belum matang.

Di antaranya seperti, mental pasangan, finansial pernikahan, kebebasanmu yang kapan saja bisa hilang, kehamilan usia dini yang rentan, sikap masing-masing yang masih belum dewasa, hingga pertikaian yang kapan saja dapat menyebabkan perceraian.

Dilansir dari laman katadata, BPS mencatat bahwa 3,22% perempuan menikah di bawah usia 15 tahun pada 2020. Sedangkan, hanya 0,34% laki-laki yang menikah di usia tersebut. Lalu, 27,35% perempuan menikah di usia 16-18 tahun. Sedangkan, hanya 6,40% laki-laki yang menikah di kategori usia tersebut. Akibatnya 4,77% perempuan usia 16-19 tahun pernah melahirkan, padahal di usia ini sangat berisiko terhadap kesehatan ibu dan janin.

Romantisisasi pernikahan dini memang bukan hal yang asing untuk dibahas, karena tidak semua orang memiliki latar sama yang dapat menunjang mental dan finansial mereka. Terlepas dari kaitan unsur apa pun itu, hal ini sepatutnya tidak untuk diromantisisasi.

2. Gangguan Mental

Di era sekarang ini masalah gangguan mental telah banyak diperhatikan, isu kesehatan mental bukan lagi jadi hal tabu saat ini. Banyak orang yang telah membuka tangan mereka untuk merangkul sesamanya agar tidak ada tindakan pengucilan dari masyarakat.

Tetapi, konotasi gangguan mental sekarang bukan lagi jadi hal yang semestinya. Ada pergeseran konotasi, isu gangguan mental ini menjadi bagian yang sering dikaitkan dengan sesuatu yang dianggap 'keren'.

Hal ini bisa jadi bermula ketika banyak orang yang menunjukkan kepedulian mereka terhadap masalah kesehatan mental melalui edukasi yang disebarkan. Memang hal ini tidak salah, justru hal ini adalah hal yang baik karena masyarakat semakin mengerti tentang kesehatan mental mereka perlu diperhatikan. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang justru menyalahartikan.

Banyak orang yang justru menyalahartikan hal satu ini sehingga terjadinya self diagnosis. Akibat banyaknya orang yang menyalahartikan pemahaman mereka, banyak yang mengklaim bahwa dirinya mengalami gangguan mental, padahal mereka mengutarakan hal ini tanpa adanya diagnosa profesional dalam bidangnya yang menyatakan.

Semakin maraknya hal ini juga membawa arah perkembangan yang berbeda, banyak yang meromantisisasi gangguan mental menjadi hal yang menarik bahkan jauh dari fakta yang sebenarnya terjadi.

3. Toxic relationship

"Aku pengen punya pacar yang posesif deh, kayaknya enak diperhatiin terus setiap detik."

Sering dengar yang satu ini? Hal ini memang bukan lagi hal asing jika menilik bagaimana para remaja saat ini telah banyak yang menjalin hubungan romansa. Meski hal ini telah menjadi umum, lantas tak dapat diwajarkan jika melewati batas normal.

Toxic relationship jadi isu paling sering dibahas, tindakan abusive pasangan yang tak terelakkan kerap kali menimpa. Fenomena sosok kekasih yang begitu posesif, menghukum kekasihnya ketika melewati aturan yang ditetapkan, bahkan hingga melukai kini justru terdengar semakin banyak diinginkan.

Kita telah melihat dari banyaknya cerita, novel, bahkan film yang mengangkat tema ini. Tapi justru banyak yang menganggap bahwa tindakan arogan ini terlihat begitu keren dan menarik sehingga fenomena romantisisasi toxic relationship ini semakin marak terjadi. Padahal, hal ini tidaklah hal yang baik sehingga begitu diidam-idamkan.

4. Married by Accident (MBA)

Sama seperti nomor 3, dampak media sosial memang besar sekali. Married by Accident atau MBA justru terlihat begitu keren saat ini. Dilihat dari semakin banyaknya cerita romansa yang memberikan unsur manis di akhir meski memiliki awal sepahit mengkudu memang menjadikan salah satu hal yang sering diromantisisasi.

Kisah pelecehan seksual dan pemerkosaan menjadi salah satu topik yang sering diangkat. Jika dalam novel kita akan melihat akhir manis korban yang justru dengan mudahnya jatuh cinta pada pelaku, apa hal seperti ini akan terjadi jika di dunia nyata?

Tidakkah hal ini terlalu kejam untuk diimpikan? Tetapi hal demikian justru semakin marak tentang romantisisasinya, sehingga hal ini terdengar teramat mengkhawatirkan jika ada kasus serupa akibat fenomena romantisisasi ini.

Itu dia 4 hal yang sepatutnya berhenti untuk diromantisisasi, mungkin masih ada banyak yang memang sepatutnya berhenti untuk diromantisisasi. Kita tidak pernah tahu akibat terburuk dengan awal terbaik dari sekian hal yang telah disalahartikan oleh manusia.

Vivia Lintang