Stres adalah nama tengah generasi muda hari ini. Selebihnya, ada yang depresi, cemas, tekanan jiwa, mental, resesi dan lain sebagainya. Tidak heran, buku, tulisan, konten tentang motivasi diri begitu laris untuk anak muda saat ini, selain buku referensi skripsi. Namun, sayangnya mereka selama ini hanya mengkonsumsi dari perspektif psikologi. Nah, melalui tulisan ini saya menawarkan kaca mata berbeda dalam menjaga kewarasan diri ala Durkheimian.
Depresi, stres atau gangguan mental lainnya benar-benar menjadi masalah serius pemuda hari ini. Laporan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) mengatakan, setidaknya 1 dari 20 remaja Indonesia dengan kisaran usia 10-17 tahun dinyatakan menderita gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Angka itu setara dengan 2,45 juta remaja. Bahkan kata Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, 1 dari 10 orang di Indonesia mengalami gangguan jiwa.
Cara mengatasi depresi ini sebenarnya sederhana, yakni pengelolaan diri, namun soal bagaimana caranya itu yang sulit. Kita cukup bosan dengan motivasi-motivasi psikologis, oleh karenanya saya memberikan warna baru dari pintu sosiologis.
Emile Durkheim (1858-1917) adalah bapak sosiologi yang secara tekun memisahkan batas-batas antara psikologi dan sosiologi. Ia pernah mengkaji untuk menjelaskan mengapa orang nekat bunuh diri dari kacamata sosiologis melalui buku terkenalnya dengan judul “Suicide” (1897). Nah, dari kajian itu kita dapat memetik buah segar untuk bagaimana kita mengelolah diri.
1. Jangan sampai kehilangan integritas sosial
Hal pertama yang perlu diperhatikan biar tidak stres adalah jangan pernah sampai kehilangan integritas sosial. Apa maksudnya? Kalau dari sudut Durkheimian, kita itu tidak boleh menjadi diri yang egoistik, suka menyendiri berlebihan, memutus hubungan dengan orang lain, tidak mau menjalin ikatan sosial dengan orang lain dan semacamnya. Intinya itu kita tidak boleh individualistik.
Mengapa kok demikian? Ya, karena bumi terlalu berat untuk dapat digotong satu orang. Kita perlu menjalin hubungan dengan orang lain, saling sharing, tukar pikiran, saling bantu, curhat, dan seterusnya, agar kewarasan kita tetap terjaga. Ingat, manusia adalah makhluk sosial, bukan makhluk individual.
2. Tapi, integritas sosial yang berlebihan juga tidak baik
Namun, kalo kata Durkheim, integrasi sosial yang berlebihan itu juga tidak baik. Dapat membahayakan diri, merusak diri, bahkan menghancurkan diri. Iya emang bersosialisasi itu baik, tapi sewajarnya saja jangan berlebihan. Menjalin ikatan sosial dengan orang lain dengan taraf tertentu, dan jangan sampai ikatan sosial itu justru menjadi tekanan sosial bagi diri, jangan sampai ikatan sosial itu mengontrol secara berlebih atas diri.
Iya, memang curhat itu penting, saling sharing dan memberikan saran. Tapi, jangan sampai tukar pikiran yang kita dapatkan dari orang lain itu justru menjadi kewajiban yang harus banget kita lakukan. Kita bukan robot, yang dikontrol sesukanya. Jadikan berbagai sharing itu sebagai referensi untuk mengelolah kewarasan.
3. Jangan sampai acuh, apalagi menghapus regulasi sosial
Ingat, kita adalah manusia, yang memiliki etika, norma, nilai maupun aturan yang harus diperhatikan. Kita bukan hewan yang asal-asalan, yang penting hidup dan bisa makan. Oleh karenanya, ketiadaan regulasi sosial, atau dalam bahasa Durkheim yakni “anomie” itu adalah sesuatu yang tidak baik. Pasalnya, kita akan kehilangan arah, kehilangan tujuan, kehilangan apa yang hendak kita lakukan kedepan. Walhasil, tanpa regulasi sosial, kita menjadi orang yang sangat berbahaya, bisa merusak segala hal termasuk ke diri sendiri.
4. Tapi, kehadiran regulasi yang bejibun juga bikin stres
Seperti integrasi sosial, regulasi sosial yang banyak banget, hadir dari berbagai lini kehidupan juga tidak sehat bagi kejiwaan kita. Lagi-lagi kita bukanlah sekumpulan algoritma, bukan sekumpulan kode-kode komputer, yang bisa diatur secara berlebihan. Pasalnya, ada kalanya manusia memiliki kehendak untuk bebas mengelolah dirinya. Oleh karenanya, terkadang bersikap bodo amat itu penting untuk dilakukan dalam batas-batas tertentu.
Apa yang sebenarnya hendak dikatakan Durkheim di sini dalam mengelolah diri adalah kita harus seimbang dalam segala hal. Kita harus imbang dalam integrasi sosial, ia tidak boleh hilang tapi juga tidak boleh berlebihan. Begitupun dengan regulasi sosial, bahwa ketidakhadiran regulasi sosial berbahaya, tapi regulasi yang berlebihan juga menjenuhkan. Dengan kata lain, menjaga kewarasan berarti menjaga keseimbangan.
Baca Juga
-
Ranking Sekolah, Segregasi Ruang Kuliah, dan Stigma yang Menyertai
-
7 Salah Kaprah Masyarakat dalam Memahami Karl Marx
-
Demonstrasi: Mementingkan Beberapa Pihak, Merugikan Banyak Pihak
-
Kekerasan Seksual di Pesantren: dari Legitimasi Kuasa dan Moral Budak Santri
-
Meretas atau Diretas: Masa Depan Algoritma di Kehidupan Manusia
Artikel Terkait
-
BAT Indonesia Dukung Inovator Muda Bersaing di Kancah Global
-
Waspada! Stres Jadi Ancaman Para Pekerja
-
Terapi Insomnia Cegah Risiko Depresi Usai Melahirkan, Fakta atau Mitos?
-
Matt Haig Berbagi Harapan dan Wawasan Lewat Buku 'Alasan untuk Tetap Hidup'
-
Mengenal Hiperprolaktinemia, ASI Keluar Meski Belum Hamil Karena Stres
Lifestyle
-
Intip 4 Look OOTD Trendi ala Danielle NewJeans, Ideal untuk Daily Wear!
-
4 Lip Palette Terbaik dengan Pilihan Warna Cantik, Harga Mulai Rp50 Ribuan!
-
Terbaru! 4 Varian Hand Cream dari Lavojoy untuk Mencerahkan dan Melembabkan
-
4 Tips OOTD Rok ala Zara Adhisty yang Girly Abis, Cocok Buat Hangout!
-
4 Gaya OOTD Girly ala Kim Se-jeong, Simpel untuk Disontek!
Terkini
-
Bintang Laga, Milla Jovovich Bergabung dalam Film Protector
-
Film Orphan 3 Resmi Produksi, Kembali Gandeng Isabelle Fuhrman
-
Ulasan Buku TAN: Menelusuri Jejak Kehidupan Tan Malaka Seorang Pejuang
-
Soroti Pernyataan Mendikti, Alumni LPDP Tidak Harus Pulang, Setuju Tidak?
-
3 Film Jepang Dibintangi Yuki Amami, Terbaru Fushigi Dagashiya Zenitendo