Ada sebuah pertanyaan yang mungkin cukup simpel untuk kalian yang kerjaannya suka demo. Sebenarnya demo itu untuk kepentingan siapa, sih? Mereka yang tertindas? Mereka yang didiskriminasi? Rakyat miskin? Buruh? Petani? Atau siapa?
Mereka yang kalian bawa kepentingannya ke jalan raya itu, apa iya benar menjamin kesejahteraan seluruh masyarakat? atau mungkin hanya untuk mensejahterakan mereka yang kalian bela saja? atau mungkin bahkan justru tindakan kalian malah merugikan kesejahteraan orang lain?
Bukannya saya pro pemerintah, pro elit, atau pro-pro yang sejenis lainnya. Hanya saja, saya berusaha objektif melihat aksi demonstrasi yang kerap kali terjadi di lingkungan saya. Dikit-dikit demo, dikit-dikit demo. Sudah seperti nggak ada jalan lain, gitu.
Oke, marilah kita bersepakat sejenak bahwa demonstrasi pasti membawa kepentingan tertentu, apapun bentuk kepentingan itu. Kalau tanpa kepentingan, maka perlu dipertanyakan kewarasan para aktivisnya.
Nah, yang sangat saya sayangkan adalah ketika aksi demonstrasi tersebut malah merugikan masyarakat sekitar, dan itu pasti. Meskipun aksi demo tersebut membawa kepentingan yang sangat genting sekalipun. Jika nggak demo mungkin negara runtuh, atau kiamat akan datang, atau yang lainnya.
Alasan aksi demo yang justru malah merugikan masyarakat sekitar adalah timbulnya kemacetan. Bayangkan saja seberapa banyak orang yang dirugikan jika timbul kemacetan dikarenakan aksi demo yang dilakukan para aktivis.
Seorang pegawai kantor bisa jadi datang terlambat karena macet yang tidak diduga sebelumnya. Lah, apalagi jika keterlambatannya berakibat pemecatan pada dirinya. Malah jadi berabe nanti, keluarganya nggak bisa makan, dong.
Seorang pedagang nasi nggak bisa belanja bahan dagangan dikarenakan jalanan di penuhi aksi demonstran. Waktu dulu yang lagi rame-ramenya demo ruu, seorang pedagang nasi di daerah kos saya menjadi terhalang belanjanya karena jalanan dipenuhi oleh para mahasiswa yang demo. Akhirnya dia terpaksa berdagang seadanya bahan yang tersedia. Mau nggak mau beliau harus mengalah, meskipun itu mengurangi pemasukannya.
Bahkan saya pernah menemui seorang pedagang kaki lima menutup dagangannya dikarenakan adanya aksi demo di daerah pangkalannya. Mereka merasa takut jika terjadi sesuatu dengan dirinya maupun dagangannya ketika aksi demo sedang berlasung. Pasalnya nggak ada yang bisa menjamin sebuah aksi demo berjalan tanpa ada kebrutalan massa, bahkan aparat sekalipun.
Lebih parahnya lagi aksi demonstrasi pasti merusak fasilitas publik, atau setidaknya mengotori lingkungan. Bayangkan saja berapa banyak kerugian yang terjadi ketika fasilitas publik menjadi rusak. Selain kerugian ekonomi, masyarakat sekitar menjadi terganggu karena fasilitas publik tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Apalagi jika kotoran bekas aksi demo berserakan dijalanan, tentunya petugas pembersih jalanan malah terbebani. Meskipun mereka mendapat bayaran atas pekerjaannya. Namun, beliau harus bekerja lebih ekstra lagi karena kotoran hasil aksi demo di jalanan.
Tentunya masih banyak lagi kerugian yang dihasilkan oleh aksi demo yang katanya demi kepentingan yang sangat genting tersebut. Kalau saya ceritakan semua, bisa jadi ini bukan sekadar esai, bahkan bisa menjadi buku yang cukup tebal.
Saya sedikit berfikir bahwa apa bedanya demonstrasi yang hanya mementingkan kepentingan tertentu dan mengabaikan kesejahteraan publik, jika dibandingkan dengan prinsip Thanos yang menghilangkan separuh kehidupan hanya demi keseimbangan kehidupan itu sendiri.
Seolah-olah aksi demonstrasi yang sering terjadi ini nggak jauh berbeda dengan prinsipnya Thanos dalam film Avenger, gitu lo. Intinya mencapai sebuah kebahagian dengan cara mengorbankan kebahagian orang lain. Lah, kan dungu itu namanya.
Seorang aktivis berteriak-teriak di lapangan mengkampanyekan bahwa aksi demonstrasi ini demi kepentingan rakyat. Lah, kepentingan rakyat yang mana? Apakah kalian buta dengan masyarakat sekitar aksi demo yang justru dirugikan karena aksi demo kalian itu sendiri. Atau mungkin memang sengaja berprinsip layaknya perkataan Thanos kepada Gamora, “pengorbanan yang kecil untuk menyelamatkannya.”
Oleh karena itu, marilah kita berfikir ulang apakah demonstrasi ini merupakan jalan yang terbaik? Atau mungkin demonstrasi ini perlu digantikan dengan cara lain yang mungkin lebih terbaik? Atau demonstrasi ini hanya perlu perbaikan ulang onderdilnya agar dapat menjadi sangat lebih terbaik?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Ranking Sekolah, Segregasi Ruang Kuliah, dan Stigma yang Menyertai
-
7 Salah Kaprah Masyarakat dalam Memahami Karl Marx
-
Kekerasan Seksual di Pesantren: dari Legitimasi Kuasa dan Moral Budak Santri
-
Meretas atau Diretas: Masa Depan Algoritma di Kehidupan Manusia
-
Agora: Filsuf Perempuan Penentang Antroposentris itu Bernama Hypatia
Artikel Terkait
-
Nantikan! Ji Seung Hyun dan Jung Hye Sung Siap Menghibur di Film Aksi Komedi Baru
-
Aksi Marselino Ferdinan Disamakan dengan Messi hingga Cristiano Ronaldo saat Lawan Albulayhi: The Real Gangster
-
20 Gerai Pizza Hut Indonesia Tutup, Aksi Boikot Sukses?
-
Potret Aksi Tuntut Penghentian Proyek Energi Fosil di Indonesia
-
Jalan Kaki Tingkatkan Harapan Hidup hingga 11 Tahun, Ini Hasil Penelitian Terbaru
Kolom
-
Seni Menyampaikan Kehangatan yang Sering Diabaikan Lewat Budaya Titip Salam
-
Indonesia ke Piala Dunia: Mimpi Besar yang Layak Diperjuangkan
-
Wapres Minta Sistem Zonasi Dihapuskan, Apa Tanggapan Masyarakat?
-
Ilusi Uang Cepat: Judi Online dan Realitas yang Menghancurkan
-
Dukungan Jokowi dalam Pilkada Jakarta: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Terkini
-
Ulasan Novel Binding 13, Kisah Cinta yang Perlahan Terungkap
-
Shin Tae-yong Panggil Trio Belanda ke AFF Cup 2024, Akankah Klub Pemain Berikan Izin?
-
Sinopsis Film Death Whisperer 2, Aksi Nadech Kugimiya Memburu Roh Jahat
-
Maarten Paes Absen di Piala AFF 2024, Saatnya Cahya Supriadi Unjuk Gigi?
-
Review Film The Twisters 2024: Perburuan Badai yang Mendebarkan