Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Mohammad Maulana Iqbal
Identitas: Perspektif Sosiologis (DocPribadi/Mohammad Maulana Iqbal)

Siapa sangka, pemahaman akan diri, pemahaman tentang identitas yang selama ini hanya diselami oleh disiplin psikologi, justru oleh Steph Lawler disampaikan dengan ciamik melalui perspektif sosiologi.

Melalui bukunya dengan judul "Identity: Sociological Perspectives," ia menyajikan berbagai persoalan identitas yang dilihat dari kacamata sosiologis.

Kita harus bersyukur, pasalnya buku yang awalnya diterbitkan oleh Polity Press pada 2014, kini dapat dinikmati dengan mudah karena telah diterjemahkan oleh seorang dosen sosiologi asal Universitas Trunojoyo, yakni Medhy Aginta Hidayat.

Buku versi Indonesianya ini diterbitkan pada 2021 lalu, oleh penerbit yang berkediaman di Jogja, yakni Cantrik Pustaka.

Di bagian awal buku yang tidak sebesar baliho partai, alias hanya 14 x 20 cm ini, kita diajak secara reflektif atas berbagai pertanyaan identitas. Apa pentingnya memahami identitas? Kenapa identitas amat perlu diperhatikan?

Mengapa identitas menjadi sorotan pada belakangan ini? Serta apa yang sebenarnya dimaksud oleh identitas? Berbagai pertanyaan awal lainnya menjadi sesuatu yang tak terhindarkan pada bab paling depan buku itu.

Bab-bab selanjutnya kita diajak untuk terhanyut dalam sebuah gagasan bahwa identitas kita ternyata dibentuk oleh cerita dan kisah yang kita sampaikan kepada diri sendiri atau orang lain tentang diri kita.

Kemudian tentang identitas kekerabatan yang kita peroleh dari keluarga kita. Hal yang paling penting adalah tentang bagaimana kita mengelolah diri, mengelolah identitas melalui kekuasaan, hasrat kesadaran, dramaturgi dan lain seterusnya.

BACA JUGA: Taman Dedari Ubud, Pesona Indonesia yang Banyak di Kunjungi oleh Para Turis

Selain itu, buku yang ditulis oleh seorang feminis ini juga menyoalkan tentang politik identitas. Ya, ini adalah diskusi krusial tentang identitas, bahkan cukup sering terjadi di Indonesia.

Buku ini tidak sekadar menjelaskan apa itu politik identitas, tapi juga tentang konsekuensinya dalam hidup masyarakat. Salah satunya yakni tentang terciptanya batas-batas konflik identitas antara ‘kami’ dan ‘mereka’.

Di titik paling ekstrem adalah kekuasaan, hak atas sumber daya dan hak atas pengakuan. Siapa yang bernilai dan siapa yang tidak?

Sementara di titik paling klimaks dari buku ini adalah tentang ikatan identitas. Melalui bagian ini, hendak mengatakan bahwa setiap identitas itu bernilai, berharga, tak ada alasan untuk menghapus sebuah identitas seperti homo sacer.

Selain itu, menegaskan pula bahwa identitas kita terjalin dalam sebuah relasional, sebuah ikatan sosial untuk membangun dunia yang lebih baik.

Jujur, bagi saya kajian tentang identitas dalam khasanah sosiologis ini sangat kompleks. Bukunya memang hanya setebal 312 halaman, tetapi isinya seperti ribuan halaman perspektif sosiologis jadi satu di sana. Berbagai teori sosiologi dibumikan untuk menjelaskan bagaimana identitas itu hadir di masyarakat.

Tidak hanya itu, menariknya lagi, Steph Lawler tidak hanya mengejewantahkan teori, konsep, analisis, maupun refleksi, melainkan ia juga tidak jarang menyisipi berbagai pengalaman seseorang, kisah, bahkan sejarah dari berbagai belahan dunia tentang pergelutan identitas.

Seperti kata cak Lontong, pembelajaran terbaik itu bukan hanya dari pengalaman pribadi, tapi juga pengalaman orang lain.

Bagaimana? Tertarik atau pernah membaca buku "Identity: Sociological Perspectives" karya Steph Lawler ini?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Mohammad Maulana Iqbal