Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Mohammad Maulana Iqbal
Pendidikan Agama (Pexels/Ida Rizkha)

Barangkali ingatan kita masih belum hilang mengenai deretan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan agama. Bahkan di awal 2023 lalu, kekerasan seksual di ruang pendidikan agama seolah-olah pecah, terungkap satu persatu di muka publik. Bahkan hingga beberapa waktu lalu masih saja terdapat pemberitaan tentang kekerasan seksual di lingkungan pendidikan agama.

Sedikit saya kilas balik tentang beberapa kasus misalnya Herry Wirawan. Pemimpin Pondok Pesantren Madani Boarding School, Bandung, Jawa Barat itu telah melakukan perbuatan keji pada 13 santriwatinya. Di rentan waktu yang tak jauh berbeda, di Pesantren Shiddiqiyah Jombang, Jawa Timur juga terdapat seorang Gus (anak Kiai) bernama Much Subchi Azal Tzani yang juga melakukan kekerasan seksual kepada lima santriwatinya,  

Begitupun dengan baru-baru ini muncul nama Muh Anwar, yang mengaku sebagai pemimpin Pondok Pesantren Hidayatul Hikmah Alkahfi, Semarang, Jawa Tengah, yang diduga melakukan pemerkosaan terhadap enam santriwatinya.

Miris nampaknya ketika melihat beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi ini, apalagi kekerasan seksual tersebut ternaungi oleh lembaga pendidikan berbasis agama. Seolah-olah tragedi-tragedi ini menggiring opini publik bahwa bagaimana peran agama dalam kekerasan seksual tersebut? 

Saya sendiri lebih tertarik untuk mengulas dan mencoba untuk mengejewantahkan terkait kekerasan seksual yang terjadi di ruang-ruang pendidikan agama, dibandingkan dengan kekerasan seksual yang terjadi di ruang pendidikan lain seperti kampus. Pasalnya, kekerasan seksual di ruang pendidikan agama itu lebih ekstrem jika dibandingkan kekerasan seksual di kampus. Bahkan di ruang pendidikan agama kekerasan seksualnya sampai pada tindakan seksualitas hubungan intim hingga melahirkan anak.

BACA JUGA: Tuntutan dan Ekspektasi: Apa yang Kini Dirasakan oleh Para Fresh Graduate

Legitimasi dan Kuasa Agama

Mungkin banyak orang akan menganggap bahwa kekerasan seksual tidak diajarkan agama, kekerasan seksual dilarang oleh agama, bahkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh tokoh agama hanyalah oknum belaka, yang sangat melenceng dari kode etik agama.

Saya sendiri tidak ingin menanggapi berbagai komentar itu, pasalnya itu merupakan ranah seorang teolog, ranah seorang religius yang berkutat seputar baik buruk, larangan atau ganjaran yang berada dalam berbagai dalil agama, dan saya sendiri tidak ada kapasitas di sana.

Namun, saya ingin menyampaikan sebuah realitas secara empiris, apa adanya, realitas sosial yang sebagaimana yang terjadi dan terlepas dengan berbagai nilai-nilai yang berlaku bahwa kekerasan seksual dalam konteks ini dinaungi oleh payung pendidikan agama. Agama dalam konteks ini menjadi jubah untuk eksisnya kekerasan seksual dalam ruang-ruang pendidikannya.

Bahkan lebih ekstremnya lagi bahwa agama menjadi institusi sosial untuk legalisasi tindakan kekerasan seksual, misalnya pemberian janji untuk menikahi korban kekerasan seksual. Seolah-olah perbuatan bejat dapat dijungkirbalikkan sebagai perbuatan baik dengan cara pernikahan yang penuh dengan sarat religius.

Jika ditelisik lebih mendalam, memang bahwa dalam negara kita ini, eksistensi agama adalah segalanya, sebagai konsekuensi sila pertama Pancasila yang berbunyi ‘ketuhanan yang maha esa’. Dalam urusan politik, maka ada partai berbasis agama, dalam urusan pendidikan ada lembaga pendidikan agama, dalam urusan ikatan hubungan percintaan ada pernikahan yang diatur oleh agama. Agama adalah segalanya, tiada aspek kehidupan tanpa agama.

Kalau bagi seorang sosiolog kelahiran Wina, Austria yakni Peter L. Berger dalam bukunya The Social Construction of Reality bahwa agama menduduki legitimasi realitas sosial dengan tingkat tertinggi, yang ia sebut sebagai universum simbolik. Legitimasi tertinggi ini menjadi legitimasi realitas sosial yang sangat sulit untuk dibantah maupun dirongrong eksistensinya, terutama dalam konteks masyarakat religius seperti Indonesia ini.

Sehingga konsensus ini pada akhirnya tidak hanya merambah pada ranah-ranah realitas sosial yang bersifat positif saja, melainkan juga merambah keranah-ranah kriminal, seperti kekerasan seksual yang berjubah agama, pembunuhan brutal seperti terorisme berjubah agama, dan lain sebagainya. Pasalnya, agama adalah legitimasi yang tertinggi dalam kuasa dan absoluditasnya perihal berbagai realitas sosial yang terjadi.

BACA JUGA: Belenggu Budaya Money Politic, Praktik Menyebalkan dalam Lingkup Masyarakat

Moral Budak

Sebenarnya moral budak tidak hanya berlaku dalam konteks lembaga pendidikan agama sebagaimana fokus dalam tulisan ini, melainkan moral budak juga justru berlangsung dalam berbagai tatanan kehidupan sehari-hari kita, antara tuan dan budaknya. Misalnya, seorang anak yang harus selalu nurut kepada orangtuanya, meskipun orangtuanya bertindak buruk bahkan merusak mentalnya, begitupun juga dengan seorang murid yang selalu harus patuh kepada gurunya, meskipun ia harus dipukul dan dihajar berkali-kali oleh gurunya.

Inilah yang saya maksud moral budak, di mana kita dituntut untuk tunduk dan patuh dalam kondisi apapun, meskipun itu menyengsarakan kita. Kalau kata Nietzsche dalam bukunya Beyond Good and Evil dan juga dalam The Genealogy of Morals, tindakan semacam ini merupakan moral kawanan. Kita ibarat segerombolan domba yang harus nurut dengan gonggongan seekor anjing yang menggiring kita dalam sebuah penyembelihan massal.

Begitupun dengan kasus kekerasan seksual dalam ruang pendidikan agama, yang mana santriwati memiliki moral budak yang hanya selalu nurut apa kata tuannya, yakni mereka yang berstatus seorang ustadz, seorang gus, bahkan seorang kiai. Suara-suara tuan adalah suara kebaikan menurut para budaknya, meskipun itu sebenarnya adalah suara kematian.

Ini tentu saja merupakan problem bersama, khususnya masyarakat kita yang terlalu mengagungkan moral budak ini. Pasalnya, hal ini membuat kita buta dengan mana yang kebajikan dan mana yang kekejian. Kita terlalu menyanjung dan melestarikan unggah-ungguh (sebuah etika masyarakat Jawa yang harus, sopan, santun, tunduk dan patuh pada sosok yang lebih tua), kita terlalu melestarikan etika sopan santun, kita terlalu patuh kepada siapa pun yang kita anggap lebih tinggi statusnya dengan diri kita, hingga kita lupa bahwa sosok yang kita patuhi itu seorang manusia yang juga tempatnya salah dan dosa.

Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya mengajak para pembaca untuk tidak buta pada realita yang terjadi. Tidak selalu kita harus menyanjung sesuatu yang berbalut agama, tidak selalu kita harus tunduk dan patuh pada mereka yang berada di atas kita, tidak selalu kita harus menerima apapun yang terjadi tanpa kalkulasi, melainkan kita harus cerdas dan bijak untuk memilah dan memilih secara teliti pada segala situasi maupun konsensus moral yang harus dijalani.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Mohammad Maulana Iqbal