Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Mohammad Maulana Iqbal
Ruang kuliah (Pexels/Pixabay)

Awal masuk kuliah S1 dulu, saya masih sangat baru mengetahui bagaimana sistem pendidikan di jenjang itu yang menurut saya sangat bagus dan sangat emansipatoris. Salah satunya yakni tiadanya sistem perankingan pada mahasiswa, beda dengan ketika duduk di bangku sekolah yang justru kehadiran rankingnya menciptakan gap antara yang disebut bodoh dan yang disebut pintar.

Kalau boleh jujur, di sekolah dengan satu kelas berisi tiga puluhan anak, saya pernah mendapatkan kesempatan istimewa memperoleh ranking lima, tapi dari bawah, lengkap dengan absen jika ditotal hampir tiga minggu dalam satu semester. Merupakan sebuah kebanggaan bagi diri sendiri karena sekolah begitu menyenangkan saat itu, keluar masuk warung kopi di jam pelajaran.

Stigma pada ranking rendah

Sejak saya mendapatkan ranking semacam itu, mereka yang memiliki ranking di puncak langit melihat saya berbeda, seolah-olah ada narasi dalam pikirannya, “kamu bisa apa?”. Muncul sebuah stigma pada mereka yang berada di ranking bawah. Seperti ketika saya dimasukkan ke suatu tugas kelompok, kehadiran saya seolah antara ada dan tiada, namanya ada tapi kontribusinya tidak begitu dianggap.

Apa yang saya alami ini barangkali masih belum begitu ekstrem jika dibandingkan trio komplotan teman saya yang juara bertahan di ranking satu, dua dan tiga dari bawah. Mereka ini tidak hanya dianggap rendah oleh mereka yang memiliki ranking di atas langit, tapi mereka juga nggak pernah diajak atau masuk dalam suatu tugas kelompok. Bahkan ngobrol di kelas saja, mereka sangat jarang diajak. Mentok paling bicara sama saya dan beberapa teman saya yang senasib dengan saya.

Sistem perankingan benar-benar tidak hanya menciptakan gap antara si pintar dan si bodoh, tapi juga menciptakan stigma dan diskriminasi pada mereka yang berada di ranking terendah di kelasnya. Jika mereka direndahkan, dikucilkan, bahkan tidak pernah diajak belajar bersama, lantas bagaimana sistem pendidikan dapat berlangsung dengan baik?

Oleh karenanya, ketika pertama kali tau sistem pendidikan di kuliah tanpa ranking itu, saya sedikit merasa lega, karena pikir saya bakal nggak ada lagi gap maupun perendahan bagi mereka yang nggak pinter-pinter banget. Apalagi di waktu kuliah itu nggak ada pengambilan raport, nggak ada pengumuman IPK tertinggi siapa, IPK terendah siapa. Jadi, benar-benar nilai di jenjang kuliah adalah sesuatu yang dikonsumsi sendiri, untuk evaluasi diri, untuk menjadi diri yang lebih baik.

Dari perankingan ke pembagian kelas

Namun, kelegaan saya itu tak berlangsung lama, ketika semester dua setelah saya mengetahui bahwa ternyata saya satu kelas didominasi oleh mereka yang masuk di jalur mandiri. Berbeda dengan kelas A yang didominasi oleh mereka yang masuk kuliah jalur nilai raport. Dan kelas B yang didominasi oleh mereka yang masuk kuliah di jalur tes nasional.

Pembagian kelas ini menjelaskan semua yang saya alami ketika kuliah S1 tentang mengapa kok anak-anak kelas A itu jarang banget nongkrong dengan anak kelas C, mentok paling anak kelas B doang yang mau nongkrong dengan anak kelas C. Pembagian kelas ini juga menjelaskan mengapa saya kok hanya memiliki teman akrab segelintir orang yang dari kelas A, berbeda dengan kelas B yang hampir separuhnya itu akrab dengan saya.

Kesenjangan dan stigma di bangku kuliah

Sisi gelap perankingan di jenjang sekolah ternyata berenkarnasi dalam wujud yang berbeda, yakni dalam bentuk pembagian kelas sesuai dengan jalur masuk kuliah. Ada sebuah kontruksi sosial dan stigma yang sangat mencengangkan, yang tak jauh berbeda dengan sistem perankingan.

Bahwa mereka yang masuk kuliah jalur raport atau prestasi akademik (saat itu namanya masih SNMPTN, kalau sekarang SNBP), itu dianggap sebagai golongan yang puinter banget. Mereka yang masuk kuliah jalur tes nasional (di zaman saya namanya SBMPTN, atau SNBT kalau sekarang) itu ada kontruksi bahwa mereka yang tergolong tengah-tengah, nggak pinter-pinter amat, tapi ya nggak bodoh-bodoh amat. Nah, yang terakhir, jalur yang saya tempuh yakni jalur mandiri, disebut sebagai jalur kumpulannya orang-orang yang nggak pinter, alias goblok.

Segregasi itu sangat ketara, menciptakan batas-batas sosial, tidak hanya ketika nongkrong dan lingkar pergaulan, tapi juga dari tugas kelompok juga layaknya yang saya alami di jenjang sekolah. Jadi di suatu saat, di mata kuliah sosiologi pedesaan, itu sempat berlangsung kelas besar penggabungan antara kelas A, B dan C yang totalnya seratus lebih mahasiswa. Saat itu, dosen meminta untuk membuat kelompok bebas milih yang penting lintas ruang kelas, untuk melakukan sebuah penelitian di sebuah desa daerah pesisir.

Saya kira inisiatif dosen saya ini sangat bagus, membebaskan tapi juga meminimalisir kesenjangan. Namun, sayangnya dalam eksekusinya, banyak kelompok yang isinya nggak merata. Kelompok saya misalnya, didominasi oleh kelas C, dan hanya dua anak yang berasal dari kelas A.

Begitupun yang terjadi dengan kelompok lain yang memperlihatkan mayoritas dan minoritas. Saat itu saya bingung nyari teman kelompok dari kelas A, pasalnya mereka sudah membentuk kelompok-kelompok sendiri dan pilih kasih dengan lintas kelas. Akhirnya saya apa adanya siapa yang mau aja untuk masuk ke kelompok saya.

Seolah-olah dalam penentuan kelompok itu ada narasi bahwa “saya pinter, sori yeee, gengsi masuk kelompokmu.” Padahal, ketika presentasi akhir, kelompok saya yang didominasi anak kelas C itu, menjadi kelompok terbaik seangkatan dalam melakukan penelitian.

Saya bukannya sombong, saya hanya menunjukkan bahwa pembagian kelas itu tidak membenarkan stigma maupun prasangka buruk, dianggap bodoh, pada kami yang masuk kuliah jalur mandiri. Bahkan dalam angkatan saya, yang lulus cepat dan menjadi wisudawan terbaik itu berasal dari kelas saya, kelas C, kelasnya anak-anak jalur mandiri.

Prasangka kelas sosial jalur mandiri

Dan, satu hal lain yang membuat jengkel tentang stigma pada anak jalur mandiri adalah kami dianggap dari kelas ekonomi menengah atas, yang kaya raya, yang masuk kuliah bukan jalur kecerdasan, tapi jalur duit, gede-gedean uang pangkal. Seolah-olah di jalur mandiri itu yang dipertimbangkan menerima mahasiswa adalah berapa yang dibayar di uang pangkal, bukan soal seberapa baik ia mengerjakan tes ujian.

Mohon maaf ya sebelumnya, saya adalah jalur mandiri yang nol biaya gedung, alias sama sekali nggak bayar uang pangkal, hanya UKT sebagaimana anak jalur tes nasional. Saya adalah anak petani biasa, yang ingin kuliah. Saya tidak bisa mengurus beasiswa bidikmisi karena saya terhalang administrasi, dan saat itu orang tua sedang merantau. Namun, alhamdulillah, saya mendapatkan beasiswa PPA ketika kuliah.

Jadi, plis, jangan pernah memberikan prasangka yang enggak-enggak tentang anak jalur mandiri, entah itu yang bodohlah, yang dianggap kaya raya lah. Prasangka ini dapat diminimalisir, dengan menghapus pembagian kelas berdasarkan jalur masuk kuliah. Pasalnya, kebijakan itu awal dari semua segregasi yang muncul di antara mahasiswa.

Mohammad Maulana Iqbal