Perseteruan, pertikaian, perkelahian atau apapun itu sejenis bermula dari hal yang paling mendasar adalah prasangka sosial.
Seseorang tidak akan menghantam orang lain kalau tidak diawali oleh prasangka, kecuali kalau ia adalah orang gila yang tiba-tiba baku hantang sesuka hati.
Namun, apa yang hendak saya katakan adalah, segala kekacauan interaksi kita dengan orang lain itu semua bermula dari prasangka.
Ya, memang, prasangka sosial itu ada yang baik dan ada juga yang buruk. Namun, selaku manusia yang biasa-biasa aja, bukan spek yang baik-baik amat, prasangka sosial lebih cenderung bersifat buruk.
Nah, oleh seorang sosiolog beraliran interaksionisme simbolik, yakni Herbert Blumer pernah menerangkan bahwa ternyata prasangka sosial itu erat kaitannya, atau dilatarbelakangi oleh perasaan tertentu yang dimiliki seseorang.
Melalui sebuah makalah ringkasnya yang berjudul “Race Prejudice as a Sense of Group Position”, ia menerangkan bahwa prasangka itu sebagai wujud defensif pada orang lain.
Dengan kata lain, ketika kita memiliki prasangka sosial kepada orang lain, kita memiliki keangkuhan atas apa yang ada dalam diri orang lain.
Selain itu, secara lebih detail, Blumer menerangkan pada makalahnya yang diterbitkan di The Pacific Sociological Review pada 1958 terkait perasaan-perasaan tertentu yang memicu prasangka sosial kepada orang lain. Beberapa perasaan yang perlu dihindari itu sebagai berikut!
1. Perasaan Superioritas
Perasaan bahwa diri lebih dominan dengan kelompok lain adalah cikal bakal tumbuhnya prasangka sosial terhadap orang lain.
Sebuah perasaan yang menganggap diri sendiri lebih tinggi, lebih berkuasa, dan lebih-lebih lainnya dibandingkan orang lain. Mengapa kok ini berbahaya?
Sebab, perasaan semacam ini dapat menganggap diri berhak untuk menindas yang di bawah, merasa berhak untuk berprasangka kepada yang di bahwah, karena rasa dominasinya ia merasa bahwa yang di bawah pantas untuk dipandang buruk.
2. Perasaan tentang Kelompok Subordinat sebagai Berbeda dan Asing
Jauh lebih dari perasaan superioritas, bahwa merasa kelompok yang subordinat, yang berada di bawah, itu sebagai kelompok yang berbeda dan asing.
Akibatnya adalah terciptanya batas-batas sosial antara yang merasa di atas dan yang dianggap di bawah. Bahkan bisa sangat mungkin mereka-mereka yang dianggap di bawah tidak hanya disebut berbeda dan asing, melainkan juga disebut aneh, menjijikan dan lain sebagainya.
BACA JUGA: Gen Z dan Perang Melawan Hoax, Ini Hal-hal Penting yang Harus Kamu Waspadai
3. Perasaan Memiliki Hak Istimewa atas Hal-hal Tertentu
Seperti yang saya katakan sebelumnya, bahwa ketika kita merasa superioritas, kita juga akan merasa memiliki hak-hak istiwa, keuntungan-keuntungan tertentu yang sebenarnya itu tidak dimiliki, melainkan hanya sebatas klaim belaka.
Misalnya nih, seorang pemimpin daerah jika ia merasa superior, merasa memiliki hak-hak istimewa tanpa memiliki kerendahan, ia sangat mungkin berprasangka buruk pada mereka yang berdemo di luar gedungnya, berprasangka buruk pada masyarakat pinggiran.
Bukan hanya secara struktural, dengan teman sebaya sekalipun jika kita merasa berkuasa, kita bisa saja berprasangka buruk dengan orang yang kita anggap rendahan, berbeda, asing bahkan menjijikan.
4. Rasa Takut dan Curiga bahwa Kelompok Subordinat Memiliki Niat Buruk
Terakhir, ketika kita sudah merasa superior, sudah menggap rendah mereka yang subordinat, merasa memiliki hak istimewa, kesemua itu semakin lengkap dengan munculnya rasa takut, rasa curiga kepada kelompok subordinat tentang hak prerogatif mereka pada kelompok dominan.
Sederhanyanya begini, masyarakat kita masih memiliki prasangka sosial yang buruk kepada perempuan bercadar. Mereka adalah kelompok yang dianggap subordinat, dan lain seterusnya. Nah, kenapa masyarakat berprasangka buruk seperti ini?
Ya, karena masyarakat kita memiliki rasa takut dan curiga kepada perempuan cadar jika memiliki ideologi radikal, kekerasan, dan lain sebagainya.
Keempat prasangka ini wajib banget untuk dihindari oleh kita semua, khususnya ketika kita berinteraksi dengan lain, apalagi di tengah masyarakat kita yang bertipe multikultural. Rasa saling percaya, rasa rendah hati, rasa saling gotong royong adalah kunci agar kita tidak berprasangka buruk kepada orang lain. Pasalnya, prasangka sosial bukanlah sebuah kenyataan, ia hanya keyakinan yang tak bisa dibenarkan begitu saja.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ranking Sekolah, Segregasi Ruang Kuliah, dan Stigma yang Menyertai
-
7 Salah Kaprah Masyarakat dalam Memahami Karl Marx
-
Demonstrasi: Mementingkan Beberapa Pihak, Merugikan Banyak Pihak
-
Kekerasan Seksual di Pesantren: dari Legitimasi Kuasa dan Moral Budak Santri
-
Meretas atau Diretas: Masa Depan Algoritma di Kehidupan Manusia
Artikel Terkait
-
Filosofi Tongkrongan: Saring Pikiran Biar Gak Jadi Ujaran Kebencian
-
Tuntut Penyelesaian Konflik Tambang Muara Kate, Kantor Gubernur Kaltim Digeruduk
-
Review Film Pinjam 100 The Movie: Perjuangan, Tawa, dan Salam dari Binjai
-
Mensos Gus Ipul Tinjau Lokasi Sekolah Rakyat di Mojokerto, Siap Tampung Siswa SMP
-
Scroll Tanpa Tujuan: Apakah Kita Sedang Menjadi Generasi Tanpa Fokus?
Lifestyle
-
Biar Makin Fresh di Weekend, Sontek 4 Outfit Lucu ala Kim Hye Yoon!
-
Anti Ribet, Ini 4 Ide Outfit Harian Cozy ala Siyoon Billlie yang Bisa Kamu Tiru
-
4 Gaya Kasual Kekinian ala Choi Jungeun izna yang Menarik untuk Disontek
-
Anak Hukum tapi Stylish? 5 Look Simpel tapi Classy ala Ryu Hye Young
-
4 Look Girly Simpel ala Punpun Sutatta, Cocok Buat Hangout Bareng Bestie
Terkini
-
Jin BTS Siap Temui ARMY Lewat Tur Solo Perdana RUNSEOKJIN_EP.TOUR
-
Couple Favorit Hospital Playlist Ini Dikabarkan Tampil di Resident Playbook
-
Lucunya Hantu Pemula Berjuang Takuti Manusia di Film Dead Talents Society
-
Review Film Without Arrows: Dokumenter yang Diam-Diam Menancap di Hati
-
Pilih Tekuni Musik Trot, Sungmin Super Junior Tinggalkan SM Entertainment