Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ilustrasi kerja di luar negeri (freepik.com)

In this economy yang masih seret-seretnya, Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, melontarkan saran yang cukup bikin geleng-geleng kepala.

Dalam sebuah acara di Semarang, ia mengatakan angka pengangguran di Jawa Tengah nyaris sejuta, di tingkat nasional bahkan tembus 70 juta.

Tak hanya itu, ia bahkan menyarankan agar masyarakat, terutama mahasiswa yang tak kunjung dapat pekerjaan, mulai mempertimbangkan opsi bekerja ke luar negeri. Bukan sekadar alternatif, lho, tapi "pilihan paling utama," katanya.

Analoginya gini, rumah kita bocor, tapi alih-alih memperbaiki atap, malah disuruh pindah ke tetangga sebelah.

Pernyataan Menteri Karding ini seketika langsung bikin netizen riuh . Bukan karena terinspirasi, tapi lebih ke... bingung harus ketawa atau menangis.

Banyak netizen yang nyinyir soal janji kampanye 19 juta lapangan kerja yang katanya jadi program andalan Prabowo-Gibran.

Saat kampanye, janji-janji manis digaungkan, jutaan lapangan kerja baru, industrialisasi besar-besaran, hilirisasi, hingga program makan siang gratis yang membuka peluang di sektor pangan. Tapi baru beberapa bulan berjalan, masyarakat malah diminta angkat kaki.

Apakah ini pertanda bahwa negara sudah kehabisan akal untuk menciptakan lapangan kerja di dalam negeri? Atau memang sejak awal, program-program besar itu hanya jadi headline yang mempercantik berita tanpa benar-benar direalisasi?

Jangan salah, bekerja di luar negeri memang tidak selamanya buruk. Banyak pekerja migran kita yang sukses kembali ke tanah air, membawa pulang ilmu, pengalaman, hingga modal. Tapi menjadikannya "pilihan paling utama" sebagai solusi pengangguran massal, itu seperti menyerah sebelum bertarung.

Masalahnya bukan pada “bekerja di luar negeri”-nya, tapi apakah ini benar-benar solusi untuk angka pengangguran yang mengkhawatirkan? Apakah benar menjadi TKI atau TKW adalah satu-satunya pintu yang terbuka bagi anak muda hari ini? Atau ini hanya upaya pemerintah "buang sampah" keluar negeri, agar statistik pengangguran terlihat indah dipandang?

Mereka yang akhirnya berangkat ke luar negeri pun tak sepenuhnya bisa bernapas lega. Ada biaya penempatan, risiko penipuan, adaptasi budaya, hingga ancaman eksploitasi. Belum lagi, mereka tetap dikenakan pajak. Bahkan ada yang potongannya mencapai 10–20% dari gaji mereka.

Para "pahlawan devisa" ini, selain berkorban jauh dari keluarga, juga masih dimintai "iuran" untuk negara yang, ironisnya, mendorong mereka keluar negeri karena tak sanggup menyediakan lapangan kerja.

Pernyataan seperti ini bukan kali pertama muncul. Kita masih ingat bagaimana saat harga cabai naik, rakyat disarankan menanam sendiri. Saat harga ayam melonjak, kita diajak beternak di rumah. Dan sekarang, saat lapangan kerja sulit, kita malah diminta kerja ke luar negeri.

Semua ini memberi kesan bahwa ketika ada masalah, kok ya ujung-ujungnya rakyat yang disuruh putar otak, cari cara sendiri, bahkan sampai ke luar negeri. Negara ini, dengan segala perangkat dan kebijakannya, dibayar untuk apa? Bukankah sudah menjadi tugasnya untuk mencari solusi?

Kalau cuma menyuruh ke luar negeri, sepertinya tidak perlu jadi menteri pun, orang juga bisa berpikir begitu.

Kita tentu tidak bisa mengelak bahwa anak muda Indonesia bisa bersaing di luar negeri. Tapi itu seharusnya menjadi opsi kedua dan ketiga, bukan pilihan utama akibat kurangnya lapangan kerja.

Kalau pekerjaan dalam negeri tidak tersedia, itu bukan salah rakyat. Itu pertanda bahwa sistem ekonomi, pendidikan, dan industri kita tidak terintegrasi dengan baik. Dan sudah menjadi tanggung jawab negara untuk memperbaikinya, bukan rakyat yang nekat merantau karena kepepet.

Jadi, Pak Menteri, mungkin lain kali, alih-alih menyarankan "segera berpikir ke luar negeri," cobalah untuk "segera berpikir bagaimana menciptakan lebih banyak lapangan kerja di dalam negeri."

Fauzah Hs