Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Bahlil dalam peresmian Groundbreaking Ekosistem Industri Baterai Listrik (Instagram/@bahlillahadalia)

Baru-baru ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, kembali memantik perhatian publik. Dalam peresmian proyek baterai kendaraan listrik, ia menyampaikan bahwa proyek ini akan membuka 35 ribu lapangan kerja tidak langsung.

Di tengah hiruk-pikuk masalah pengangguran, ekonomi yang belum stabil, dan ancaman PHK yang tak ada hentinya, angka sebesar itu tentu seperti memberi harapan pada publik.

Tapi angka besar dalam dunia politik dan proyek negara sering kali bukan jaminan kualitas. Karena di balik angka itu, bisa jadi tersembunyi realita yang tidak sesederhana seperti yang terlihat.

Dalam pernyataan yang beredar, sayangnya tidak dijelaskan lebih lanjut rincian jenis pekerjaan apa saja yang termasuk dalam 35 ribu itu. Apakah mereka tenaga kerja teknis di pabrik? Supir truk logistik? Cleaning service di kawasan industri? Atau pedagang makanan yang mangkal di depan pabrik?

Jika “lapangan kerja tidak langsung” yang dimaksud itu mencakup seluruh kegiatan ekonomi yang terjadi di sekitar proyek, termasuk tukang gorengan, tukang cukur, bahkan jasa penitipan anak bagi pekerja, maka angka 35 ribu itu tidaklah spesial.

Dalam teori ekonomi, ada yang disebut multiplier effect, yaitu ketika satu proyek besar bisa menciptakan aktivitas ekonomi di sekitarnya. Hampir semua proyek besar pasti menciptakan efek yang sama.

Bangun bandara, akan muncul warung makan. Bangun jalan tol, akan muncul tukang tambal ban. Tapi apakah ini yang dimaksud sebagai lapangan kerja dari proyek baterai masa depan?

Dan menyebut aktivitas ekonomi tidak langsung itu sebagai “lapangan kerja baru” sering kali menjadi cara instan untuk mempercantik data dan memperindah pidato politik. Seolah-olah negara sedang membuka banyak lapangan kerja, padahal yang dimaksud hanya dampak pinggiran dari investasi yang seharusnya lebih dari itu.

Proyek baterai kendaraan listrik ini disebut-sebut sebagai game changer untuk ekonomi Indonesia. Kita punya cadangan nikel yang besar, tinggal diolah, dijadikan baterai, lalu dunia akan berbondong-bondong beli dari kita. Kita ingin naik tingkat, dari penjual bahan mentah menjadi produsen barang jadi. Tapi apakah transformasi ini benar-benar semudah itu?

Kenyataannya, untuk membuat baterai kendaraan listrik, kita butuh bukan hanya smelter, tapi juga teknologi tinggi, riset mendalam, dan SDM terampil. Dan apakah Indonesia sudah punya cukup tenaga kerja dengan keahlian yang cocok?

Sementara lulusan politeknik dan vokasi kita saja masih kesulitan mendapat tempat kerja yang sesuai. Banyak perusahaan justru lebih memilih membawa tenaga kerja asing karena dianggap lebih siap dari segi keterampilan dan etos kerja.

Jangan sampai kita jadi tuan rumah di proyek sendiri, tapi cuma kebagian pekerjaan kasar, sementara posisi-posisi strategis diisi oleh tenaga asing yang dibawa masuk oleh investor. Lalu nanti, kita diberi angka "35 ribu lapangan kerja," padahal sebagian besar adalah pekerjaan jangka pendek dengan upah minimum.

Pemerintah tentu boleh saja membangun harapan. Tapi harapan itu harus dibarengi dengan transparansi dan akuntabilitas. Jangan hanya lempar angka lalu berharap publik senang.

Karena jika tidak, kita hanya akan mengulangi siklus yang sama, proyek besar digembar-gemborkan, spanduk peresmian dibentangkan… lalu beberapa tahun kemudian, yang tersisa hanyalah lahan yang tercemar, pabrik kosong, dan rakyat yang kembali berdesakan di job fair.

Jadi, apakah 35 ribu lapangan kerja itu akan benar-benar ada? Mungkin. Tapi pertanyaannya, apakah itu lapangan kerja yang layak, jangka panjang, dan membangun masa depan?

Mari kita tunggu saja.

Fauzah Hs