Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Polri memperkenalkan robot dalam rangka Hari Bhayangkara ke-79 (Div Humas Polri)

Kalau kamu buka media sosial belakangan ini, mungkin pernah melihat video parade “robot polisi” yang rencananya akan diperkenalkan menjelang Hari Bhayangkara ke-79. Ini nyata, bukan hasil video buatan AI, Polri memamerkan 25 robot yang katanya menjadi bagian dari transformasi menuju kepolisian modern.

Dari 25 robot itu ada yang bentuknya mirip manusia atau humanoid, ada juga yang meniru anjing (robot K9).

Menurut Inspektur Pengawasan Umum Polri Komjen Pol Dedi Prasetyo, robot-robot ini akan difungsikan untuk penjinakan bom, pencarian korban bencana, patroli cerdas, hingga analisis forensik. Semuanya dikendalikan dengan remote control.

Ya, remote. Seperti mobil-mobilan yang kamu mainkan waktu kecil.

Kita patut apresiasi upaya Polri untuk mengintegrasikan teknologi dalam menjalankan tugasnya. Namun, publik tampaknya belum bisa menerima gebrakan baru dari Polri ini. Di media sosial, ramai warganet yang justru mengkritik dengan sinis.

Banyak pula yang mempertanyakan, apakah robot-robot ini benar-benar akan menjalankan misi kemanusiaan, atau justru hanya berakhir jadi pajangan pameran?

Mari kita bahas pelan-pelan.

Dari video yang beredar, robot-robot ini memang terlihat futuristik. Tapi begitu tahu cara kerjanya masih manual pakai remote, ekspektasi publik langsung turun drastis.

Gagasan robot penjinak bom atau robot penyelamat bencana memang terdengar menjanjikan. Itu masuk akal karena memang berisiko tinggi untuk manusia. Tapi kalau robot patroli yang dikendalikan dengan remote?

Hmm… kita jadi bertanya-tanya, ini robot benar-benar efektif, atau cuma agar terlihat canggih? Soalnya, di negeri +62 ini, kadang hal yang bersinar terang di layar justru terlihat abu-abu dalam kenyataan.

Di sisi lain, inovasi teknologi semacam ini membutuhkan biaya yang tak sedikit. Tapi sayangnya, tidak disebutkan secara jelas berapa biaya yang dikeluarkan untuk proyek robotik ini. Yang jelas, uangnya pasti bukan dari hasil patungan pejabat, melainkan dari pajak kita semua.

Namun, jika ternyata robot-robot ini tidak memberikan dampak positif terhadap pelayanan atau keselamatan publik, maka kritik “buang-buang anggaran” akan sulit dibantah.

Ironinya, kemunculan robot-robot ini dinilai jomplang mengingat fakta bahwa Polri saja masih belum menyelesaikan persoalan dasar dalam menjalankan tugasnya.

Fasilitas kantor polisi yang masih minim, sistem administrasi masih manual, hingga laporan kehilangan barang yang bisa memakan waktu berminggu-minggu lamanya. Belum lagi urusan korban kekerasan domestik yang sering kali harus menunggu lama untuk bisa dilayani dengan baik.

Hal yang dibutuhkan Polri sejatinya bukan sekadar robot, tetapi reformasi menyeluruh terhadap sistem dan budaya kerja. Publik akan jauh lebih terkesan jika pengaduan mereka direspons cepat, laporan ditangani tanpa embel-embel uang pangkal, dan aparat bekerja secara profesional tanpa harus viral dulu.

Karena secanggih apa pun robotnya, kalau manusianya masih korup, sistemnya masih penuh ketimpangan, maka hasilnya tetap nihil.

Robot mungkin tidak bisa disuap. Tapi bagaimana dengan operatornya?

Robot memang bisa disetel untuk mengenali wajah, tapi apakah ia bisa mendeteksi ‘titipan’ dari atasan? Robot bisa memindai area bom, tapi bisakah ia menolak perintah yang melanggar hukum? Robot tidak bisa menolak perintah, itu justru masalahnya.

Kalau bicara soal modernisasi Polri, yang diharapkan publik bukanlah robot. Hal yang diinginkan justru adalah sistem pengaduan yang cepat ditindaklanjuti tanpa harus viral dulu di TikTok. Atau polisi yang datang ketika dibutuhkan, bukan ketika media sudah ramai.

Robot boleh menjadi alat bantu, tapi jangan sampai menjadi pengalih perhatian dari tugas utama Polri, yaitu melayani dan melindungi masyarakat secara adil dan jujur.

Pada akhirnya, persoalan utama institusi seperti Polri adalah soal kepercayaan. Dan kepercayaan publik adalah sesuatu yang tidak bisa diprogram seperti chip AI. Ia dibangun lewat pelayanan yang adil, sikap yang transparan, dan kesediaan untuk dikritik.

Fauzah Hs