- Selalu berkata “iya” membuat sulit menetapkan batasan dan memicu rasa bersalah saat menolak.
- Hubungan sehat butuh keseimbangan: peduli pada orang lain tanpa melupakan kebutuhan diri.
- People pleaser cenderung mengorbankan diri demi orang lain hingga kehilangan jati diri.
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Sebagai makhluk sosial memang sudah sewajarnya kita saling membantu satu sama lain, tetapi jangan sampai kita mengorbankan diri sendiri untuk kepentingan orang lain. Yap, perilaku ini sering disebut sebagai people pleaser.
People pleaser merupakan fenomena seseorang yang selalu menyenangkan orang lain secara berlebihan tanpa menghiraukan kepentingan dan kebutuhannya sendiri. Hal ini tentunya memberikan dampak buruk untuk diri sendiri, karena kita cenderung mengutamakan kepentingan orang lain. Seseorang bisa saja mengontrol dan memanfaatkan perilaku kita.
Bagi people pleaser, menyenangkan orang lain merupakan tugas dan tanggung jawab yang harus diemban. Bahkan ketika sudah berada di titik lelah dengan keadaan, mereka tetap menuntaskan tugas dan tanggung jawab tersebut.
Di masyarakat kita, budaya saling membantu merupakan hal yang indah. Namun, jangan sampai budaya ini disalahartikan sebagai sebuah kewajiban sepihak. Membantu orang lain memang baik, tetapi bukan berarti kita harus terus-menerus mengorbankan diri tanpa pernah mendapatkan timbal balik yang setimpal.
People pleaser menganggap jika membantu hari ini, suatu saat ketika dalam situasi terpuruk akan ada tangan yang mengulurkan bantuan. Namun, pemikiran tersebut justru merupakan pemikiran yang salah. Terlalu sering mengalah dan menomorduakan diri sendiri justru dapat menimbulkan perasaan tertekan, cemas, bahkan kehilangan jati diri. Lama-kelamaan, mereka yang terbiasa menjadi people pleaser akan merasa hidupnya dijalankan oleh orang lain, bukan dirinya sendiri.
Sisi Pahit People Pleaser, Merasa Bersalah Bilang “Tidak”
People pleaser seringkali terjebak dalam lingkaran ekspektasi. Begitu sekali kita terbiasa mengiyakan permintaan orang, mereka akan menganggap itu merupakan hal yang wajar. Akhirnya, ketika suatu hari kita mencoba berkata “tidak”, muncul rasa bersalah, takut mengecewakan, atau bahkan takut ditolak. Padahal, menolak bukan berarti berhenti menjadi orang baik.
Namun, kita sedang belajar menetapkan batasan sebagai individu. Kita tetap bisa peduli pada orang lain, tetapi juga harus memberi ruang bagi diri untuk bernapas, beristirahat, dan memenuhi kebutuhan pribadi. Menjadi baik bukan berarti harus selalu berkata “iya” untuk semua orang.
Gelas Penuh Air di Tengah Padang Pasir
Menjadi people pleaser itu ibarat membawa gelas penuh air di tengah padang pasir. Setiap orang yang haus akan datang meminta seteguk, dan dengan senang hati kita memberikannya. Lama-kelamaan, gelas itu kosong, tetapi anehnya kita tetap memaksakan diri untuk menuangkan air yang sudah tidak ada. Hasilnya? Kita sendiri yang kelelahan, sementara orang lain tidak sadar kalau kita juga sedang kehausan.
Begitu juga dengan hidup. Apabila kita terus-menerus memberi tanpa menerima timbal balik yang setimpal, kita sendiri yang akan kehilangan tenaga dan kebahagiaan. Menyenangkan orang lain boleh saja. Namun, jangan sampai air yang telah kita siapkan di dalam gelas habis dan akhirnya kita sendiri yang dehidrasi karena lebih mengutamakan kebutuhan orang lain.
Hubungan sosial yang sehat adalah hubungan yang seimbang: ada memberi, ada menerima. Dengan begitu, kita tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga menjaga diri sendiri agar tidak terjebak dalam peran “si tukang bantu” yang terus dimanfaatkan. Karena sejatinya, saling membantu itu bukan sekadar memberi, tetapi juga tentang bagaimana bantuan tersebut kembali memberikan manfaat untuk semua pihak.
Pada akhirnya, menjadi people pleaser hanya akan membuat kita terus memvalidasi orang lain sambil mengabaikan suara hati sendiri. Mungkin sudah saatnya kita berhenti bertanya, dari “Orang lain senang enggak ya sama aku?” menjadi, “Aku bahagia enggak ya dengan apa yang aku pilih?”.
Baca Juga
-
Kopi, Laptop, dan Tugas: Seni Nugas Berkedok Nongkrong
-
Tips Interview Kerja untuk Gen Z dari Junar Asunyi, Auto Percaya Diri!
-
Batas Sehat Ketergantungan dalam Budaya Kolektivisme Masyarakat Indonesia
-
Gen Z dan Dompet Kosong? Mengungkap Gaya Hidup Cashless dan Wi-Fi Only yang Bikin Geleng Kepala
-
4 Alasan Kenapa Organisasi Tak Lagi Jadi Pilihan Utama Mahasiswa
Artikel Terkait
-
7 Tanda Seseorang Pernah Alami Childhood Emotional Neglect, Sering Tidak Disadari
-
5 Cara Sederhana Biar Gak Jadi People Pleaser, Berdasarkan Psikologi!
-
Orang Baik Sering Tersakiti: Apakah Terlalu Baik Itu Merugikan Diri?
-
Bikin Produktivitas Meroket, Ini 4 Tips Tingkatkan Komunikasi dan Kerja Sama Tim
-
4 Rekomendasi Buku untuk Si Paling Gak Enak Nolak, Cari Tahu Tipsnya Lewat Sini!
Lifestyle
-
Kopi, Laptop, dan Tugas: Seni Nugas Berkedok Nongkrong
-
Baper Maksimal, Tapi Jangan Sampai Ketipu Love Bombing!
-
Job Hopping Gen Z: Strategi Jitu Naik Gaji atau Bumerang Karier?
-
Geser Produk Korea, Skincare Lokal Kini Jadi Raja di Negeri Sendiri Berkat Gen Z
-
Weekend di Jakarta Gak Melulu ke Mal: 8 Ruang Terbuka Hijau buat Family Time
Terkini
-
BRI Super League: Takluk dari Persib, Pelatih Persebaya Isyaratkan Evaluasi
-
Bukan Artis Tapi Tajir! Intip Pekerjaan Ahmad Assegaf Suami Tasya Farasya
-
Viral karena Pernikahan Mewah, Tasya Farasya Kini Diterpa Isu Cerai
-
Ketika Stres Diam-Diam Bikin Tubuh Sakit, Dokter Indonesia Angkat Isu Ini ke Eropa
-
Dari Susi, Basuki hingga Purbaya Yudhi Sadewa, Gaya Membumi Bikin Rakyat Merasa Dekat?