Sekar Anindyah Lamase | Mira Fitdyati
Potret Timothy Ronald (Instagram/timothyronaldd)
Mira Fitdyati

Di tengah tren anak muda yang menjadikan self reward sebagai simbol pencapaian diri, Timothy Ronald justru memiliki pandangan berbeda.

Alih-alih menghabiskan penghasilan untuk kesenangan sesaat, ia memilih investasi sebagai bentuk self reward.

Pendiri Akademi Crypto ini menilai bahwa self reward tidak harus diwujudkan dalam bentuk barang mewah atau gaya hidup konsumtif.

Baginya, menanamkan uang pada aset jangka panjang sejak usia muda merupakan keputusan sadar untuk menjaga masa depan tetap aman dan terencana.

Melalui unggahan podcast di kanal YouTube AH pada Rabu (17/12/2025), Timothy menceritakan awal perjalanannya di dunia investasi.

Timothy mengungkapkan bahwa sejak awal tidak pernah memiliki mimpi menjadi pengusaha, melainkan bercita-cita menjadi seorang investor.

“Jadi saya punya mindset bukan pengusaha, saya mau jadi investor,” tutur Timothy.

Ia mengaku tidak pernah terpikir untuk membesarkan agensi atau bisnis yang dijalaninya. Setiap penghasilan yang diperoleh justru lebih sering dialokasikan untuk membeli saham.

Keputusan tersebut sudah ia ambil sejak usia sangat muda. Timothy mengungkapkan bahwa pada usia 15 tahun, ia telah membeli saham Bank Central Asia (BCA) dan menjadikannya sebagai tabungan jangka panjang.

“Saya mikirnya gini, sini uangnya saya keruk semua, terus saya mau beli saham. Jadi dari umur lima belas itu saya udah beli saham BCA, saya udah tabung itu,” kata Timothy.

Konsistensi menjadi prinsip utama Timothy dalam berinvestasi. Setiap kali memperoleh penghasilan, uang tersebut langsung ia gunakan untuk membeli saham. Pola hidup hemat pun menjadi pilihan yang dijalani dengan sadar.

“Tiap dapat uang beli terus, beli terus. Jadi jualan, uangnya saya keruk semua. Saya hemat-hemat hidupnya,” ujar Timothy.

Bahkan saat penghasilannya telah mencapai ratusan juta rupiah, ia tetap mempertahankan gaya hidup sederhana. Timothy mengaku masih sering makan di warteg agar dana yang dimilikinya bisa terus dialokasikan untuk investasi.

“Saya itu punya income seratus juta, makan masih di warteg. Opor, opor saya nggak beli ayam ya. Saya beli kuahnya doang, nasi kuah sama orek tempe biar murah,” ungkapnya.

“Sebenarnya duitnya ratusan juta, cuma kayak semuanya dibeliin saham waktu itu. Dibeliin saham semua,” tambah Timothy.

Baginya, pengorbanan tersebut bukan bentuk kekurangan, melainkan pilihan sadar demi tujuan yang lebih besar di masa depan.

Timothy mengibaratkan saham seperti menanam pohon. Menurutnya, hasil dari investasi tidak bisa dinikmati secara instan, tetapi membutuhkan waktu, kesabaran, dan konsistensi agar bisa tumbuh dan berbuah.

“Saya mikir masa depan. Kalau ibarat pohon yang mau besar nih, saya tanam. Kalau pohonnya besar tinggal nyantai. Kayak sekarang kan tinggal nyantai, udah enak,” ujar Timothy.

Kini, Timothy mengaku mulai menikmati hasil dari keputusan-keputusan finansial yang ia ambil sejak usia muda.

Bagi Timothy, self reward bukan tentang memanjakan diri hari ini, melainkan tentang membayar diri sendiri untuk kehidupan yang lebih baik di kemudian hari.

“Kalau saya nggak ada tuh self reward. Malah saya merasa kalau saya investasi, itu self reward-nya. Karena itu bayar diri saya buat di masa depan,” pungkasnya.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS