Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Farras Fadhilsyah
Ilustrasi omnibus law

Omnibus Law banyak mendapatkan perhatian dari banyak unsur kelompok masyarakat karena dinilai memiliki banyak kontroversi dan dinilai banyak merugikan kaum pekerja. Pada pidato Presiden Jokowi pertama setelah dilantik untuk periode 2019-2024 pada 20 oktober 2019, Jokowi mengatakan Omnibus Law akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang.

Selain itu alasan kedua Jokowi ingin melakukan adanya Omnibus Law adalah untuk memperkuat perekonomian nasional dengan memperbaiki investasi dan daya saing ekonomi global.

Walaupun niat dan semangat dari pemerintah baik untuk memajukan perkembangan ekonomi nasional, masih banyak hal-hal yang harus kita cermati dan amati dengan diberlakukannya konsep Omnibus Law ini. Jika dilihat dari hal yang mendasar yaitu hirarki hukum, bahwa belum ada ketentuan khusus tentang konsep Omnibus Law di dalam UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan.

Akibatnya, tidak ada kepastian tentang fungsi/kegunaan dari konsep Omnibus Law dan ketidakjelasan mengenai posisi UU hasil dari konsep Omnibus Law didalam hirarki perundang-undangan. Apakah posisi UU hasil dari konsep Omnibus Law ini lebih tinggi dibandingkan UU atau sederajat dengan UU, hal ini menjadi timbul ketidakpastian hukum.

Dari sisi lain yang memiliki banyak perhatian dari masyarakat adalah isi dari konsep Omnibus Law cipta lapangan kerja yaitu bahwa salah satu isu UU Omnibus Law Cipta Kerja akan mempermudah tenaga kerja asing bekerja dilevel bukan terampil (unskill).

Isu ini didasari dengan adanya ketentuan dalam Pasal 437 ayat 5 Draft UU Omnibus Law Cipta Kerja  menjelaskan, “Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri”. Adanya ketentuan dari Keputusan Menteri inilah yang dinilai oleh organisasi serikat pekerja dapat berpotensi play of rule guna menguntungkan Tenaga Kerja Asing.

Selain itu kekhawatiran yang tinggi oleh masyarakat mengakibatkan banyaknya isu-isu yang tidak bertanggung jawab yang hanya mengambil dari tafsir-tafsir politik yang prematur, hal ini lebih menjurus mengesampingkan esensi utama dari kegunaan Omnibus Law dan penggiringan opini di masyarakat yang akhirnya mengakibatkan kekhawatiran semakin meninggi.

Salah satu contoh dari beberapa isu UU Omnibus Law Cipta Kerja, yakni upah perjam dan kewajiban pekerja masuk 6 hari/minggu dan ketentuan lembur yang memberatkan pekerja. Hal ini  tidak ada ketentuannya didalam Draf UU Omnibus Law Cipta Kerja. Oleh karenanya, isu ini tidak dapat dipertimbangkan secara yuridis.

Maka dari itu penulis berharap sebagai rakyat kepada wakil rakyat kami yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama dengan Pemerintah harus membuat norma hukum tentang konsep Omnibus Law didalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Sebab, agar ada kepastian hukum terkait fungsi/kegunaan konsep hukum Omnibus Law.

Tentunya pembahasan tersebut mempunyai proses yang panjang dan matang agar menjadi sebuah bentuk produk hukum yang pasti. Pemerintah dan DPR juga harus melibatkan masyarakat seperti serikat-serikat buruh untuk merampungkan bersama-sama Omnibus Law,  jangan sampai dalam merampungkan Omnibus Law hanya menguntungkan salah satu pihak yaitu pengusaha.

Penulis juga mengingatkan agar pemerintah jangan terburu-buru untuk mensahkan Omnibus Law ini hanya untuk produk politik yaitu berupa bukti kepada masyarakat bahwa kinerja pemeritah cepat dan baik. Padahal jika kita berbicara hukum harus bersifat hati-hati dan jelih untuk menerbitkan suatu produk hukum.

Farras Fadhilsyah