Sudah satu bulan kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) diterapkan oleh semua sekolah dan universitas di Indonesia. Sesuai SE Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 dan SE Mendikbud Nomor 36962 / MPK.A / HK / 2020 yang ditujukan untuk kegiatan belajar siswa dan pelajar dilakukan dengan menantang.
Tujuannya adalah untuk melakukan transisi COVID-19 yang terjadi pada saat ini. Sebagai peserta didik, pelajar dan pelajar diharapkan bisa belajar dengan baik, hanya bisa di rumah aja .
Akan tetapi, Kegiatan PJJ ini menimbulkan perbedaan pendapat dari kalangan mahasiswa dan pelajar. Mulai dari cara belajar setiap dosen / guru, tugas yang menumpuk, hingga kuota internet yang digunakan untuk mengambil kegiatan PJJ ini.
Jika dilihat dari kenyataan saat ini, tentu saja semua kegiatan hanya dapat dilakukan melalui online termasuk kegiatan pembelajaran. Terkait, tingkat penggunaan internet meningkat dari biasanya.
Hal ini menyebabkan kecepatan internet menurun dan akhirnya banyak pelajar dan pelajar yang menyebabkan proses belajarnya menjadi terganggu. Namun demikian, mereka tetap berusaha untuk mengikuti kegiatan PJJ dengan baik
Fadhil, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta merasakan sekali perubahan yang di akibatkan oleh kegiatan PJJ ini.
“Banyak sekali perubahannya, pertama dari kampus yang berbeda karena dilakukan melalui PJJ. Kedua uang yang diperlukan dibuat di kuliah harus dialokasikan untuk memenuhi kuota internet dan kompilasi pelaksanaannya lebih banyak seperti persetujuan dan harus dipastikan kuota cukup, ”katanya.
Jika dihitung per hari saja, Fadhil sudah mengeluarkan lebih banyak kuota daripada biasanya. Ini yang meningkatkan Peningkatan menjadi meningkat.
“Untuk menggunakan kuota tergantung dari perangkat yang digunakan, jika hanya memakai Google kelas atau Kelase kuota yang diperlukan cukup untuk mengunggah dan mengunduh file materi atau tugas, menggunakan Zoom dan Streaming saat perkuliahan maka dalam satu kali sesi sekitaran 40 menit dapat ditemukan lebih banyak dari 100 MB, jika melakukan lebih dari satu sesi maka beban kuota nya lebih banyak dan itu pun baru satu mata kuliah, ”ungkapnya.
Kisah lain datang dari Ibu Zaenab salah satu orang tua murid kelas 5 SD. Ibu Zaenab mengungkapkan dia harus sering membaca WhatsApp Grup untuk mengetahui tugas apa yang harus di kerjakan oleh anak-nya.
“Biasanya waktu masih belum di terapkan belajar di rumah saya hanya cek group beberapa kali saja dalam sehari, tapi setelah di terapkan untuk belajar dirumah saya rasanya hampir tiap jam atau beberapa menit sekali lihat group itu. Karena jika hanya diserahkan ke anak saya saja yang ada dia gak mau belajar, di rumah hanya bermain game saya,” ujarnya.
Ibu Zaenab juga merasakan pengeluaran untuk beli kuota internet sepertinya bertambah, karena Ibu Zaenab memiliki satu anak yang sedang kuliah.
“Jika anak saya yang SD mungkin tidak terlalu banyak pengeluarannya, karena hanya download soal dari guru lalu kirim hasil tugasnya ke guru yang bersangkutan. Tapi jika anak saya yang kuliah dia biasanya beli kuota dalam sebulan hanya habis Rp. 25.000 sedangkan waktu sudah di terapkan belajar di rumah ini dalam 3 minggu dia sudah beli kuota 2 kali seharga Rp.50.000 jika ditotal berarti Rp. 100.000. Jauh sekali perubahannya,” ungkapnya
Dari kedua cerita tersebut terlihat sekali perubahan yang di alami oleh para mahasiswa dan pelajar, khususnya berkaitan dengan pengeluaran yang lebih banyak untuk membeli kuota.
Sebenarnya ketika Indonesia menerapkan kegiatan PJJ ini, banyak provider seluler yang memberikan kuota gratis khusus pendidikan untuk mendukung kegiatan belajar di rumah peserta didik masing-masing.
Jumlahnya kuota nya pun beragam dan cukup besar, ada yang memberikan kuota senilai 2 GB perhari, 30 GB sebulan dan masih benyak lagi.
Namun, berdasarkan hasil survei melalui kuesioner online yang dibuat oleh penulis. Terdapat 50 responden yang terdiri dari mahasiswa dan pelajar mengungkapkan bahwa mayoritas dari mereka tidak merasakan manfaat dari kuota gratis tersebut.
Karena tidak semua platform di dukung oleh provider seluler, hanya platform ternama saja seperti Ruangguru dan Zenius dan beberapa situs e-learning kampus yang bisa di akses.
Mahasiswa yang mayoritas di tuntut untuk mengikuti kuliah online melalui video conference seperti Zoom akhirnya harus mengorbankan sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan kuota internet tersebut. Alasannya, jika tidak mengikuti kelas online tersebut mereka di anggap tidak hadir oleh dosen mereka.
Sangat memprihatinkan ketika mahasiswa dan pelajar di tuntut untuk selalu online agar tidak ketinggalan kelas tetapi mereka terkendala oleh pengeluaran yang tidak sedikit.
Dari hasil survei tersebut juga ternyata pihak universitas ataupun sekolah tidak memberikan subsidi kuota kepada peserta didiknya. Mungkin beberapa universitas telah memberikan subsidi berupa kuota ataupun uang yang nantinya bisa di belikan kuota internet, tetapi hal tersebut tidak menyeluruh ke semua universitas dan sekolah.
Penulis melihat dari hasil kuesioner tersebut peserta didik sangat mengharapkan bantuan subsidi kuota dari pemerintah ataupun dari universitas dan sekolah mereka masing masing untuk kegiatan PJJ ini.
“Semoga surat edaran dari Mendikbud bisa menjadi acuan bagi universitas untuk memberikan subsidi kuota internet. Ini akan sangat membantu karena tanpa adanya kuota internet, PJJ tidak akan berjalan dan akan sangat merugikan mahasiswa,” jawab salah satu mahasiswi Universitas Singaperbangsa Karawang melaui kuesioner tersebut.
“Seharusnya sekolah memberikan subsidi kuota, padahal SPP tetap harus dibayar walaupun tidak belajar dengan efektif dan tidak ke sekolah. Pembelajaran online butuh kuota, tapi tidak ada yang supply,” jawab salah satu siswi SMA Negeri 7 Bekasi melalui kuesioner tersebut.
Dari berbagai keluh kesah yang disampaikan, harapannya pemerintah dapat membantu untuk memberikan subsidi kuota gratis kepada peserta didik agar kegiatan PJJ ini bisa berjalan dengan baik. Terutama di masa PSBB ini banyak anggota keluarga yang keadaan ekonominya mulai terganggu, apalagi jika keluarga tersebut di kategorikan kurang mampu.
Pemerintah bisa juga memantau universitas ataupun sekolah yang belum memberikan subsidi kuota agar peserta didik bisa segera tertolong dengan adanya bantuan tersebut. Sumber dananya mungkin bisa dari uang semester atau uang SPP mereka perbulannya.
Karena sangat disayangkan jika peserta didik hanya di tuntut untuk mengikuti setiap arahan tetapi tidak mendapatkan fasilitas yang memadai. Oleh karena itu perlu adanya peran pemerintah terhadap masalah ini.
Oleh: Bustomi / Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta
Artikel Terkait
-
Sebut WHO Rancang Pandemi Baru, Epidemiolog UI Tepis Ucapan Dharma Pongrekun: Itu Omong Kosong
-
Negara Kaya Wajib Bantu Negara Berkembang? Ini Tuntutan AHF di WHO Pandemic Agreement
-
Kartu Prakerja Catat Prestasi Signifikan Hingga Dapat Puja-puji Dunia
-
Dharma Pongrekun Sebut Penyebab Tanah Abang Sepi Akibat Pandemi Covid-19
-
Kawal Masyarakat Indonesia Selama Pandemi Covid-19, 10 Tahun Jokowi Catat Kemajuan Pesat Bidang Telemedicine
News
-
Yoursay Talk Unlocking New Opportunity: Tips dan Trik Lolos Beasiswa di Luar Negeri!
-
See To Wear 2024 Guncang Industri Fashion Lokal, Suguhkan Pengalaman Berbeda
-
Harumkan Indonesia! The Saint Angela Choir Bandung Juara Dunia World Choral Championship 2024
-
Usaha Pandam Adiwastra Janaloka Menjaga, Mengenalkan Batik Nitik Yogyakarta
-
Kampanyekan Gapapa Pakai Bekas, Bersaling Silang Ramaikan Pasar Wiguna
Terkini
-
Ulasan Buku Period Power, Meningkatkan Produktivitas Saat Datang Bulan
-
Pedasnya Nendang, Icip Kuliner Cabe Ijo yang Bikin Ketagihan di Kota Jambi
-
4 Gaya OOTD Simpel ala Seohyun SNSD, Tetap Fashionable untuk Hangout!
-
3 Pemain Debutan yang Dipanggil STY ke Timnas untuk AFF Cup, Siapa Saja?
-
Semangat Menggapai Cita-Cita dalam Buku Mimpi yang Harus Aku Kejar