Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Trismayarni Elen, SE., M.Si
Ilustrasi konsep new normal (Shutterstock)

Tanggal 5 Juni 2020 beberapa wilayah dan sektor usaha akan menerapkan new normal. Sebelumnya, Kementerian Kesehatan melalui siaran pers mengatakan telah menerbitkan protokol untuk pemberlakuan kondisi new normal di Indonesia. Di satu sisi penerapan new normal akan sangat memberi ruang gerak yang baik bagi dunia usaha, karena aktifitas usaha yang perlahan akan kembali ke kondisi normal. Namun, akan sulit pada sisi kesehatan pada saat vaksin covid-19 ini belum ditemukan.

Kita mencoba memahami bahwa kondisi dengan istilah new normal yang digaungkan pemerintah adalah cara untuk menyelamatkan perekonomian masyarakat yang sudah diambang kehancuran yang sulit dibangkitkan lagi jika terus berlanjut hingga 6 bulan sejak diberlakukannya social distancing di Indonesia. Terutama ekonomi yang menyentuh skala UMKM.

Perhatian besar pemerintah kepada UMKM punya alasan yang sangat kuat karena UMKM yang sejak krisis ekonomi yang melanda tahun 1998 terbukti mampu membangkitkan semangat dan optimisme sendi-sendi ekonomi Indonesia.

Seperti informasi yang dilansir detik.com tahun 2018 bahwa menurut Kepala Departemen Pengembangan UMKM Bank Indonesia (BI) kondisi UMKM di Indonesia mendominasi unit usaha. Dengan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja 96,9% dan PDB 57,56% dan ekspor 15,68%.

Sehingga pada masa pandemi ini, pemerintah terus berusaha untuk mencari jalan agar UMKM bisa mulai menjalankan aktifitas usahanya sampai keadaan normal terjadi. Meskipun terdapat beberapa kesulitan yang akan dihadapi UMKM dalam menata kembali geliat usahanya pada masa pandemi ini.

Daya Beli Menurun

Kesulitan pertama yang akan dihadapi UMKM adalah daya beli masyarakat yang sudah menurun, sedangkan mayoritas UMKM menyediakan barang dan jasa dengan target pasar dalam negeri. Sesuai dengan prinsip demand dan supply, memang selama ini yang membangkitkan aktifitas usaha UMKM adalah menyasar permintaan konsumen dalam negeri yang cukup tinggi sehingga bermunculan UMKM khususnya skala mikro dan kecil.

Salah satu contohnya adalah industri makanan dan minuman. Dilansir detik.com tahun 2018, Menteri Perindustrian mengatakan bahwa industri makanan dan minuman mempunyai kontribusi ke PDB non migas 34,33%. Pertumbuhan industri makanan dan minuman pada tahun 2017 mencapai sebesar 9,23%. Industri makanan dan minuman ini mayoritas pelakunya adalah Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

Industri makanan dan minuman yang dimaksud karena tingginya permintaan produk makanan dan minuman di sektor wisata. Wisatawan membeli produk makanan dan minuman selain untuk disantap di tempat-tempat wisata tersebut juga untuk oleh-oleh yang menjadi ciri khas tempat yang mereka kunjungi. Produk dari usaha mikro dan kecil ini sudah pasti lebih banyak dibeli oleh wisatawan dalam negeri mengingat banyak data yang menunjukan bahwa jumlah wisatawan domestik melebihi wisatawan mancanegara.

Namun, dengan adanya pandemi ini, sudah bisa dipastikan UMKM dari sektor makanan dan minuman masih sulit pergerakannya mengingat menurunnya daya beli, jika hanya berfokus target penjualan pada sektor wisata. Pada masa ini, orang-orang akan berfikir ulang untuk melakukan perjalanan wisata selain alasan kesehatan juga alasan penghasilan yang sudah pasti menurun bahkan hilang. Untuk itu pemerintah dan semua elemen penggerak UMKM harus ikut mencari alternatif lain untuk mendongkrak permintaan produk yang dihasilkan UMKM.

Tidak Adanya Laporan Keuangan Usaha

Kesulitan kedua adalah banyak pelaku UMKM khususnya mikro dan kecil yang tidak memiliki catatan hasil usaha (laporan keuangan usaha). Sudah kita ketahui bersama bahwa banyak pelaku UMKM yang buta “akuntansi” sehingga sudah bisa dipastikan mereka tidak memiliki catatan aktifitas bisnisnya terutama keuangan.

Tidak adanya catatan keuangan bisnis akan menyulitkan UMKM untuk menditeksi apa yang harus mereka prioritaskan, apakah penjualan ataukah efisiensi dari sisi biaya. Mengingat, masih banyak pelaku UMKM khususnya skala mikro dan kecil menggabungkan antara pengeluaran pribadi/rumah tangga dengan pengeluaran bisnis. Sehingga bisa dikatakan mereka akan kesulitan menganalisa apakah biaya produksi mereka yang berat, atau biaya hidup mereka yang sudah tinggi atau bahkan memang pemasaran yang terhambat.

Jika dilihat dari kesulitan ini, maka stimulus berupa pinjaman/kredit bagi UMKM harus betul-betul dipikirkan ulang oleh pemerintah, agar jangan sampai kucuran dana yang bersifat pinjaman ini justru malah memberatkan UMKM sendiri jika ternyata pelaku usaha lebih banyak menggunakan bantuan dana justru untuk menutup kebutuhan pribadi/rumah tangga. Sehingga, bantuan lebih baik berupa keringanan pembayaran cicilan yang sudah ada, dengan menunda pembayaran untuk beberapa bulan.

Produksi Barang Mentah

Kesulitan ketiga pada masa pandemi ini adalah UMKM yang usahanya adalah memproduksi barang yang melalui proses pengolahan bahan mentah ke barang jadi. Mengingat banyak bahan mentah kita seperti hasil tani dan perkebunan yang import. Pada masa pandemi ini sudah pasti barang-barang import akan menghadapi banyak kendala dari sisi ketersediaan barang dan harga juga tinggi.

Sehingga pemberdayaan kemampuan petani dan lahan pertanian harus segera diusahakan oleh pemerintah agar mengurangi bahkan harus menghilangkan ketergantungan import hasil pertanian dan perkebunan yang menjadi dasar bagi UMKM sebagai bahan mentah produksi usaha mereka.

Faktor Kesehatan

Dan kesulitan keempat yang betul-betul harus dipikirkan pemerintah serta semua penggerak UMKM adalah dari sisi kesehatan. Kesulitan ekonomi global saat ini tidak sama dengan kondisi pada masa krisis moneter tahun 1998. Sehingga ketika akan mengangkat perekonomian pada masa ini seharusnya dipikirkan dulu tentang kesehatan, tidak hanya sekedar protokol kesehatan di tempat kerja dan social distancing.

Protokol new normal dunia usaha jangan sampai hanya sekedar aturan di atas kertas seperti diharuskan cuci tangan, jam lembur dibatasin dan menyiapkan vitamin bagi karyawan. Karena seperti yang kita ketahui bersama, bahwa sejak dulu banyak perusahaan yang “abai”  yang tidak mematuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah, contohnya tentang jam kerja, pembayaran lembur juga THR.

Jadi kekhawatirannya adalah, bukannya tidak mungkin protokol yang dicanangkan pemerintah hanya sebatas angin lalu bagi pemilik perusahaan yang akan berdampak jatuhnya banyak korban tertular. Jika hal itu terjadi maka akan bermuara pada kesiapan dunia medis.

Karena dengan semakin tingginya aktifitas masyarakat di luar, kemungkinan tertular akan semakin tinggi pula. Ketika semakin banyak orang tertular apakah RS dan Nakes kita mampu menampung semua pasien? Harus betul-betul diperhatikan pemerintah baik daerah maupun pusat, bahwa pada masa pandemi dan kondisi luar biasa (KLB) ini maka biaya yang berkaitan dengan korban akibat virus corona baik pengobatan juga kematian seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah.

Apa yang Perlu Pemerintah lakukan?

Pemerintah harus berhitung benar kekuatan dunia medis kita, baik dari sisi supply APD, obat-obat/vitamin untuk pasien serta tenaga para medis. Mengingat, beberapa pengalaman untuk para medis bahwa jika 1 saja tenaga medis kita tertular dan dinyatakan positif Covid-19, maka membutuhkan waktu minimal 1 bulan istirahat sejak yang bersangkutan dinyatakan positif sampai bisa bertugas kembali.

Karena 14 hari pertama adalah masa penyembuhan dan 14 hari selanjutnya para medis tersebut harus diistirahatkan untuk masa pemulihan. Sehingga bisa dibayangkan jika semakin banyak pasien dari masyarakat umum, maka tenaga medis pun akan semakin rentan terhadap penularan virus Covid-19, karena energi mereka yang cukup terkuras untuk menangani pasien yang semakin banyak jumlahnya.

Oleh: Trismayarni Elen S.E., M.Si / Praktisi dan Akademisi Akuntan

Trismayarni Elen, SE., M.Si